NovelToon NovelToon
Unforgotten Memories

Unforgotten Memories

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:30k
Nilai: 5
Nama Author: Maple_Latte

Setelah pernikahan yang penuh kekerasan, Violet meninggalkan segala yang lama dan memulai hidup baru sebagai Irish, seorang desainer berbakat yang membesarkan putrinya, Lumi Seraphina, sendirian. Namun, ketika Ethan, mantan suaminya, kembali mengancam hidup mereka, Irish terpaksa menyembunyikan Lumi darinya. Ia takut jika Ethan mengetahui keberadaan Lumi, pria itu akan merebut anaknya dan menghancurkan hidup mereka yang telah ia bangun. Dalam ketakutan akan kehilangan putrinya, Irish harus menghadapi kenyataan pahit dari masa lalunya yang kembali menghantui.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

EP: 30

"Aku sudah membuang pakaianmu."

Irish terdiam sejenak. Itu satu-satunya pakaian formal yang ia miliki, yang akan ia kenakan untuk bekerja.

"Sebagai seorang desainer, kamu seharusnya tahu, pakaian itu tidak mencerminkan gayamu."

Irish mencibir. "Lalu kenapa? Bahkan editor majalah mode masih pakai kaus putih dan jeans. Aku tidak bisa menerima ini." Ia meletakkan tas berisi pakaian itu kembali ke kursi belakang dengan tegas.

Tidak ada kesuksesan tanpa pengorbanan. Hari ini, meski ia diselamatkan, didandani seperti peri, tetap saja, gaun itu bukan miliknya.

"Itu dibeli dengan gaji kerjamu hari ini," kata Erick pelan, matanya menyipit saat menyetir.

Irish membelalakkan mata. "Serius? Gaji tampilku hari ini cukup untuk beli gaun semewah itu?"

Erick hanya tersenyum simpul. "Kamu tampil sebagai Sang Kupu malam ini. Harga gaunnya pantas. Sisa uangnya ada di amplop, dalam tas itu."

Irish membuka tas dengan cepat. Benar saja, ada sebuah amplop berisi uang di dalamnya. Matanya bersinar. Ia menatap amplop itu seolah menemukan harta karun, lalu tanpa sadar mengecupnya.

Erick melihat adegan itu lewat kaca spion. Irish tampak begitu polos dan jujur dalam caranya mencintai uang. Jika ia baru mengenal Irish hari ini, mungkin ia akan berpikir aneh-aneh. Tapi sekarang, justru ia tersenyum simpul.

"Di mana alamatmu?" tanyanya sambil menatap jalan di depan.

Irish lekas duduk tegak, menyebutkan alamatnya, lalu memandang ke luar jendela. Keduanya terjebak dalam keheningan yang canggung.

Irish gelisah. Ia hanya karyawan biasa. Tadi ia bahkan duduk di mobil milik pemilik Apparel mode, mobil milik Erick! Meski mereka sempat berbicara akrab hari ini, tetap saja, batas mereka jelas.

Ketika memikirkan hal itu, Irish terkekeh kecil sendiri.

Erick menyadari keheningan ini membuat Irish tak nyaman. Maka ia pun mencoba mencairkan suasana. “Hari ini hari pertamamu menjadi pekerja tetap dan hadir di acara resmi Apparel mode?”

Irish mengangguk. "Benar. Walau sebelumnya aku sudah magang cukup lama, hari ini baru mulai resmi. Tapi karena Direktur Erick, hari pertamaku jadi luar biasa..."

Erick tersenyum. "Kupikir, kejadian luar biasa baru saja dimulai."

Irish tertawa ringan. "Aku cuma ingin jadi pegawai biasa. Hidup sederhana juga berkah."

Mobil akhirnya berhenti di depan apartemen Irish. Di bawah sinar bulan, bayangan mereka terpampang di jalan.

"Terima kasih sudah mengantar," ujar Irish sambil menunduk sopan.

"Tak perlu berterima kasih." Erick berdiri di bawah cahaya malam, tampak lebih tenang dan hangat. “Irish, bagaimana kalau suatu hari nanti kita makan malam bersama?”

Irish terdiam sejenak. Ini undangan sungguhan, atau hanya basa-basi? Tapi ia tidak terlalu memikirkannya. “Baik,” jawabnya ringan.

Erick mengangguk. Setelah melihat Irish masuk ke gedung apartemennya dan lampu kamar menyala, barulah ia kembali ke mobil.

Di dalam mobil, Erick membuka kotak kecil beludru merah. Sepasang anting-anting karang merah terbaring di dalam. Ia tersenyum saat membayangkan Irish mengenakan gaun putih tadi malam. "Selamat malam, Irish," bisiknya pelan.

Sementara itu, Irish yang sudah berada di kamarnya buru-buru menarik tirai begitu melihat Erick masih berdiri di bawah. Setelah mendengar suara mobil menjauh, ia akhirnya bernapas lega.

Ia menggenggam amplop tebal di tangan dan berputar-putar kecil dengan gembira. “Hari pertama kerja dapat segini banyak?” serunya. Ia segera meraih ponsel dan menekan nomor Jessi.

Setelah tiga dering, telepon tersambung. “Irish?” suara sengau terdengar di ujung sana.

"Jessi? Kamu sakit?" tanya Irish cepat.

Jessi terdiam lalu menjawab pelan, “Iya, sedikit.”

Tapi Irish mengernyit. Suara sahabatnya itu tak seperti biasanya. Jessi biasanya ceria dan enerjik, bahkan kalau sedang sakit. "Kamu sedang sedih?"

Suara Jessi makin lirih. "Irish..." dan tangisnya pecah.

Irish langsung panik. “Jessi, kamu kenapa? Ada apa?!”

Jessi berusaha menahan tangis. "Jeremy... dia sudah berubah. Kami bertengkar hebat tadi. Ibunya ikut campur terus. Akhirnya Jeremy pergi dari rumah bersama ibunya."

Anak-anak Ellia, si kembar Vivi dan Nathan, sudah tidur. Jessi merasa tak berdaya.

"Tidak mungkin... Kamu itu istri dan ibu yang hebat. Jeremy pasti cuma sedang emosi," Irish mencoba menenangkan, meski hatinya sendiri ikut kacau mendengar kabar itu.

"Jeremy tidak pernah membentakku sebelumnya!" Suara Jessi terdengar serak dan penuh tangis. "Waktu dia mandi tadi, aku dengar ponselnya berdering. Di layar muncul nama rekan kerjanya, pria yang juga aku kenal, jadi aku tidak curiga apa-apa dan langsung coba angkat. Tapi... tapi…"

Jessi terisak, suaranya makin melemah.

"Tapi apa?" Irish yang mendengarnya jadi makin khawatir. Ia segera bertanya dengan nada lembut tapi penuh perhatian.

"Aku belum sempat tekan tombol jawab," ucap Jessi, "Jeremy tiba-tiba keluar dari kamar mandi dan langsung membentakku! Katanya aku tidak menghormati privasinya, lalu dia rebut ponselnya dariku!"

Dengan mata sembab, Jessi menyeka air mata dengan tisu. "Irish, sumpah, aku tidam pernah berniat membuka privasinya. barangnya. Aku hanya ingin membantunya menjawab telepon tanpa prasangka apa-apa. Tapi dia justru marah besar! Dia membentakku!"

Irish sempat terdiam. Di dalam hatinya, ia agak terkejut. Rekan kerja Jessi itu memang dikenal, jadi kenapa Jeremy sampai segitu defensifnya?

Apa mungkin... ada sesuatu yang disembunyikan?

Pikiran itu mengganggunya sejenak. Dalam dunia sekarang, godaan ada di mana-mana, bahkan orang yang terlihat paling jujur pun bisa goyah.

Tapi Irish segera menggeleng pelan. Ia tahu sedikit tentang Jeremy, orang yang santun, kalem, dan selalu bersikap sopan. Ia tak pernah terlihat sebagai seseorang yang menyimpan niat buruk.

Lagi pula, ini masalah rumah tangga Jessi. Irish tak mau bicara sembarangan dan malah merusak hubungan mereka.

Setelah berpikir sejenak, ia berkata menenangkan, "Mungkin Jeremy hanya lagi stres karena pekerjaan. Dulu waktu kamu masih kuliah dan kena tekanan berat, kamu juga sempat meluapkan emosi padanya, kan? Tapi waktu itu, dia tidak pernah marah. Sekarang mungkin dia hanya sedang lelah. Bisa jadi itu saja penyebabnya."

Ucapan Irish perlahan mengendorkan ketegangan di wajah Jessi. Ia tertawa kecil di tengah tangisnya, mengingat masa-masa manis dulu. "Ih, kamu ini temanku atau temannya Jeremy, sih? Kenapa malah membelanya?"

"Aku justru membelanya supaya kamu sadar, kadang yang ada di depan mata itu harus lebih dihargai," jawab Irish, tersenyum lembut.

Namun, di balik senyumnya, Irish tahu ia tetap harus membuka sedikit mata Jessi, agar masalah kecil ini tak berubah jadi luka besar.

"Tapi menurutku," lanjutnya dengan hati-hati, "kamu tetap perlu tanya baik-baik ke Jeremy nanti. Tidak usah mendesak, cukup pancing pelan. Dan kalau bisa, coba tanyakan ke rekan kerja yang kamu percaya, ada apa sebenarnya dengan Jeremy akhir-akhir ini. Itu bentuk perhatian juga, kan?"

"Kamu memang paling bisa, Irish!" Jessi mengangguk setuju. Sebagai ibu dan pekerja, ia sadar ia memang jadi kurang peka terhadap Jeremy.

"Yah, dengarkan saja aku," Irish berkata dengan nada tenang. Ia hanya ingin membantu sahabatnya tetap waras dan menjaga hubungan tetap sehat. "Kalau memang ada masalah, pasti akan kelihatan. Tapi semoga ini cuma masalah sepele."

"Aku udah jauh lebih tenang sekarang." Jessi menghela napas lega. "Tapi ngomong-ngomong, kamu telepon aku malam-malam begini ada apa?"

"Ah, aku mau cerita soal 'keberuntungan tak disengaja' hari ini!" Irish mengerutkan dahi, mengingat amplop tebal yang tadi ia temukan.

"Hah? Kamu? Dapat rezeki nomplok?" Jessi langsung antusias, lalu tertawa,

"Karena aku punya uang, besok aku transfer uang utangku ke kamu ya!"

"Eh, jangan! Kamu simpan saja, Irish. Aku masih aman m." Jessi buru-buru menolak.

"Aku tahu kapan aku butuh dan kapan harus bayar. Akan aku transfer uangnya."

"Tetap tidak usah, simpan saja uangnya buat kebutuhanmu."

"Pokoknya besok aku transfer ya, jangan di kembalikan! Aku serius." Irish menegaskan dengan senyum kecil. Sejak tinggal bersama Jessi empat tahun lalu, ia menganggap wanita itu seperti keluarga sendiri. Ia tak mau Jessi terbebani karena dirinya.

"Oke, baiklah," Jessi akhirnya pasrah. Ia tahu sifat keras kepala Irish, jadi tak akan menang dalam adu argumen.

"Nah, sudah malam. Kamu tidur ya, nanti bicarakan baik-baik sama Jeremy," ucap Irish.

"Iya, kamu juga. Selamat tidur, Irish."

Setelah menutup telepon, Irish berbaring sambil menatap langit-langit. Ia tersenyum kecil. Setidaknya, malam ini terasa sedikit lebih ringan.

Di luar jendela apartemennya, bulan setengah lingkaran menggantung tenang di langit. Tidak penuh, tapi cukup terang untuk memberi harapan.

-------

Keesokan harinya.

Kali ini, ia datang sebagai karyawan tetap di departemen desain Apparel mode, diantar langsung oleh Wakil Manajer Hendra.

Kehadirannya disambut hangat. Apalagi setelah kemarin ia muncul di media dengan kostum Sang Kupu saat peragaan busana. Perusahaan bahkan memanfaatkan momen itu sebagai bahan promosi.

Namun, banyak gosip beredar. Ada yang bilang Irish memang diminta tampil karena inisiatif sendiri. Ada pula yang menyebut Direktur Erick mengenalnya secara pribadi.

Versi-versi itu bersaing liar, tapi satu hal yang pasti, rekan-rekan kerja kini memandang Irish dengan cara berbeda. Mereka tak berani meremehkan dan mulai berusaha bersikap ramah.

Meski agak canggung, Irish tetap fokus bekerja.

Bersambung.....

1
Adinda
irish jangan sama Erick karena orang tua erick tidak merestui erick bisa membuat irish menderita,sebaiknya juga si Ethan cepat memergoki istrinya berselingkuh biar menyesal telah menyia nyiakan berlian demi sampah
Adinda
ethan ethan tidak bisa membedakan wanita tulus sama kamu tapi kamu mendapatkan wanita kelakuan iblis
Adinda
cantik begini disia siakan bodoh si ethan ini
Yunita aristya
siapa tau stelah ini Hanna jadi temenan sama Irish😁 ,biar Hanna tau jangan terlalu memaksa kalo ngk mau sakit hati seperti irish
biim_nana01
bagus, ditunggu cerita selanjutnya thor/Determined/
Yunita aristya
semoga papa dan ibu nya Erick menyesal karena sudah anggap Irish jahat🤭😁berarti jodoh nya irish masih di Ethan🤭
Yunita aristya
lnjut
Waryu Rahman
kerenn cerita nya
Nurul Boed
Semoga Irish menemukan kebahagiannya sendiri,, Pasti Bibi Lena dibunuh zyan

hmm se makin menegangkan
Yunita aristya
wow😱carisa ternyata bisa membunuh
Yunita aristya
aku takut Irish hamil🙈
Nurul Boed
Ngakak,, se kelas artis aj mesra²an diperpustakaan ,, Hadehhh
Yunita aristya
biar la iris Sam Erick jangan balik k Ethan ya Thor😁 kok enak banget kalo sampai balik ethan dpat anak+ iris stelah tau carisa ada main sama cowo lain👊
Nurul Boed
Berharap tidak pernah kembali ke Ethan,, Biarlah Irish mencari kebahagiannya sendiri kak 😍
Ddek Aish
benar sekali Irish.Erick menyukaimu mulailah hidup baru yang bahagia bersamanya dan anak-anak lupakan Ethan
kamsiah mansyah
is the best
Ddek Aish
Ethan bodoh kamu akan buat Irish dalam masalah. dan bodohnya lagi yang disamping kamu adalah ular yang berwujud jalang
Ddek Aish
jangan sampai Irish pingsan pas peragaan busana karna liat Ethan
Ddek Aish
Irish kebanyakan ngelamun. tunjukkan kalau kamu serba bisa
Nurul Boed
masa kejayaan Irish alan Dimulai 🥰😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!