Setelah pernikahan yang penuh kekerasan, Violet meninggalkan segala yang lama dan memulai hidup baru sebagai Irish, seorang desainer berbakat yang membesarkan putrinya, Lumi Seraphina, sendirian. Namun, ketika Ethan, mantan suaminya, kembali mengancam hidup mereka, Irish terpaksa menyembunyikan Lumi darinya. Ia takut jika Ethan mengetahui keberadaan Lumi, pria itu akan merebut anaknya dan menghancurkan hidup mereka yang telah ia bangun. Dalam ketakutan akan kehilangan putrinya, Irish harus menghadapi kenyataan pahit dari masa lalunya yang kembali menghantui.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EP: 26
"Ada sedikit krim di sudut bibirmu yang cantik itu."
Dion berbicara ringan tanpa memberi kesempatan pada Irish untuk merespons. Ia mengulurkan tangannya dan mengusap perlahan sisa krim di bibir Irish. Sentuhan lembut jarinya menyusuri tepi bibir Irish, membuat pipi perempuan itu memerah dalam diam. Ia tahu betul bahwa ini hanya permainan biasa dari pria yang sudah lihai menggoda, tetapi tetap saja, detik itu dia merasa malu dan gugup.
Melihat reaksi malu-malu dari Irish yang menunduk dan menarik napas pelan, Dion tersenyum tipis. Baginya, tak ada tantangan yang lebih menyenangkan dari menaklukkan wanita, dan sejauh ini, ia selalu berhasil. Namun, ia juga tahu: jika Irish terus bersikap seperti gadis polos yang mudah tersipu, maka itu bukan dirinya yang sebenarnya.
Irish mengangkat wajahnya perlahan, menatap Dion sambil tersenyum kecil.
"Terima kasih, Pak Dion. Kalau tidak, bisa jadi aku tampak memalukan."
Ia lalu mengambil serbet di meja. Entah sengaja atau tidak, jemarinya yang putih lembut menyentuh tangan Dion dan berhenti di jari telunjuk pria itu. Ia menyeka sisa krim yang tadi sempat disentuhnya. Sentuhan halus namun tegas itu membuat Dion sedikit terdiam, lalu menatapnya dengan pandangan berbeda, matanya tertuju pada wajah porselen itu, lalu ke sepasang mata yang memikat.
Dalam hati, Dion mendesis. Perempuan ini bukan sembarang perempuan. Pantas saja Ethan sampai tertarik.
Ia mencondongkan tubuh sedikit mendekat. "Nona Irish, bagaimana kalau malam ini makan malam bersamaku? Aku tahu restoran yang menyajikan steak bebek terbaik di Call City."
Irish tersenyum, tetapi menggeleng pelan. "Pak Dion sibuk sepanjang hari dengan urusan perusahaan. Aku tidak ingin mengganggu. Lagi pula, kue buah ini sudah cukup membuatku bahagia."
Dion menaikkan alisnya, sedikit terkejut atas penolakan yang begitu tenang. Kebanyakan wanita akan bereaksi dengan malu-malu atau terlalu antusias bila diundang pria sepertinya. Tapi tidak dengan Irish. Ia bermain mata seperlunya, namun tetap menjaga batas.
Ia bukan ingin ditaklukkan. Ia hanya ingin mengatur ritme.
Dion tertawa kecil dalam hati. Berbahaya, pikirnya. Wanita seperti ini tak seharusnya didekati sembarangan. Tapi sebagai teman? Mungkin saja. Tak banyak perempuan cerdas dan tahu diri seperti dia.
Irish yang menyadari tatapan kekaguman Dion sedikit mendongakkan dagunya, seperti memberi pernyataan diam. Aku tahu kau terpesona.
Meski tak ada banyak kata, bahasa tubuh mereka seolah saling bersahutan, sebuah komunikasi diam-diam yang hanya mereka pahami.
Dion pun menepis sikap playboy-nya untuk sejenak. Ia mengulurkan tangan dan berkata lebih tenang, "Nona Irish, aku serius ingin berteman denganmu."
"Menjadi teman Pak Dion? Tentu, dengan senang hati."
Irish menjabat tangannya, lalu melepasnya di saat yang tepat.
Orang-orang bilang cinta bisa berawal dari percikan kecil yang tidak disengaja. Meskipun Dion terlihat acuh, Irish bisa melihat bahwa di balik sikapnya yang sembrono, mungkin masih tersimpan rasa dalam yang pernah dimiliki untuk seseorang.
"Kalau begitu, aku akan kembali fokus pada makananku," ujar Irish, tersenyum tipis, lalu berbalik.
Namun, suara Dion kembali menahannya.
"Nona Irish!"
Ia menoleh cepat, mendapati Dion memandangnya dengan tatapan yang berbeda. Pria itu mendekat, matanya tajam menelusuri wajahnya.
"Ada apa, Pak Dion?"
Alih-alih menjawab, Dion mengulurkan tangan ke arah wajahnya. Irish spontan mundur satu langkah, terkejut.
"Anting yang kamu pakai…" gumam Dion perlahan.
Irish mengerutkan kening, lalu menunjuk anting karang merah yang ia kenakan, anting yang dipinjamkan oleh Pak Erick.
"Yang ini?"
"Ya." Dion mengangguk mantap. Baru sekarang ia menyadari keindahan anting itu. Ketika Irish berbalik tadi, anting tersebut sempat bergetar lembut, memantulkan cahaya yang menawan.
Tanpa sadar, Dion mengulurkan tangan dan menyentuh anting itu.
Kini, jari-jari Dion berada di dekat daun telinga Irish. Posisi mereka nyaris bersentuhan, dan ini terjadi di tengah acara Erick, tempat banyak pasang mata bisa saja memperhatikan.
Irish berbisik gugup, "Pak Dion… bisa tolong lepaskan dulu?"
Sadar akan sikapnya yang terlalu pribadi, Dion segera menarik tangannya dan tersenyum kaku.
"Maaf, Nona Irish. Sudah lama aku tidak melihat desain anting seperti ini. Seorang temanku sangat menyukai gaya perhiasan Rococo abad ke-18. Karang yang dilebur seperti ini khas sekali, dia pasti akan senang sekali jika melihatnya."
Irish mengangguk pelan. Ia tahu pasti: ‘teman’ yang dimaksud Dion bukan sekadar teman biasa. Mungkin seseorang yang membuat Dion menjadi pria dengan perasaan yang sulit ditebak seperti sekarang.
"Aku tidak tahu apakah Nona Irish bersedia memenuhi permintaan temanku. Berapapun harganya, aku siap membayarnya."
Irish buru-buru menggeleng.
"Maaf, Pak Dion. Anting ini bukan milikku. Ini milik pribadi Pak Erick. Ia hanya meminjamkannya untuk menyesuaikan gaun pertunjukan hari ini. Kalau Anda sungguh menyukainya, silakan bicara langsung dengannya."
Sembari berbicara, Irish mulai melepas anting itu dengan hati-hati.
"Ayo, aku antar Anda bertemu Pak Erick."
Namun, sebelum sempat melangkah, suara pria lain terdengar.
"Irish, ada apa?"
Irish menoleh cepat dan melihat Erick mendekat dengan segelas anggur di tangannya. Ekspresinya tajam, matanya menyorot ke arah Dion dan Irish yang berdiri terlalu dekat. Yang membuatnya lebih tak tenang: tangan Dion baru saja menyentuh telinga Irish.
Ekspresi Erick berubah seketika. Ia memalingkan wajah dari Ethan, yang semula diajaknya bicara, dan berkata pelan, "Maaf, aku harus pergi sebentar."
Dengan langkah cepat, ia berjalan menuju Irish dan Dion.
Bersambung.......