*Juara 1 YAAW 9*
Tiga tahun mengarungi bahtera rumah tangga, Vira belum juga mampu memberikan keturunan pada sang suami. Awalnya hal ini tampak biasa saja, tetapi kemudian menjadi satu beban yang memaksa Vira untuk pasrah menerima permintaan sang mertua.
"Demi bahagiamu, aku ikhlaskan satu tanganmu di dalam genggamannya. Sekalipun ini sangat menyakitkan untukku. Ini mungkin takdir yang terbaik untuk kita."
Lantas apa sebenarnya yang menjadi permintaan ibu mertua Vira? Sanggupkah Vira menahan semua lukanya?
Ig. reni_nofita79
fb. reni nofita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30. Kecewanya Vira
...Sebaik apapun kita. Setulus apapun kita. Sesayang apapun kita, sebanyak apapun pengorbanan kita, tidak akan pernah berharga di depan orang yang tidak bersyukur memiliki kita. JANGAN PERNAH JADI PELANGI UNTUK ORANG YANG BUTA WARNA...
Vira mendekati foto pernikahannya dengan Yudha. Diambilnya vas bunga dan dilemparnya ke figura, hingga kacanya hancur berserakan di lantai.
Tanpa peduli kakinya yang terkena pecahan kaca, Vira kembali melempar foto pernikahannya hingga kacanya tidak tersisa karena telah pecah hancur lebur.
Darah segar tampak keluar dari kakinya yang terkena pecahan kaca tapi sepertinya sakit tidak lagi wanita itu rasakan. Mungkin karena hatinya yang lebih terasa sakit.
Yudha yang mendengar suara pecahan kaca dari kamar menjadi terkejut. Ibu Desy dan Weny tampak tersenyum. Pria itu berjalan menuju kamar dan membuka pintunya perlahan.
Yudha kaget melihat pecahan kaca yang berserakan di lantai. Dengan hati-hati berjalan mendekati Vira. Pria itu melihat pecahan kaca yang mengenai kaki wanita itu hingga mengeluarkan darah.
Yudha berjongkok dan ingin meraih kaki Vira yang terluka, tapi wanita itu menjauhi kakinya dari jangkauan tangan pria itu. Kembali kakinya terkena pecahan kaca.
"Kakimu terluka, itu bisa infeksi," ucap Yudha.
Vira tidak menjawab ucapan pria itu. Diambilnya tas dan berjalan dengan perlahan karena menahan sakit menuju keluar kamar. Saat melewati ibu mertuanya dan Weny, wanita itu tidak sedikitpun menoleh.
Vira masuk ke mobil dan menjalankan mobilnya menuju klinik terdekat. Yudha melihat kepergian istrinya tanpa kedip. Pria itu tahu bagaimana Vira menahan sakit karena wanita itu biasanya sangat takut melihat darah. Tangannya terluka sedikit saja dia bisa menangis berurai air mata.
Tadi Yudha tidak melihat sedikitpun air mata keluar dari mata wanita itu. Pasti dia menahannya.
Yudha masuk kembali ke rumah dan melihat ibunya dan Weny tersenyum. Yudha menarik napas dalam. Menyesali kenapa dia sampai marah dengan Vira tadi.
"Ibu, aku harap jangan meminta sesuatu lagi pada Vira. Sudah cukup banyak kita membuat dia sakit hati. Jangan tambah lagi sakit hatinya. Aku mohon, mengertilah posisinya saat ini. Sudah cukup baik dia masih mengizinkan kita tetap tinggal di sini."
"Ibu hanya ingin dia pindah kamar untuk sementara, karena sebagai pengantin baru, kamu dan Weny butuh tempat yang nyaman untuk istirahat," ucap Ibu Desy.
"Apa kamar yang kamu tempati saat ini kurang nyaman?" tanya Yudha dengan Weny.
"Maaf, Mas. Aku tidak pernah mengatakan itu. Itu hanya pemikiran ibu saja."
"Benar, Yudha. Itu bukan maunya Weny, tapi ibu."
"Sudahlah. Aku hanya ingin ibu dan Weny selalu ingat, jika rumah ini miliknya Vira. Dia yang berhak atas rumah ini."
Setelah mengatakan itu, Yudha masuk ke kamar dan membersihkan pecahan kaca di kamarnya.
"Semarah dan kecewa apa kamu denganku, Vira? Sehingga memecahkan foto pernikahan kita yang dulu sangat kamu jaga. Dulu satu butir debu pun tidak boleh menempel di kaca figura itu," gumam Yudha dengan diri sendiri.
Hingga jam sepuluh malam Yudha menunggu Vira, ingin meminta maaf dengannya, tapi wanita itu tidak kunjung kembali. Karena ibunya yang meminta dia tidur, akhirnya pria itu masuk ke kamar tamu, tempat Weny berada.
Jam dua belas malam barulah Vira pulang dengan kaki yang di balut perban. Wanita itu langsung menuju kamar dan melihat kamarnya telah bersih.
Vira membaringkan tubuhnya di ranjang. Mencoba memejamkan mata. Kakinya yang sakit tidak seberapa perihnya dibandingkan dengan hatinya. Malu dan kecewa menjadi satu saat pria itu membentaknya di depan Weny sang madu.
"Ya Tuhan, mulai hari ini aku ikhlas melepaskannya. Aku lepaskan walau dengan terpaksa. Aku janji akan mengikhlaskannya seluas aku mencintainya. Aku kembalikan lagi seluruh cintaku pada-Mu Tuhan. Sungguh aku percaya sudah kau atur sebaik-baiknya. Jika dia memang takdirku, biarlah semesta yang akan membawanya kembali padaku. Karena sekuat apa pun aku menggenggam jika dia bukan milikku, pasti akan terlepas juga. Namun, sejauh apapun kita melangkah jika dia memang jodoh kita, pasti akan dipertemukan kembali."