"Jika ada kesempatan kedua, maka aku akan mencintai mu dengan sepenuh hatiku." Kezia Laurenza Hermansyah.
"Jika aku punya kesempatan kedua, aku akan melepaskan dirimu, Zia. Aku akan membebaskan dirimu dari belengu cinta yang ku buat." Yunanda Masahi Leir.
Zia. Cintanya di tolak oleh pria yang dia sukai. Malam penolakan itu, dia malah melakukan kesalahan yang fatal bersama pria cacat yang duduk di atas kursi roda. Malangnya, kesalahan itu membuat Zia terjebak bersama pria yang tidak dia sukai. Sampai-sampai, dia harus melahirkan anak si pria gara-gara kesalahan satu malam tersebut.
Lalu, kesempatan kedua itu datang. Bagaimana akhirnya? Apakah kisah Zia akan berubah? Akankah kesalahan yang sama Zia lakukan? Atau malah sebaliknya.
Yuk! Ikuti kisah Zia di sini. Di I Love You my husband. Masih banyak kejutan yang akan terjadi dengan kehidupan Zia. Sayang jika dilewatkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#29
'Sejak nona Zia mengundurkan diri, tuan muda semakin sulit untuk di tebak. Lihat saja sekarang. Biasanya, jangankan menghadiri pesta perusahaan kecil, pesta perusahaan besar saja sangat sulit.'
'Aish. Sungguh, tuan muda semakin membuat aku merasa bingung,' kata Deswa lagi dalam hati.
Langkah kaki Deswa tiba-tiba tertahan saat suara Yunan terdengar. Saat itu, Deswa baru juga beranjak beberapa langkah. Maklum, karena sibuk dengan apa yang sedang benaknya pikirkan, dia malah berjalan sangat pelan seolah enggan untuk meninggalkan ruangan Yunan.
"Iya, Tuan muda. Ada perintah lagi?"
"Mm ... tolong, pilihkan aku satu set perhiasan dari berlian berwarna hijau, Deswa. Aku ingin kamu memilihkan yang paling cantik. Jangan yang terlalu mewah. Hanya yang terlihat unik dan cantik saja. Dan yang paling penting, warnanya harus hijau."
Deswa terdiam sejenak. Sepertinya, dia sedang diserang oleh perasaan bingung. Rasa penasaran juga. Tapi sayangnya, bibir terlalu takut untuk bertanya.
"Iy-- iya ... ba-- baiklah, tuan muda. Akan saya carikan."
"Tunggu! Apakah ini akan kita jadikan hadiah untuk ulang tahun perusahaan Herma? Atau-- "
"Tentu saja bukan. Itu bukan hadiah untuk perusahaan. Tapi, untuk seseorang. Carikan yang lain untuk perusahaan. Sesuka hatimu saja hadiahnya apa. Yang paling penting, set perhiasan yang aku katakan adalah tugasmu yang utama."
Cukup membingungkan buat Deswa. Tapi syukurnya, dia memahami apa yang tuan mudanya katakan. Tugasnya yang paling penting adalah mencarikan set perhiasan seperti yang tuan mudanya inginkan. Sedang untuk hadiah ulang tahun kantor yang sudah mengundang mereka, itu bukan prioritas.
"Baiklah. Sepertinya, yang harus aku cari terlebih dahulu adalah set perhiasan yang tuan muda inginkan."
"Set perhiasan dari berlian berwarna hijau. Uh, cukup unik."
"Siapa yang suka warna hijau ya?"
"Tuan muda suka warna biru. Lalu nona Ratu, suka warna ungu. Tunggu! Apa jangan-jangan, set perhiasan ini untuk nona Zia?"
Seketika, Deswa kembali ingat pesan Yunan malam itu saat dia diminta membelikan pakaian untuk Zia. "Carikan aku stelan wanita dengan ukuran ini," ucap Yunan sambil menyerahkan sebuah catatan di layar ponselnya. "Kalau bisa, carikan warna hijau tua ya, Deswa."
Deswa langsung mangut-mangut sekarang. "Sudah tidak diragukan lagi sekarang. Warna hijau adalah warna kesukaan nona Zia."
"Ah, ya Tuhan. Apa jangan-jangan, perusahaan Herma ada hubungannya dengan nona Zia lagi? Karena itu tuan muda bersedia hadir untuk memenuhi undangan yang perusahaan itu kirimkan."
"Ya Tuhan ya Tuhan. Ini sungguh nyata. Tuan muda melakukan semuanya untuk nona Zia. Tuan muda benar-benar jatuh hati pada nona cantik itu. Ini anugerah."
"Baiklah, tuan muda. Aku tidak akan mengecewakan hati tuan muda. Akan aku pilih set perhiasan yang paling cantik, yang sangat unik, dan yang pastinya, perhiasan yang paling cocok dengan nona Zia. Percayakan padaku, tuan muda. Aku tidak akan mengecewakan tuan muda."
*
Beberapa hari kemudian, pesta itu akhirnya tiba. Wingsi terlihat sangat cantik dengan gaun merah muda yang ia kenakan. Sedang Zia, dia hanya memakai gaun biasa dengan warna gelap.
"Apa yang kamu kenakan malam ini, Zia? Kamu ingin mempermalukan keluarga hanya dengan pakaian sederhana ini?"
Wingsi terlihat kesal saat melihat adiknya hanya memakai pakaian biasa. Yah, bagaimanapun, Wingsi tetap saudara Zia. Darah yang mengalir meski selalu bertengkar, tetap saja darah yang sama.
"Apa yang kalian perdebatkan, hm?" Sang papa bertanya dengan nada lemah lembut.
"Papa lihat, Zia. Kenapa dia malah ingin mempermalukan diri hanya dengan memakai gaun sederhana? Apa dia tidak tahu kalau malam ini adalah malam yang penting huat kita?"
"Apa yang salah dengan gaun yang aku pakai? Lagian, aku hanya bagian dari keluarga. Bukan bagian dari perusahaan."
"Zia. Meskipun kamu tidak bekerja di perusahaan kita, tapi kamu tetap bagian dari perusahaan itu. Karena itu adalah perusahaan keluarga. Kakak kamu benar, ganti bajunya. Jangan bikin malu diri sendiri."
"Gak perlu, Pa. Aku juga sebenarnya gak tertarik dengan pesta. Palingan, aku hanya melihat sebentar saja. Setelah itu, aku akan langsung istirahat. Aku gak suka keramaian."
Papa Zia hanya bisa melepas napas berat. Anak bungsunya memang sedikit sulit untuk diatur. Selalu berdebat dengan anak sulungnya yang memang suka sesuatu yang glamor. Sedang anak bungsunya lebih suka yang sederhana. Dua karakter yang berbeda. Sungguh butuh kesabaran yang cukup besar saat bicara dengan kedua anak tersebut.
Zia pun beranjak setelah berucap. Wingsi yang kesal semakin di buat kesal karena ulah adiknya itu. "Zia!"
"Aduh, Wingsi. Biarkan saja. Kamu kan tahu Zia memang tidak suka pesta. Jadi, mau bagaimana lagi? Dia mau pergi saja sudah bagus. Biarkan saja."
Wingsi pun langsung mendengus kesal. Merekapun melanjutkan langkah keluar rumah. Saat Zia membuka pintu, wajah pertama yang ia lihat adakah Brian. Pria itu ternyata sudah sampai di depan rumah mereka.
"Zia. Kamu-- "
"Kak Wingsi ada di dalam. Dia juga sudah siap. Kamu bisa masuk sekarang untuk menjemputnya."
"Ee ... Zia-- "
Wingsi pun muncul dari belakang.
"Brian. Kamu sudah tiba? Sejak kapan?"
"Ah, Wing. Belum lama. Baru juga sampai."
"Ayo!" Brian berucap sambil mengulurkan tangannya untuk menyambut Wingsi.
Zia hanya terdiam. Sekarang, saat melihat Brian bersama kakaknya, tidak pernah lagi hatinya merasakan rasa sakit. Tapi saat di kehidupan sebelumnya. Jika melihat Brian bersama Wingsi, hatinya akan sangat amat perih.
Tatapan Brian yang bisa berubah dengan cepat membuat Zia merasa sadar, di kehidupan yang lalu, bukan dia yang terlalu bodoh. Tapi Brian lah yang terlalu pintar dalam mempermainkan perasaan. Lihatlah beberapa saat yang lalu. Brian menatap Zia dengan penuh perasaan. Tapi setelah melihat Wingsi, Brian malah langsung memfokuskan pandangan hanya untuk Wingsi saja. Brian terlalu pintar dalam mempermainkan perasaan.
'Heh! Untung saja aku bukan Zia yang dulu. Jika itu Zia yang ada di kehidupan sebelumnya, aku yakin, aku akan mengamuk sekarang juga. Sungguh bod*ohnya aku yang dulu ya.' Zia bicara dalam hati sambil tersenyum kecil.
Merekapun meninggalkan rumah menuju tempat pesta. Saat itu, Brian sempat melirik Zia sesaat. Melihat senyum kecil yang Zia ukir.
Hatinya cukup tersentuh akan senyuman tersebut. Tapi, tekadnya sudah bulat. Dia ingin mendapatkan kakaknya, bukan adiknya.
Mobil berhenti di depan sebuah gedung. Ya, di sanalah pesta ulang tahun perusahaan akan di adakan. Saat kedua orang tua Zia masuk ke dalam, gadis itu malah tidak ikut bersama dengan kedua orang tuanya.
"Zia."
"Zia mau cari angin dulu, Ma. Masuk setelah acara akan di mulai."
"Mm ... jangan lama-lama, Zia. Kamu harus masuk secepatnya."
"Iya, Ma. Tenang saja."