Harusnya, dia menjadi kakak iparku. Tapi, malam itu aku merenggut kesuciannya dan aku tak dapat melakukan apapun selain setuju harus menikah dengannya.
Pernikahan kami terjadi karena kesalah fahaman, dan ujian yang datang bertubi-tubi membuat hubungan kami semakin renggang.
Ini lebih rumit dari apa yang kuperkirakan, namun kemudian Takdir memberiku satu benang yang aku berharap bisa menghubungkan ku dengannya!
Aku sudah mati sejak malam itu. Sejak, apa yang paling berharga dalam hidupku direnggut paksa oleh tunanganku sendiri.
Aku dinikahkan dengan bajingan itu, dibenci oleh keluargaku sendiri.
Dan tidak hanya itu, aku difitnah kemudian dikurung dalam penjara hingga tujuh tahun lamanya.
Didunia ini, tak satupun orang yang benar-benar ku benci, selain dia penyebab kesalahan malam itu.~ Anja
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Atuusalimah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bagian 6, part 5
"Kamu sudah menghancurkan hidup Anja, namun tak mau bertanggung jawab atas rasa sakitnya sedikitpun. Dimana hati nuranimu, Reka?
Kapan papi mengajarimu menjadi orang yang tak bertanggung jawab seperti ini?"
Asap yang keluar dari mulutnya masih menggumpal, saat ia kembali menghisap nikotin itu untuk yang terakhir kalinya. Ia menekan puntung rokok itu pada asbak, sama halnya dengan ia menekan setres dikepalanya karena ocehan papinya yang panjang.
"Papi pikir dengan menikahinya kamu dapat menebus kesalahanmu, tapi apa?
Kamu tidak menggunakan kesempatan itu sedikitpun!"
Ia ingin sekali mendebat, bukan tak menggunakan kesempatan melainkan tak ada sedikitpun celah pada kesempatan itu.
"Jangan kamu pikir papi gak tau apa yang ada dalam pikiranmu itu, ya?
Kamu bukan lagi anak-anak, papi sudah tak peduli apa yang akan kamu lakukan. Namun, jika kamu benar-benar ingin kembali dengan kekasihmu itu,
pergi dan jangan anggap kami keluarga lagi!" Reka menghela napas, lelaki tua itu benar-benar so tau, pikirnya jengah.
"Apa kamu juga berpikir papi gak tau kalau Kekasih kecilmu itu sudah pulang?"
Hah? Reka melongo,
"Kekasih kecil yang mana sih pih? Papi dari tadi nyebut-nyebut kekasihku, aku jadi bingung kekasih yang papi maksud itu yang mana?Aku bingung karena selama aku menikah, aku tak pernah deket dengan wanita manapun kecuali sebatas hubungan kerja!"protes Reka saat perbincangan mulai terasa tak masuk akal.
"Jangan pura-pura bodoh dihadapan Papi. Adik Anja itu, papi juga tau dia sudah cerai dengan suaminya!" Reka ingin sekali menangis karena tertawa,
"Silvi, maksud papi?" tebaknya tak habis pikir.
"Kalau tak diingatkan barang kali aku sudah benar-benar lupa. Selama tujuh tahun ini, aku tidak tau hal apapun tentang wanita itu. Justru aku ingin bertanya, apa selama tujuh tahun ini papi mengirim orang untuk memata-matai wanita itu?"
Pak Tias melengos, pura-pura tak mendengar dan asik memperhatikan ikan-ikan yang menggerumuti kakinya.
"Pih, apa yang papi pikirkan tentangku? Aku menyukainya dulu karena dia baik, tapi dengan apa yang dilakukannya terakhir kali, papi pikir aku masih akan menyukainya? Lagi pula~ lagi pula aku ada Kezia!" Dalihnya tak habis pikir, ucapannya sempat terhenti diakhir kalimat dengan meralat nama Anja.
"Siapa tau besok juga udah ketemu,"
Reka memejamkan mata saat kepalanya terasa pening, alarm bawah sadarnya mengingatkan ia akan semakin frustasi jika semua ini terus berlanjut.
Ia memang sempat merasa hancur atas apa yang menimpa hubungannya dengan wanita itu, namun sekarang dia bahkan berani bersumpah bahwa wanita itu tak memiliki sedikit pun tempat dihatinya. Ia sudah meninggalkan masalalu itu sangat jauh, baginya sekarang dia hanya kerikil yang sempat membuatnya tersandung.
"Kezia sudah bangun, dia menanyakanmu dari tadi!" Panggil Bu Niar setengah berteriak, sosoknya menyembul dibalik pintu kaca, Reka menghela nafas lega karena dengan begitu ia tidak perlu mencari alasan untuk meninggalkan papinya itu.
"Aku kesana!"tutupnya sambil beranjak, sekilas memandang pak Tias yang sedang membenarkan letak kacamatanya dengan tatapan kesal.
Kakinya melangkah, namun matanya tak lepas memperhatikan Bu Niar yang sibuk mengambil daun kecil pada pot algonema kesayangan nya.
***
Pintu kamarnya setengah terbuka, ada keraguan yang menyelimuti hatinya untuk melangkah masuk. Tatapannya yang sayu mengintip wanita yang dengan telaten menyuapi putrinya makan, pemandangan yang ia pikir tidak akan ia lihat seumur hidupnya.
"Papa Kok gak masuk!"panggil Kezia begitu memergoki sosoknya.
Reka tersenyum, melangkah dengan sangat pelan.
Anja mundur dari posisinya kini, dan Reka merasakan perubahan yang signifikan pada suasana wanita itu dalam sekilas pandang.
Ia merentangkan tangannya kemudian memeluk Kezia dan mulai menciuminya,
"Geli papa!" Anja mencuri pandang saat pria itu tertawa kecil.
"Ngerepotin enggak?"
"Enggak kok, Zia baik. Iya kan, ma?" gadis itu kecil itu meminta pembenaran. Anja merespon dengan anggukan kecil.
"Gimana perasaannya sekarang? masih sakit?" Tanyanya setelah membenarkan letak duduknya disamping Kezia.
"Sakit tau papa! Lihat ini, tadi tangan Zia berdarah pas baru selesai dokter suntik,"ceritanya antusias namun terkesan lemah sambil menunjukan selang infus yang menempel pada pergelangan tangannya.
"coba papa tebak, saat itu pasti kamu nangis!"
"Kok papa tau? pasti mama yang kasih tau!"
"Yehh, gak dikasih tau juga emang papa tau anak papa cengeng!"godanya sambil menyentuh hidung mancung putrinya.
"Ihh mama, papa nih!" Rajuk gadis kecil itu manja meminta dukungan pada ibunya.
Anja tersenyum kaku, tak tau bagaimana harus menanggapinya.
"Kok gak terima, siapa yang gak tau emang selain menangis gadis papa juga suka ngambek?"
"Papa nyebelin! Udah ah, pokoknya malem aku gak mau tidur sama papa!" Kezia membuang mukanya, mulutnya yang ditekuk tampak beberapa kali menggemaskan.
"Iya...iya... maafin papa deh. Jangan gitu dong, Zia juga kan tau papa gak bisa tidur kalau gak ada Zia!"
Gadis kecil itu tak menjawab, masih dalam posisinya yang membuang muka.
Anja diam-diam memperhatikan, ia masih benar-benar orang asing bagi Kezia jika dibandingkan dengan bagaimana gadis kecil itu berinteraksi dengan papanya.
Meski tadi Kezia tidak menolak semua bentuk perhatian, tapi dia juga merasakan adanya dinding pembatas. Putrinya itu tak pernah bersikap lepas, dia terkesan berhati-hati setiap kali mengatakan sesuatu.
Tak apa, ia bisa menerima itu. Ada begitu banyak waktu dimasa depan, pikirnya. Namun juga ragu untuk bisa bersaing dengan Reka.
"Zia, mama izin keluar gak apa-apa, ya? Mama ada janji sama temen mama, mungkin akan pulang sedikit malam!" Anja angkat suara, pandangan Kezia beralih, matanya berkedip,
"Mama gak akan pergi lagi, kan? Zia takut mama gak pulang lagi!" Katanya hati-hati.
Ada sesuatu yang menyerbu perasaannya, ia tak pernah dekat dengan anak kecil sebelumnya. Sekarang, tiba-tiba ada seorang anak yang takut kehilangan dirinya,
Sekarang ia tak tau emosi apa yang sedang dirasakannya.
Suara ponsel yang bergetar pelan mengalihkan suasana, Reka mengeluarkan ponsel disaku kemeja seraya mengintip siapa yang menghubunginya.
No tak dikenal,
Ia melirik pada Anja sekilas,
"Hallo?"Sapanya dengan pikiran menebak-nebak.
"Ada waktu? Aku ingin bertemu!"
Reka mematikan sambungan telpon buru-buru, ia berdehem panik, tangannya mencengkram telpon genggamnya dengan erat.
Namun, Anja terlanjur mendengar suara disebrang sana.
" A-aku tak punya hubungan apapun dengannya!"jelasnya gugup.
semangat kak author 😍