Widowati perempuan cantik yang baru saja melahirkan bayinya yang mati. Langsung dicerai oleh Aditya suaminya, karena dianggap tidak bisa menjaga bayi yang sudah dinanti nantinya.
Widowati akhirnya memilih hidup mandiri dengan mengontrak rumah kecil di pinggir sungai, yang konon kabar beritanya banyak makluk makluk gaib di sepanjang sungai itu.
Di suatu hari, di rumah kontrakannya didapati dua bayi merah. Bayi Bayi itu ukuran nya lebih besar dari bayi bayi normal. Bulu bulu di tubuh bayi bayi itu pun lebih lebat dari bayi bayi pada umumnya.
Dan yang lebih mengherankan bayi bayi itu kadang kadang menghilang tidak kasat mata.
Bayi bayi siapa itu? Apakah bayi bayi itu akan membantu Widowati atau menambah masalah Widowati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 28.
Pegawai hotel pun langsung menutup pintu ball room itu.
Orang orang yang tadi tertawa terbahak bahak, langsung terdiam. Karena mendengar teriakan Mintarsih dan melihat wajah Mintarsih merah padam karena marah.
Nyi Ratu langsung mengambil cunduk mentul yang masuk ke dalam mulutnya. Dua pentol bakso pun tertinggal di dalam rongga mulut nya.
“Hah! Untung cunduk mentul ini tidak menancap di kerongkonganku!” Ucap Nyi Ratu saat sudah melepeh (membuang) dua pentol bakso itu.
Sedangkan Widowati dan Retno yang masih menggendong tubuh mungil dua bocil itu, terlihat sangat panik saat pintu ball room sudah ditutup rapat. Pintu yang terbuat dari kaca tebal itu pun dijaga oleh dua satpam hotel di dalam pintu dan dua satpam di luar pintu.
Tampak dari balik pintu kaca itu, tamu tamu yang masih berdatangan dilarang masuk lebih dulu. Dalam batas waktu yang tidak tentu.
Pak Sigit yang tahu situasi saat membahayakan buat keluarganya berjalan tergopoh gopoh mendekati Retno dan Widowati.
“Pa, piye Pa? Papa sih tidak cepat cepat. Malah menghabiskan dulu makanan. Sekarang kita tidak bisa pulang. Nenek tua itu pasti akan merebut Langit dan Lintang.” Ucap Retno dengan nada panik saat Pak Sigit sudah di dekatnya dan mengulurkan tangannya akan mengganti menggendong Lintang.
“Tenang Ma, jangan panik.. di ball room pasti ada pintu darurat, atau pintu lain.” Ucap lirih Pak Sigit berusaha menenangkan istrinya dan Widowati. Kepala Pak Sigit menoleh noleh untuk mencari pintu darurat atau pintu lainnya yang terpenting bisa untuk menyelamatkan keluarga nya.
“Itu Pak De, di cebelah cana itu ada pintu dalulat belwalna melah.” Suara lirih Lintang samping menoleh ke arah pintu darurat yang letaknya di dinding tembok sebelah kanan ball room.
“Ma, Wid ayo kita menuju ke pintu darurat itu.” Ucap Pak Sigit segera melangkah menuju ke pintu darurat sambil menggendong tubuh Lintang.
“Iya mumpung Nyi Ratu sedang menunduk membersihkan cunduk mentul nya.” Ucap Widowati juga melangkah cepat cepat menuju ke pintu darurat.
Akan tetapi, Mintarsih yang masih berdiri di atas panggung tampak melihat rombongan Widowati yang melangkah cepat menuju ke pintu darurat.
“Hai! Mereka mau meloloskan diri!” teriak Mintarsih dengan keras.
Nyi Ratu yang masih mengusap usap ujung cunduk mentul yang kotor oleh bakso, langsung mendongak dan menatap ke arah Widowati dan rombongan yang menyeberang karpet merah menuju ke pintu darurat.
“Tangkap mereka! Mereka para penculik. Mereka menculik dua anak kecil itu!” teriak Nyi Ratu sambil kembali melempar dua cunduk mentul.
Masih merasa kurang Nyi Ratu mengambil lagi cunduk mentul di atas kepala nya dan langsung dilempar ke arah rombongan Retno.
Suuuuiiinnnnggggg...
Ketiga cunduk mentul itu kembali melayang di udara. Terbang ke arah kepala Widowati, Retno dan Pak Sigit.
Orang orang dan satpam tidak berani mendekat ke arah rombongan Widowati. Mereka semua malah takut jika terkena tusukan cunduk mentul yang dilempar oleh Nyi Ratu.
“Kamu itu jutlu yang mau meculik aku, nenek cihil!” suara imut Lintang dengan sangat nyaring dan lantang.
“Mama Wiwid dan Bu De Yetno olang tuaku!” teriak Langit yang digendong oleh Widowati.
Mereka berdua dengan tatapan tajam sangat berani menatap Nyi Ratu. Di pandangan mata kedua bocil itu, bisa melihat sosok asli Nyi Ratu, yang tubuhnya sudah tua renta.
Widowati, Retno dan Pak Sigit, melanjutkan langkahnya menuju ke pintu darurat. Karena orang orang tidak berani mengejarnya.
“Cepat, Ayo cepat!” teriak Pak Sigit setengah berlari..
Retno dan Widowati yang memakai sepatu dengan hak agak tinggi, lumayan kerepotan jika harus berlari.
Akan tetapi tiba tiba...
“Aduh!” teriak Retno.
Retno langsung berhenti langkah kakinya. Karena satu kakinya malah kedegkling (terkilir, keseleo) segala.
“Ma...”
“Mbak.”
Pak Sigit dan Widowati menoleh ke belakang karena mendengar suara Retno yang mengaduh kesakitan.
“Sakit sekali, susah jalan nih..” ucap Retno sambil meringis bahkan dia kini jongkok sambil memijat mijat pergelangan kaki kirinya yang terkilir.
Sementara Langit dan Lintang, melihat ada tiga cunduk mentul melayang tertuju ke arah Retno, Widowati dan Pak Sigit.. Dua bocil itu segara mengibaskan telapak tangan mungil mereka menuju ke tiga cunduk mentul itu.
Mintarsih dan Nyi Ratu tertawa terbahak bahak, melihat Retno yang mendapatkan musibah.
“Ha... ha... ha... ha... syukur kapok kamu!” Teriak Nyi Ratu sambil tertawa bahagia.
“Rasakan salah sendiri membantu Wiwid kena akibatkan kamu Ret ha... ha... ha... “ teriak Mintarsih tertawa sangat bahagia.
Karena begitu bahagianya melihat Retno celaka. Hingga mereka berdua tidak memperhatikan jika ketiga cunduk mentul sudah berbalik arah menuju ke arah mereka.
Dan betapa kagetnya mereka berdua saat melihat cunduk mentul itu kini tidak membawa pentol bakso. Tetapi ketiga cunduk mentul itu membawa api yang menyala nyala..
“Nyi senjata Nyi Ratu berbalik arah lagi!” teriak Mintarsih dengan sangat lantang.
“Hah! Kurang ajar dua bocah itu melawan aku!” teriak Nyi Ratu mengulurkan kedua tangannya untuk melepas ajiannya agar cunduk mentul kembali menuju ke sasaran nya.
Namun cunduk mentul yang menyala nyala itu tetap saja terbang ke arah Nyi Ratu Kodasih bahkan yang satu ke arah Mintarsih.
Mereka berdua berusaha menghindar. Kedua mempelai, Mintarjo dan juga orang tua Aditya segera berlari turun dari panggung untuk menyelamatkan diri masing masing.
Orang orang pun tampak heboh. Ada yang takut jika akan terjadi kebakaran. Namun ada juga yang penasaran ingin melihat apa yang bakal terjadi selanjutnya..
Dua cunduk mentul yang menyala nyala apinya itu akhirnya sukses menancap kembali di kepala Nyi Ratu. Dan yang satu menancap dengan manis di atas kepala Mintarsih.
“Tolong... tolong ... “ teriak Mintarsih sambil kedua tangannya berusaha untuk mencabut cunduk mentul yang telah membuat kepalanya terasa panas.
Tangan Mintarsih gagal melepas cunduk mentul itu. Malah sanggulnya yang jatuh ke bawah.
“Tolong... Tolong... “ teriak Mintarsih yang kini turun dari panggung menuju ke orang orang untuk minta tolong.
Suasana menjadi sangat heboh. Apalagi kala ball room itu tercium aroma rambut yang terbakar. Banyak orang berlari menuju ke pintu ball room memaksa petugas untuk membuka pintu ball room itu. Tidak lupa mereka sambil membawa makanan yang bisa dibawa pulang. Dapat satu cup zuppa soup lumayan juga.
“Kurang ajar!” teriak Nyi Ratu sangat berang. Sanggul palsu Nyi Ratu pun juga jatuh ke lantai. Rambut Nyi Ratu juga terbakar oleh api yang dibawa oleh senjata nya sendiri.
Tangan Nyi Ratu mencabut lagi cunduk mentulnya yang masih panas membara..
Suuuuuiiiinnnggg..
Dua cunduk mentul kembali melayang di udara..
Sesaat terdengar suara mempelai pria berteriak sangat keras.
“Tangkap orang orang yang sudah mengacaukan acaraku!”
“Tidak pandang bulu, itu orang besar, kecil, bayi, laki, perempuan, tua, muda! Tangkap semua!” titah Aditya lagi sambil menatap petugas petugas hotel , kru wedding organizer yang sibuk untuk mengamankan ballroom itu.
Kapokk hancur lebur acaranya
ternyata ilmunya blm seberpaa mkne masih kalah sm om wowo
secara om wowo mah lg tmpil mode gamteng maksimal atuhh 😍😍😍
coba mode 👻👻👻
ngacir dehhh
makin seru g bksa di tebak dehh