Enam bulan pernikahan Anindia, badai besar datang menerpa biduk rumah tangganya. Kakak sang suami meninggalkan wasiat sebelum meninggal. Wasiat untuk menjaga anak dan juga istrinya dengan baik. Karena istri dari kakak sang suami adalah menantu kesayangan keluarga suaminya, wasiat itu mereka artikan dengan cara untuk menikahkan suami Nindi dengan si kakak ipar.
Apa yang akan terjadi dengan rumah tangga Nindi karena wasiat ini? Akankah Nindi rela membiarkan suaminya menikah lagi karena wasiat tersebut? Atau, malah memilih untuk melepaskan si suami? Ayok! Ikuti kisah Nindi di sini. Di, Wasiat yang Menyakitkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#13
Selesai berucap, Anin langsung beranjak meninggalkan Hanafi tanpa pamit lagi. Dia pergi menjauh dari pandangan Afi. Menghilang di balik daun pintu yang menjadi pembatas kamar tersebut dengan kamar mandi.
Nyatanya, wanita itu hanya pura-pura kuat di depan saja. Tapi di belakang, dia sangat-sangat rapuh. Sama seperti Nindi yang langsung menangis sesaat setelah menutup rapat pintu kamar mandi.
Tangisan dalam diam itu pecah. Hatinya yang sangat perih tidak kuat untuk menahan air mata agar tidak jatuh. Dia menangis sesenggukan tanpa suara. Hatinya merintih memohon agar bisa segera terbebas dari masalah yang setiap hari telah menyiksa batinnya. Sungguh sangat menyakitkan hari-hari yang dia lalui akhir-akhir ini.
Sementara itu, Hanafi yang Anin tinggalkan di sana juga merasakan hal yang sama. Keduanya sama-sama terluka akan masalah yang sedang mereka hadapi. Sayangnya, keduanya tidak punya cara untuk saling menguatkan dalam luka tersebut.
Afi terdiam dengan mata yang berkaca-kaca. Matanya menyapu seluruh isi dari kamar tidur mereka yang berantakan. Kamar yang dulunya penuh cinta juga kehangatan. Sayangnya sekarang, semua sudah berubah. Tidak ada kehangatan, karena yang tersisa hanya luka dalam diam.
Mata Afi tertuju pada meja rias Anindia yang berserakan. Kakinya bergerak pelan menuju ke tempat tersebut. Lalu, dia berjongkok untuk memungut semua barang yang terjatuh. Sesaat berpikir, Afi langsung mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi seseorang.
"Halo, Fi." Terdengar suara wanita di seberang sana saat panggilan telah terhubung. "Ada apa nih? Tumben kamu nelpon aku."
"Tia, bisa minta tolong?"
"Apa tuh? Katakan saja! Jika ku bisa, pasti akan ku tolong kamu nya."
"Belikan aku beberapa alat kosmetik untuk istriku. Aku telah merusaknya. Ku takut dia marah. Karena itu, aku minta tolong padamu untuk membelikannya yang baru. Bisakah?"
Terdengar tawa renyah di ujung sana. "Dasar Afi takut istri. Baiklah. Tentu saja bisa. Akan ku cari segera. Kirimkan saja foto-foto barang yang ingin kamu belikan. Tar aku kirim lewat ojol yah."
"Oke, Tia. Terima kasih banyak atas bantuannya," ucap Afi dengan suara sedikit senang.
Yang diajak bicara malah tertawa kembali.
"Apaan sih, Fi? Kayak sama siapa aja kamu ini?"
"Iya ... aku merasa sedikit tidak enak karena telah menganggu dirimu dengan permintaan ku itu."
"Ya elah ini anak satu. Kok malah ngomong gitu sih, Fi? Ngapain gak enak? Kita inikan teman. Sudah seharusnya 'kan, teman itu saling tolong. Lagian, selama ini aku rasa, hanya aku yang minta tolong padamu terus-terusan. Ku pikir, aku tidak punya kesempatan buat nolongin kamu. Eh ... akhirnya, datang juga kesempatan itu." Tiara ngoceh panjang lebar dengan bahagia.
Tiara. Gadis itu dulunya adalah teman Hanafi. Hanya sebatas teman yang murni. Karena mereka dulu pernah sekolah di tempat yang sama. Dan, persahabatan yang cukup sehat itu ternyata masih berlanjut saat mereka sama-sama sudah bekerja.
Tiara juga terlahir dari keluarga sederhana. Lebih sederhana dari Nindi. Dia anak yang tangguh waktu itu. Keduanya berteman karena Afi pernah menolong Tia saat wanita itu sangat-sangat membutuhkan bantuan keuangan ketika mereka duduk di bangku sekolah menengah pertama.
Maklum, Tia hanya tinggal bersama ibunya. Wajar jika kekurangan uang untuk kebutuhan sekolah. Karena jangankan kebutuhan sekolah, kebutuhan hidup saja sangat sulit untuk mereka penuhi.
Saat semuanya menolak mengulurkan tangan, Afi lah yang bersedia memberikan. Maklum, Afi memang terlahir dari keluarga yang sangat berkecukupan, bukan? Jadi wajar jika ia punya banyak cara untuk membantu Tiara lepas dari masalahnya.
Sejak saat itu, mereka pun berteman baik. Teman yang benar-benar teman, tanpa mengikutsertakan masalah hati ke dalam pertemanan tersebut. Dan, teman antara lelaki dan wanita ini pun akhirnya berjalan baik hingga saat ini.
Tapi sebenarnya, teman lawan jenis ini tidak akan ada yang benar-benar murni. Mungkin ada, hanya saja tidak akan banyak. Karena pasti, di saat berteman, mereka tidak bisa untuk tidak mengikutsertakan hati ke dalamnya. Hanya saja, mereka pintar sekali dalam menjaga hati. Menahan perasaan dengan sangat baik dengan pikiran yang sama-sama tidak ingin merusak hubungan sebagai teman yang telah mereka jalani.
Ya ... begitulah kenyataanya. Mungkin, antara Tia dan Afi juga sama. Hanya saja, keduanya lebih memilih membunuh perasaan lain, lalu tetap menjaga perasaan sebagai teman dengan sangat baik.
"Ya sudah, Fi. Kirimkan aku foto-foto dari barang yang ingin kamu beli. Akan aku lakukan sekarang," ucap Tia sebelum mereka mengakhiri obrolan mereka saat ini.
"Iya, baiklah. Sekali lagi, terima kasih, Tia."
"Apaan sih? Ah, iya. Jangan lupa titip salam buat Nindi ya, Fi. Kangen aku sama dia juga. Udah lama gak ketemu."
"Iy-- iya." Afi berucap gugup.
Setelah panggilan itupun langsung mereka akhiri. Afi terdiam saat panggilan sudah berakhir. Matanya menatap layar ponsel dengan tatapan datar. Hati yang luka sebelumnya, kini kembali terasa.
"Ku doa kan semoga kalian bahagia hingga ke anak cucu ya." Tia berucap dengan wajah bahagia. "Afi, ingat lho, jangan mendua. Jika kamu mendua, kau bukan lagi teman ku, tau?"
"Apaan sih kamu, Tiara? Bicaramu itu seolah aku ini tipe pria yang tidak setia saja."
"Ya ... bukannya begitu. Bukan masalah tipe atau nggak. Aku hanya ingin memperingatkan saja. Karena pria itu mudah berubah hati."
"Tapi yang jelas, itu bukan aku, Tiara."
"Semoga saja," ucap Tia sambil memutar bola mata dengan malas. Setelahnya, dia meraih tangan Nindi yang hanya diam sejak tadi. "Anin, jika dia mendua, katakan saja padaku. Biar aku yang pertama kali memberikan pelajaran untuknya. Tenang saja, aku ini sudah sebagai saudara sama dia. Jadi, kalau dia nakal atau bandel. Aku yang urus."
Begitulah pembicaraan bahagia di hari pernikahan Afi dengan Nindi. Belum genap setahun waktu berlalu, tapi semuanya malah sudah hancur berantakan. Sungguh sangat menyedihkan.
Afi tersenyum pahit sambil melihat foto bahagia mereka di hari pernikahan. Hatinya terasa semakin perih. Buliran bening tidak kuat lagi untuk dia bendung. Tangannya mengusap pelan bingkai foto yang ada di tangannya.
"Semuanya telah rusak. Semuanya telah hancur. Sekarang, aku tidak lagi punya harapan sedikitpun. Harapan untuk terus bertahan, harapan untuk mengejar, segalanya telah lenyap."
"Kenapa harus aku yang tersiksa? Kenapa pernikahan ku yang harus dipertaruhkan? Kenapa, Tuhan? Kenapa?"
Hanafi saat ini cukup menyesal akan dirinya yang dilahirkan dalam keluarga tersebut. Jika bisa memilih, dia mungkin lebih rela menjadi anak terbuang yang diasingkan ke panti asuhan. Dengan cara itu, jika pun ia punya keluarga nantinya, dia bisa punya hak untuk menolak.
Entahlah. Dia ingin menolak apapun yang mamanya putuskan. Tapi sayangnya, dia tidak bisa melakukan hal tersebut. Terkadang, dia iri pada almarhum kakaknya yang bisa melakukan apapun sesuka hati. Sementara diri, malah hanya bisa memenuhi permintaan sang mama.
Saat dia sudah bisa bertahan dengan pilihannya. Eh ... hasilnya malah kacau seperti sekarang. Semua gara-gara wasiat kakaknya yang membuat dia harus terjerat lagi.
"Kenapa mas Ali pergi? Kenapa mas Ali malah merusak hubungan pernikahan ku dengan cara meninggalkan wasiat yang menyakitkan seperti sekarang? Apa mas Ali lupa sekuat apa aku berjuang untuk mendapatkannya?" Afi bicara pada bingkai foto yang di mana, di dalam bingkai foto itu juga ada Hambali yang ikut serta berfoto bersama mereka.
anak selingkuhan desy..
kmu pasti bisa melewatix ,ad x
dukungan ayah mu nin...
sdh gk layak dipertahan kan rmh tangga mu nin...
tinggalkan afi .sdh gk ad yg pantas
pertahan kan ,jangan paksakan untuk
melewati kerikil2 itu ...
semoga pd menyesal ntt x setelah pisah sma nindi...biar tau rasa
itu karma mu.desi enak kan, dah rahim rusak gk bisa punya anak pelakor lagi. iuhh amit amit.
mnikah diatas derita wanita lain kok mau bhgia, nyadar lah kau itu pelakor.