Evelyn, penulis webtoon yang tertutup dan kesepian, tiba-tiba terjebak dalam dunia ciptaannya sendiri yang berjudul Kesatria Cinta. Tapi alih-alih menjadi tokoh utama yang memesona, ia justru bangun sebagai Olivia, karakter pendukung yang dilupakan: gadis gemuk berbobot 90kg, berkacamata bulat, dan wajah penuh bintik.
Saat membuka mata, Olivia berdiri di atas atap sekolah dengan wajah berantakan, baju basah oleh susu, dan tatapan penuh ejekan dari siswa di bawah. Evelyn kini harus bertahan dalam naskahnya sendiri, menghindari tragedi yang ia tulis, dan mungkin… menemukan cinta yang bahkan tak pernah ia harapkan.
Apakah ia bisa mengubah akhir cerita sebagai Olivia? Atau justru terjebak dalam kisah yang ia ciptakan sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anastasia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 29.Diabaikan.
Owen berdiri di ambang pintu gedung olahraga, napasnya masih memburu. Tatapannya langsung terkunci pada Oliv yang berdiri tak jauh dari Jack, Rico, dan Leon. Begitu melihat bekas tangan di pipi Oliv dan rok yang kusut karena ulah mereka, sesuatu di dalam dirinya meledak.
“Lepaskan dia,” ucap Owen dengan suara rendah namun penuh amarah.
"Gawat Owen datang! " Tatapan Jack mulai ketakutan.
"Kita harus bagaimana ini? " Tanya Rico yang memundurkan langkah kakinya.
"Kita juga tidak bisa menghindar, kita lawan saja mereka" Jawab Leon yang ragu.
Belum sempat Jack mengedipkan mata, Owen sudah melangkah cepat dan menghantamkan pukulan keras ke rahang Jack. Anak itu langsung mundur beberapa langkah, hampir kehilangan keseimbangan.
Rico dan Leon sontak bereaksi. Rico maju lebih dulu, mencoba menendang Owen, tapi Owen menangkis dan menarik kerah bajunya sebelum menghantamkan sikut ke perutnya. Rico tertekuk, napasnya terputus.
Leon berusaha menyerang dari belakang, namun Owen berbalik cepat dan menahan lengannya, memelintirnya ke belakang hingga Leon meringis kesakitan.
Namun, tiga lawan satu tidak bertahan lama. Jack yang sudah bangkit kembali mendorong Owen keras hingga ia sedikit terhuyung. Kini ketiganya mencoba mengeroyok sekaligus.
Di luar pintu, Leo dan Damian baru saja tiba. Mereka melihat Owen berusaha menahan serangan bertubi-tubi, dan tanpa pikir panjang, mereka berlari masuk.
"Sepertinya ini akan seru, Leo kamu mau ikut? " Ucap Damian sambil melihat perkelahian sahabat nya itu.
"Tentu saja, sudah lama tubuh ini tidak di gerakan" Ucap Leo sambil tersenyum tipis.
“Cukup main bertiga, sekarang kita seimbang,” kata Damian, menarik Rico dari Owen lalu menghantamkan bahunya ke tubuh anak itu hingga terjatuh.
Leo dengan tenang mendekati Leon yang masih mencoba melepaskan lengannya dari pegangan Owen. “Kamu salah berani melawan kami!” ucapnya datar, sebelum memukul dada Leon hingga anak itu mundur menabrak dinding.
Pertarungan jadi berbalik arah.
Owen fokus menghajar Jack, mendorongnya ke lantai dan menahan dadanya dengan lutut, memberi satu pukulan terakhir ke pipinya yang membuat Jack menyerah.
Damian, yang biasanya ramah, menunjukkan sisi seriusnya. Ia memelintir kerah Rico, mendekatkan wajahnya dan berkata, “Lain kali, coba sentuh dia lagi, lihat apa yang terjadi,” sebelum melepaskannya dengan dorongan kuat hingga Rico tersungkur.
Leo menjaga Leon tetap di tempat, menekannya dengan tatapan tajam sambil berkata dingin, “Kalau berani ulangi, kau akan berurusan denganku dulu sebelum Owen.”
Oliv berdiri beberapa meter jauhnya, diam dan menjauh, tubuhnya sedikit bergetar tapi matanya tetap fokus pada kejadian itu. Ada campuran perasaan lega karena tidak lagi sendirian, tapi juga terkejut melihat sisi brutal 3T yang jarang muncul.
$Seperti ini rasanya dilindungi cowok cakep!, pikir Evelyn senang.
Akhirnya, Jack, Rico, dan Leon merangkak menjauh, wajah mereka dipenuhi lebam dan rasa takut yang baru kali ini mereka rasakan.
Owen berdiri, napasnya masih berat. Ia menatap mereka dengan amarah yang belum reda. “Kalau kalian sentuh dia lagi,” suaranya tegas, “aku pastikan ini cuma permulaan.”
Owen lalu memandang Oliv yang berdiri di belakangnya,mereka berdua saling menatap.Owen berusaha tidak memperlihatkan rasa cemasnya pada Oliv, Damian lalu berjalan menghampiri Oliv dan di ikuti oleh Leo.
"Kamu baik-baik saja? " Tanya Damian.
"Iya" Jawab Oliv.
"Apa ada yang terluka? " Tanya Leo.
"Tidak, aku..aku benar-benar berterimakasih atas apa yang kalian lakukan" Jawab Oliv.
Tiba-tiba suasana berubah.
Owen bukannya bersikap lembut, malah bersikap galak pada Oliv.
"Kamu itu bodoh, kamu bisa menghubungi kami. Jangan sok jago mau melawan ketiga pria bred$#k itu sendirian!, memangnya kamu superhero! " Bentak Owen.
"Dasar Owen bodoh! " Seru pelan Damian.
Sedangkan Leo menggelengkan kepalanya, karena bersikap seperti itu pada gadis yang ia sukai.
Oliv lalu menjawabnya dengan nada marah pada Owen. "Kalau bisa aku akan hubungi kalian, tapi ponselku mati. Siapa bilang aku mau jadi superhero? Aku juga takut, jika kamu keberatan menolong ku jangan datang dasar omelet nyebelin!. "
Setelah mengucapkan itu Oliv berjalan keluar meninggalkan mereka bertiga, dengan langkah kesal dan lirikan penuh emosi ke arah Owen.
Owen hanya menatap penuh keheranan pada sikap Oliv tadi. "Apa itu?, bukannya berterimakasih malah marah padaku. "
Damian pun berjalan menghampiri Owen yang hanya berdiri menatap Oliv yang mulai menjauhi mereka.
Damian lalu merangkul pundak Owen. "Bisa tidak bersikap manis pada cewek yang kamu sukai?. "
Lalu Leo juga melakukan hal yang sama dengan Damian. "Teman kita ini terlalu bodoh dalam urusan seperti itu!. "
Mereka berdua lalu mengajak Owen kembali ke kelas sebelum bel berbunyi.
Bel masuk berbunyi, menandakan pelajaran pertama segera dimulai. Kelas mereka terasa sedikit lebih ramai dari biasanya. Gosip tentang suara gaduh di dekat gedung olahraga mulai beredar, tapi tidak ada yang tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi.
Oliv duduk di bangkunya dengan wajah datar, membuka buku pelajaran sejarah tanpa benar-benar membacanya. Tangannya masih sedikit gemetar, tapi bukan karena takut tapi lebih karena marah. Ucapan Owen di gedung olahraga tadi terus terngiang di kepalanya. “Memangnya kamu superhero!”
Ia mendengus pelan, mencoba mengabaikannya.
"Memangnya dia siapa berhak marah padaku" Gumam pelan Oliv.
Pintu kelas terbuka. Owen masuk, langkahnya sedikit lebih cepat dari biasanya, seolah tak sabar. Matanya langsung menemukan Oliv, yang duduk di dekat jendela seperti biasa. Tanpa ragu, ia berjalan ke arahnya.
Oliv mencoba tidak memperdulikan Owen, yang sudah duduk di belakangnya.
“Oliv,” panggil Owen singkat.
Oliv tidak menoleh. Ia pura-pura fokus pada bukunya, bahkan membalik halaman dengan sengaja meski tidak membaca isinya.
Owen berhenti di samping mejanya. “Oliv,” ulangnya, kali ini lebih pelan, seperti mencoba menahan emosinya.
Beberapa murid di kelas melirik mereka dengan penasaran. Mereka sudah terbiasa melihat Owen yang biasanya dingin, tapi kali ini ekspresinya berbeda,ada campuran tegang dan cemas.
Owen berjongkok sedikit agar sejajar dengan Oliv. “Aku ngomong sama kamu,” ucapnya lagi, nadanya mulai terdengar kesal karena diabaikan.
Tanpa menjawab, Oliv tiba-tiba berdiri, memindahkan bukunya ke meja kosong di sisi lain kelas, lalu duduk di sana tanpa melihat ke arah Owen.
Kelas langsung jadi riuh kecil. Beberapa murid saling berbisik, mengira ini cuma drama kecil antara keduanya.
Owen berdiri perlahan, tatapannya mengikuti punggung Oliv. Rahangnya mengeras, tapi ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Dengan langkah berat, ia berjalan ke mejanya sendiri dan duduk, menatap lurus ke papan tulis tanpa benar-benar fokus.
Di sisi lain kelas, Oliv membuka bukunya kembali. Wajahnya tetap datar, tapi pikirannya kacau. Ia tahu Owen menolongnya, tapi cara Owen memarahinya membuatnya seolah merasa salah karena telah diserang. Itu membuatnya makin kesal.
Lalu tatapan tidak senang datang dari Melisa, melihat Oliv baik-baik saja dan Owen malah seperti mencari perhatian Oliv membuatnya menjadi marah.
Saat jam istirahat berbunyi Owen yang masih tidak di perdulikan oleh Oliv. Malah Oliv berjalan mendekati Melisa dengan terang-terangan, dan Owen menatap Oliv yang berwajah serius saat berdiri didepan Melisa.