Yang sudah baca novelku sebelumnya, ini kelanjutan cerita Brayn dan Alina.
Setelah menikah, Brayn baru mengetahui kalau ternyata Alina menderita sebuah penyakit yang cukup serius dan mengancam jiwa.
Akankah mereka mampu melewati ujian berat itu?
Yuk baca kelanjutan ceritanya 😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon omen_getih72, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Menghela napas, Brayn meletakkan kembali ponsel dan menyibak selimut lalu ikut berbaring.
Menarik Alina yang sudah terlelap agar bisa bersandar di lengannya, lalu mengecup kening dan pipi.
"Ingin rasanya gigit kamu. Lucu sekali sih," gumamnya memberi gigitan pelan di ujung hidung. "Untung kamu sedang tidur."
Brayn membenarkan posisi bantal. Baru saja akan terpejam, perhatiannya tiba-tiba teralihkan pada deringan ponsel milik Alina.
Sepasang alis tebal lelaki itu pun saling bertaut saat melihat nama yang tertera pada layar.
"Ayah Bro? Ada apa sampai telepon di jam segini?"
Menebak dalam hati tentang hal apa yang membuat sang mertua menghubungi di jam selarut ini, Brayn segera menjawab panggilan.
Takut ada hal penting yang perlu disampaikan.
"Assalamualaikum, Ayah," sapa Brayn santun sesaat setelah panggilan terhubung.
"Walaikumsalam. Alinanya sedang apa, Bro?"
Mendengar pertanyaan itu, senyum jahil terukir di sudut bibir Brayn.
Sekarang ia mampu menebak apa yang membuat Bagas menghubungi putrinya.
"Sudah tidur, Om Bro."
"Tapi, dia baik-baik saja kan? Tidak sedang sakit atau apa gitu?"
"Alhamdulillah, dia sehat-sehat saja."
Hela napas lega terdengar dari sana. "Kamu sendiri sedang apa, Bro? Malam begini belum tidur?"
Bibir Brayn mengatup demi menahan tawa.
"Pasti dia sedang memikirkan anaknya yang diperawanin," ucapnya dalam hati.
"Biasa pengantin baru."
"Oh ya sudah. Maaf mengganggu, hanya mau tanya bagaimana Alina."
Tanpa kata, Bagas langsung menutup panggilan, sementara Brayn terkikik geli.
"Perasaan Papa tidak gini-gini amat saat Zahra menikah dengan Raka."
**
**
Jika Brayn dan Alina telah lelap setelah aktivitas mereka, Bagas masih betah menghabiskan waktu di balkon kamar.
Duduk seorang diri sambil menikmati secangkir kopрі.
"Sedang apa sendirian di sini, Mas? Sudah malam, loh," ucap Maya yang baru menghampiri suaminya.
"Apa sih, Maya jangan tanya-tanya! Aku sedang pusing!"
Mata wanita itu membeliak. Selama mereka menikah, ini adalah pertama kali Bagas berbicara keras padanya.
"Kamu kenapa sih? Ada masalah?"
Bagas tak menyahut, melainkan kembali menyesap kopi hitamnya.
"Aku sedang memikirkan anak gadisku."
"Memangnya Alina kenapa? Dia baik-baik saja, kan? Kalau ada apa-apa pasti suaminya telepon."
"Iya, hanya saja ... kenapa aku merasa belum rela kalau Alina menikah dan tinggal di rumah suaminya. Berat rasanya. Selama ini aku menjaganya dan memastikan tidak ada laki-laki yang mendekati dia. Sekalinya menikah, langsung dibawa pergi suaminya."
Maya menggelengkan kepala menatap lelaki itu.
"Sepertinya semua Bapak yang anak gadisnya menikah akan merasa begitu deh, Mas."
"Hemm bisa jadi."
"Ya sudah, ayo tidur saja."
"Aku masih mau duduk sebentar. Lima menit."
"Oke." Maya segera beranjak menuju kamar, sementara Bagas masih bersandar di kursi berbahan rotan.
Kenangan masa muda penuh dosa berlarian di ingatan.
Bagas merasa masa mudanya begitu berengsek dan sering memanfatkan kepolosan wanita hanya untuk kesenangannya sendiri, sampai menghadirkan Alina ke dalam hidupnya.
"Tapi, kenapa sekarang rasanya berat Alina diperawanin, padahal itu suaminya sendiri?"
**
**
Pagi ini Alina benar-benar merasa telah membuktikan bahwa apa yang ditemukannya di internet tentang fakta mengerikan malam pertama bukanlah mitos belaka.
Saat terbangun, ia merasa tubuhnya seakan remuk, bak seseorang yang baru saja dipukuli, terutama di bagian paha dan punggung.
Padahal semalam Brayn memberinya vitamin, namun seolah tak membantu. Ia tetap saja merasa pegal.
"Kak...," panggil Alina menatap suaminya yang sedang berdiri di depan cermin dengan hanya mengenakan handuk.
"Ya, Sayang."
"Badan aku sakit."
Brayn mengulas senyum, memandang Alina melalui pantulan cermin.
"Badan sakit itu reaksi dari tubuh yang tidak terbiasa. Jadi mulai malam ini harus dibiasakan."
Bibir wanita itu mengerucut, memandang suaminya yang sejak tadi berdiri di depan cermin.
"Kakak sedang apa berdiri di depan cermin dari tadi?"
"Sedang melihat maha karya kamu semalam." Ia menunjuk bahunya yang merah di mana terlihat jelas bekas gigitan Alina.
**
**
Berbeda dengan sang kakak sulung yang sedang menikmati masa pengantin barunya, Zayn sedang patah hati.
Demi mengalihkan perhatian, ia menyibukkan diri dengan bekerja.
Salah satunya mencoba terjun langsung ke lapangan untuk sebuah bisnis yang sedang ia jalani.
Zayn baru saja tiba di restoran milik Joane. Memarkir motor matic dengan jaket kuning berlogo helm.
Kedatangan Zayn pun membuat Joane dan Rafa yang sore itu sedang mengunjungi restoran ayahnya menahan senyum.
"Istimewa sekali customer orderannya ditangani langsung sama yang punya perusahaan," gurau Joane terkekeh.
"Kan katanya kalau mau tahu jalannya perusahaan harus terlibat sendiri." Zayn menunjukkan layar ponselnya pada seorang karyawan restoran untuk mencocokkan pesanan.
"Benar," sahut Rafa. "Kamu keren kalau pakai jaket gitu. Cocok!"
"
Sedang mencoba fitur baru, Kak."
"Jadi gimana? Lancar?"
"Masih dipantau. Penggunanya semakin banyak sih, alhamdulillah."
"Minum tidak, Dek?" tawar Rafa.
"Tidak usah, Kak. Aku lagi puasa."
"Oh, sorry."
"Gimana Mia, Kak?" tanya Zayn. "Kemarin katanya sakit?"
"Iya, kecapean. Ada flek gitu. Kata dokter kandungannya lemah, makanya harus bedrest di rumah."
Zayn mengangguk pelan.
Sambil menunggu pesanan, ia berdiri di depan banner besar yang terpajang di restoran tersebut.
Melihat-lihat beberapa menu baru yang yang ada di sana.
"Sha, jangan bikin malu Mami di depan Azka! Berhenti menangis sebelum dia datang!" Suara yang berasal dari sudut meja itu berhasil mengalihkan perhatian Zayn.
Ia menoleh menatap ke arah sumber suara.
Raut wajahnya pun seketika berubah saat melihat sang gadis yang duduk di salah satu meja sambil mengusap air matanya dengan tissue.
"Mi, aku belum siap. Aku tidak mau."
"Ya ampun, Sha ... kalau kamu bisa menikah dengan Azka, itu akan menyelamatkan perusahaan Papi. Kamu sendiri juga akan hidup enak nanti," ucap wanita paruh baya itu. "Lagian apa sih yang kamu harapkan dari laki-laki pilihan kamu itu? Kerjaannya apa? Makan saja dia susah, gimana mau menghidupi kamu?"
Menarik napas dalam, Zayn membalikkan tubuhnya. Sadar bahwa orang yang sedang mereka bicarakan adalah dirinya.
Ia melirik ke arah bartender, di mana salah satu karyawan restoran memberi isyarat bahwa pesanan telah selesai.
"Terima kasih, ya, Mbak," ucapnya santun, lalu melirik Rafa dan Joane. "Kak Rafa, Om Joane, aku jalan dulu."
"Hati-hati, Zayn."
Pemuda itu tersenyum, lalu segera melangkah.
Namun, baru beberapa kali kakinya melangkah, tiba-tiba terdengar panggilan dari sang gadis.
"Kak Zayn?"
Zayn hanya menyahut dengan senyum tipis, hendak melangkah, namun wanita di samping Aisha itu membuka suara.
"Kamu lihat, perbandingan Azka dengan laki-laki pilihan kamu itu? Azka pengusaha, sementara laki-laki pilihan kamu ini kerja apa?"
"Jangan begitu, Mi. Mami boleh tidak suka sama orang tapi jangan dihina begini."
"Mami bukan menghina, tapi bicara fakta. Wajah ganteng dan muka orang kaya untuk apa kalau dompet tipis."
Zayn tak menyahut dan membiarkan wanita itu terus menghinanya. Sementara Aisha hanya diam dan menunduk.
"Dan kamu! Mau jadi menantu saya? Menu saya saja tidak bisa kamu bayarin di restoran ini!"
Joane yang berdiri di belakang terus memerhatikan apa yang terjadi.
Seolah ingin melihat sejauh mana wanita itu bisa menghina salah satu ahli waris seorang Vino Hadiwijaya.
***********
***********
taunya mimpi Thor....
Alhamdulillah kalau masih baik2, saja...😅
biar sama" introspeksi terutama buat miaaaa
double up donk
gak mau denger tapi kedengeran