Terbangun dari koma akibat kecelakaan yang menimpanya, Lengkara dibuat terkejut dengan statusnya sebagai istri Yudha. Jangan ditanya bagaimana perasaannya, jelas saja bahagia.
Namun, Lengkara merasa asing dengan suaminya yang benar-benar berbeda. Tidak ada kehangatan dalam diri pria itu, yang ada hanya sosok pria kaku yang memandangnya saja tidak selekat itu.
Susah payah dia merayu, menggoda dan mencoba mengembalikan sosok Yudha yang dia rindukan. Tanpa dia ketahui bahwa tersimpan rahasia besar di balik pernikahan mereka.
******
"Dia berubah ... amnesia atau memang tidak suka wanita?" - Lengkara Alexandria
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29 - Tidak Akan Utuh
Berawal dari pemintaannya untuk diberikan waktu sendiri di hotel, ternyata berlanjut selama berhari-hari setelah mereka pulang. Bukan main gusarnya Bima melihat Lengkara yang diam membisu dan bersikap dingin padanya.
Tidak ada yang Lengkara lakukan, tapi mata sayunya menjelaskan jika dirinya benar-benar lelah. Sejak hari itu, hari dimana dia bertemu Yudha, tidak ada lagi Lengkara yang selalu mengulas senyum hangat jika dia pulang, tidak pula ada gelak tawa kala melihat sesuatu yang lucu di televisi.
Bahkan, sesuatu yang berhasil membuat Bima tertawa sekalipun di mata Lengkara justru tidak lucu sama sekali. Beberapa kali Bima perhatikan, Lengkara kerap sengaja menutup diri bahkan mengabaikan panggilan suara dari siapapun itu.
Jika ditanya dia memang menjawab, tapi hanya sepatah dua kata. Bibirnya pucat seolah kurang darah, Bima tidak tega dan merasa bersalah melihat perubahan istrinya. Ya, bagaimanapun juga saat ini memang Lengkara adalah istrinya, walau Bima tidak tahu mungkin satu jam ke depan statusnya akan berubah.
"Kamu sakit?" tanya Bima pelan, hendak bertanya saja harus begitu hati-hati lantaran khawatir wanita itu mendadak menangis seperti kemarin-kemarin.
"Tidak."
Suaranya serak, terdengar lemah dan dia menggeleng pelan di hadapan Bima yang kini bertanya padanya. Sejak pagi, posisi Lengkara tetap di sana, apa kepalanya tidak sakit, pikir Bima.
"Aku bertemu papa tadi siang," ucap Bima sembari melonggarkan dasinya.
"Lalu?"
"Dia bertanya tentangmu ... Papa khawatir, Ra."
"Aku baik-baik saja, tidak perlu dipikirkan," ucap Lengkara beranjak dan mengulurkan tangan untuk meminta pakaian kotor Bima.
Hanya sebatas itu, entah apa yang membuat Lengkara masih bertahan terkait kewajiban. Terlihat begitu dipaksakan, tapi memang tidak dia tinggalkan. Bima tidak tahu sebanyak apa dia menangis hari ini, tapi yang jelas kelopak mata Lengkara sudah begitu sembab.
"Jangan dipaksakan, hatimu semakin sakit nanti."
Malam ini Bima menolak uluran tangan Lengkara, pria itu berlalu pergi meninggalkan Lengkara ke kamar mandi. Kembali, ucapan Bima membuat hati Lengkara kian kacau. Dia melakukan kesalahan sepertinya, fakta bahwa nasihat Sahabatnya sewaktu dia hubungi waktu itu belum bisa Lengkara lakukan dengan sepenuhnya.
Hatinya masih berat, Lengkara tahu status Bima adalah suaminya. Dia paham memang sang papa berhak sepenuhnya, tapi menjalani hal semacam ini terlampau berat dan dia tidak bisa membohongi diri.
"Yudha adalah ujian cinta, bukan jodohmu, Lengkara."
"Menikah dengan seseorang yang dicintai memang impian, tapi mencintai pasangan yang sudah menikahi kita adalah kewajiban."
Terdengar mudah, sangat mudah bagi yang tidak mengalaminya. Nasihat itu bukan berarti tidak Lengkara dengarkan, selama beberapa hari terakhir dia sudah mencoba. Mencoba menerima Bima sebagai suaminya, tapi tetap saja hati kecil Lengkara sedikit munafik soal ini.
Sama-sekali, tanpa persetujuan dia harus menerima takdirnya. Sebagai seseorang yang berhati jelas saja dia tak kuasa, jiwa Lengkara mungkin memang butuh waktu seperti kata Yudha, selama apa dia tidak yakin. Sama seperti Yudha yang tidak yakin bisa pulih, begitu juga dengan Lengkara.
Bisa dibayangkan bagaimana sakitnya, dia akan hidup berdua bersama pria yang memiliki wajah seperti Yudha. Terlebih lagi, selama menjalin hubungan Yudha tidak pernah menyakiti, bahkan cita-cita indah mereka sudah di depan mata, jelas hatinya hancur kala fakta tak seindah dari bayangannya.
Raganya berada di sisi Bima, tapi pikirannya kemana-kemana. Bahkan ketika usai menemani Bima makan malam, Lengkara masih menatap kosong sekitarnya. Gelagat Lengkara yang semakin terlihat lelah itu membuat hati Bima ikut sakit.
Lengkara bahkan tidak punya waktu untuk merawat kulitnya di depan cermin seperti dahulu. Akan berapa lama dia begitu, tiga minggu? Tiga bulan? Atau tiga tahun ke depan? Bima tidak tahu seberapa kuat Lengkara memaksakan hatinya.
Sama halnya seperti Lengkara, pikiran Bima juga tidak sesuai dengan apa yang dia kerjakan. Matanya memang menatap ke arah monitor, tapi pikiran Bima tidak sama sekali. Sejak tadi dia mencuri pandang Lengkara melalui ekor matanya, menatap sang istri yang duduk di tepian ranjang seraya memainkan ujung rambutnya.
"Mas Bima ...."
"Hm? Kenapa, Ra?"
Sangat langka sekali, Lengkara memanggil nama Bima secara jelas. Pria itu menghentikan kegiatannya segera, sesigap itu Bima menghampiri Lengkara yang duduk di tepian tempat tidur. Entah mata Bima yang salah atau memang begitu, yang jelas wanita itu tampak bergetar sewaktu dia duduk di hadapan Lengkara.
Namun, hal itu hanya berlaku sebentar karena beberapa detik kemudian dia yang dibuat bergetar. Memang sudah kali kedua, tapi untuk yang kali ini dia sadar siapa di hadapannya. Jelas saja jantung Bima berdetak dua kali lebih cepat kala Lengkara mengalungkan tangannya di leher Bima.
"Lengkara ... sadar apa yang sedang kamu lakukan?"
"Hm, sadar, kamu berhak sepenuhnya atas diriku bukan?" Antara sadar dan tidak sadar sebenarnya, mata sendu dan suara bergetar Lengkara dapat menjelaskan jika dia sangat sakit.
Bohong jika Bima tidak berdebar diperlakukan seperti ini, jantungnya tak karu-karuan, terutama kala Lengkara mengikis jarak seolah mempersilahkan Bima menyentuhnya.
"Bukankah ini yang kalian inginkan? Papa, Yudha dan yang lainnya juga begitu?" lirih Lengkara masih dengan derai air mata yang tak kuasa dia tahan.
Kewarasan Lengkara sepertinya mulai terganggu, mata Bima membola kala Lengkara mendaratkan kecupan di bibirnya. Asin yang Bima rasakan adalah air mata Lengkara, secepat mungkin Bima mendorong tubuh Lengkara sebelum telanjur terbawa suasana.
"Kenapa? Apa kamu tidak menginginkanku juga?"
"Lengkara Alexandria ... boleh minta waktunya sebentar untuk bicara?"
"Hm, bicaralah."
"Aku berpikir ribuan kali, sekalipun kamu begini tapi kamu tidak akan pernah utuh, sungguh," ucap Bima sejenak terputus, dia butuh kekuatan lebih untuk melanjutkannya.
"Untuk itu, mulai detik ini ...."
.
.
- To Be Continued -
bikin pedih mata...
ada luka yg tak terlihat tp bs dirasa.
kl diposisi lengkara apa jadinya