Storm adalah gadis bar-bar dengan kemampuan aneh—selalu gagal dalam ujian, tapi mampu menguasai apa pun hanya dengan sekali melihat.
Ketika meninggal pada tahun 2025, takdir membawanya hidup kembali di tubuh seorang narapidana pada tahun 1980. Tanpa sengaja, ia menyembuhkan kaki seorang jenderal kejam, Lucien Fang, yang kemudian menjadikannya dokter pribadi.
Storm yang tak pernah bisa dikendalikan kini berhadapan dengan pria yang mampu menaklukkannya hanya dengan satu tatapan.
Satu jiwa yang kembali dari kematian. Satu jenderal yang tak mengenal ampun. Ketika kekuatan dan cinta saling beradu, siapa yang akan menaklukkan siapa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Mobil melaju liar di jalanan gelap. Storm menggenggam setir erat, matanya fokus menembus malam. Di belakang mereka, suara langkah dan tembakan masih terdengar, menggema di antara bangunan kosong.
"Di depan ada tikungan tajam!" teriak Max sambil membalas tembakan.
"Aku lihat!" jawab Storm singkat.
Ia memutar setir mendadak. Ban berdecit keras, hampir kehilangan traksi, namun mobil berhasil melewati tikungan sempit itu. Dua penembak terlempar ke samping jalan, gagal menjaga keseimbangan.
Lucien menembak dengan tenang, setiap peluru dilepaskan dengan perhitungan. Salah satu penyerang roboh, senjatanya terlepas dan jatuh ke aspal.
"Tiga orang di belakang!" lapor Max.
Storm melirik spion.
"Pegang kuat!"
Ia menginjak gas lebih dalam, lalu tiba-tiba mengerem mendadak. Mobil berputar setengah lingkaran sebelum kembali melaju ke arah berlawanan. Gerakan itu mengejutkan para penembak—tembakan mereka meleset.
"Strategi yang berani," gumam Lucien, matanya menyipit.
"Dulu aku sering kabur dari kejaran polisi," jawab Storm tanpa menoleh. "Insting ini masih ada."
Satu peluru menghantam bahu mobil, membuat Storm meringis.
"Ban kiri tidak akan bertahan lama!"
"Kita harus mencari tempat berlindung!" seru Max.
Lucien menunjuk ke depan.
"Ada gudang tua di ujung jalan!"
Storm mengangguk. Ia membelokkan mobil ke arah bangunan besar yang tampak gelap dan terbengkalai. Pintu besi gudang setengah terbuka.
Mobil menghantam pintu itu, memaksa masuk ke dalam gudang dengan suara dentuman keras. Storm langsung mematikan mesin dan mematikan lampu.
Kegelapan menyelimuti mereka.
Beberapa detik berlalu dalam keheningan mencekam.
Langkah kaki terdengar di luar.
"Mereka mengejar," bisik Max.
Lucien mengangkat pistolnya.
"Tenang. Kita tunggu mereka masuk."
Storm menahan napas, jantungnya berdetak keras.
"Apakah karena baku tembak ini Lucien meninggal? Aku lupa dengan tanggalnya," gumam Storm.
Pintu gudang berderit terbuka perlahan.
Bayangan hitam satu per satu masuk ke dalam.
Lucien berbisik dingin,
"Sekarang."
Dor! Dor! Dor!
Tembakan menggema di dalam gudang tua. Kilatan api dari moncong pistol menerangi kegelapan sesaat.
Lucien tetap berada di dalam mobil. Kakinya yang lumpuh membuatnya mustahil turun. Ia bersandar di kursi belakang, tubuhnya sedikit miring, pistol di tangannya diarahkan keluar jendela yang sudah pecah.
Dor!
Satu peluru mengenai penyerang yang mencoba mendekat dari sisi kanan mobil.
"Jangan biarkan mereka mendekat!" perintah Lucien dengan suara dingin namun stabil.
Max bergerak cepat, berlindung di balik peti kayu di sisi kiri gudang. Ia menembak sambil berpindah posisi, menjaga agar musuh tidak bisa mengepung mobil.
Storm turun dari kursi pengemudi dan berjongkok di depan kap mobil. Tangannya menggenggam besi panjang yang ia temukan di lantai gudang.
"Terlalu terlatih… mereka bukan orang sembarangan," batin Storm.
Seorang penyerang berlari mendekat, mencoba membidik ke arah Lucien.
Storm melesat maju.
Brak!
Besi panjang itu menghantam pergelangan tangan pria itu. Senjatanya terlempar, tubuhnya terjatuh keras ke lantai.
"Dua di belakang!" teriak Max.
Lucien membalas dari dalam mobil.
Dor! Dor!
Peluru menghantam dinding beton, memaksa dua penyerang tiarap. Salah satunya terkena di bahu dan menjerit kesakitan.
Namun suara logam kering terdengar—
Klik.
Amunisi Lucien hampir habis.
Storm segera menyadarinya. Ia berlari kembali ke mobil, membuka pintu belakang, dan menyerahkan magazen yang diambil dari salah satu penyerang.
"Ganti cepat!" katanya singkat.
Lucien tidak berkata apa-apa. Tangannya bergerak cekatan, mengganti magazen dan kembali membidik.
Dor!
Satu penyerang terakhir tumbang.
Gudang kembali sunyi.
"Jenderal, mereka sudah tewas semua," lapor Max dengan suara tertahan, matanya masih waspada menyapu gudang.
Belum sempat Lucien menjawab, suara tembakan kembali terdengar dari luar gudang.
Dor! Dor! Dor!
Peluru menghantam dinding besi, memantul dengan suara nyaring.
"Tembak mereka! Jangan sampai ada yang lolos!"
Suara itu menggema dari luar—tegas dan berwibawa.
Max membelalakkan mata.
"Ahao?" ucapnya tak percaya.
Storm ikut terkejut.
"Bagaimana mereka bisa tahu kita ada di sini?" tanyanya cepat.
"Tadi siang aku memberitahu Ahao posisi Jenderal. Kita harus waspada, karena situasi sedang tidak aman," jawabnya dengan nada menyesal.
Tembakan kembali terdengar.
Dor! Dor!
Lucien langsung bereaksi. Dari dalam mobil, suaranya terdengar dingin dan tegas.
"Cepat masuk ke mobil!"
Storm berlari menuju kursi pengemudi. Tangannya gemetar sebentar sebelum kembali mantap menggenggam setir. Max segera masuk ke kursi depan di sampingnya.
Di luar gudang, Ahao dan para prajuritnya sudah mengepung para penjahat yang menyerang sang Jenderal.
"Bunuh mereka semua!" perintah Ahao lantang.
Dor! Dor!
Rentetan tembakan menghantam para penyerang. Beberapa dari mereka roboh seketika, tubuhnya terjerembap ke tanah gelap yang basah.
Ahao mengangkat senjatanya, membidik dengan tenang.
Dor!
Pelurunya mengenai kaki salah satu penjahat. Sasaran tepat, pria itu terjatuh dan menjerit kesakitan, tak lagi berdaya.
Beberapa saat kemudian, suasana kembali sunyi. Para penjahat telah dilumpuhkan. Hanya satu orang yang masih hidup, terkapar dengan kaki berlumuran darah.
Di saat yang sama, Storm mengemudikan mobil keluar dari gudang. Lampu depan menembus gelap malam, menyinari tubuh-tubuh yang tergeletak di tanah.
"Jenderal, musuh telah berhasil dilumpuhkan," lapor Ahao tegas. "Hanya satu yang masih hidup."
"Bawa dia ke markas," perintah Lucien dingin dari dalam mobil. "Paksa dia bicara."
"Siap, Jenderal!" jawab Ahao.
Setelah memberi perintah itu, Storm menginjak pedal gas. Mobil perlahan meninggalkan tempat kejadian, menjauh dari gudang yang kini dipenuhi sisa-sisa baku tembak.
Di dalam mobil, Lucien menutup mata sejenak.
Sementara Storm menggenggam setir erat, hatinya mulai cemas dengan sisa hari yang dimiliki oleh Lucien.
"Kenapa aku takut kalau dia terjadi sesuatu? Lucien adalah jenderal, kalau dia tewas maka akan lebih banyak korban berjatuhan. Apakah aku bisa menghentikan semua ini?" gumam Storm.
trus itu gmn?
jadinya
semoga semua akan baik-baik saja...
dan berakhir bahagia.....🤲
kasian juga q am ortux tp klo.yg begitu tiba2 ngilang, pasti sepi n sedih