Kayyisa nggak pernah mimpi jadi Cinderella.
Dia cuma siswi biasa yang kerja sambilan, berjuang buat bayar SPP, dan hidup di sekolah penuh anak sultan.
Sampai Cakra Adinata Putra — pangeran sekolah paling populer — tiba-tiba datang dengan tawaran absurd:
“Jadi pacar pura-pura gue. Sebulan aja. Gue bayar.”
Awalnya cuma kesepakatan sinting. Tapi makin lama, batas antara pura-pura dan perasaan nyata mulai kabur.
Dan di balik senyum sempurna Darel, Reva pelan-pelan menemukan luka yang bahkan cinta pun sulit menyembuhkan.
Karena ini bukan dongeng tentang sepatu kaca.
Ini kisah tentang dua dunia yang bertabrakan… dan satu hati yang diam-diam jatuh di tempat yang salah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dagelan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28: Chaos di Runner Team
Senin pagi. Alarm HP bunyi, tapi aku sudah terbangun setengah sadar karena kebiasaan nonton drama kecil di feed IG sebelum tidur. Hari ini bukan hari biasa—Runner Team di sekolah akan mengikuti lomba estafet antar kelas, dan aku—dengan setelan kaos longgar, celana jeans longgar sedikit, dan sepatu lari seadanya—ditugaskan ikut sebagai bagian tim panitia.
Pertanyaannya mengapa bisa? Tentu saja karena Cakra. Dia yang mendaftarkan namaku seenaknya, juga menyeret ku kedalam kegiatan sibuknya disekolah.
Segera setelah sarapan kilat alias dua potong roti plus seteguk kopi, aku bergegas ke sekolah. Lapangan sekolah sudah ramai. Para siswa sibuk dari satu pos ke pos lain. Ada yang mengukur lintasan, ada yang ngecek perlengkapan start, bahkan ada yang sibuk foto-foto buat dokumentasi lomba.
Aku pegang clipboard yang lumayan berat, mencoba terlihat seperti seseorang yang tahu apa yang dia lakukan—padahal hatiku sibuk ngecek arah lari, posisi estafet, dan—jangan ditanya—berapa lama aku bisa bertahan tanpa ngos-ngosan.
Kaki ku yang kecil, belum tentu bisa membawa aku menjadi juara 1.
“Kayyisa!” suara Rani nyaring dari pos registrasi.
Aku melambaikan tangan sambil tersenyum kikuk. “Iya, iya… bentar lagi mulai, ya?”
Rani ketawa. “Lo bakal lari estafet juga loh. Jangan bilang nggak siap!”
Aku mengangguk, menelan ludah. Siap? Ya ampun… aku bukan atlet. Tapi ya sudahlah, demi tugas sekolah.
Start lomba estafet dimulai. Aku berdiri di pos ketiga, menunggu teman yang akan menyerahkan tongkat estafet. Napasku mulai naik begitu mereka mendekat. Ketika akhirnya tongkat itu sampai di tanganku, aku berlari secepat tenaga yang tersisa—setidaknya aku berharap begitu.
Aku menahan napas dan terus lari, melompati garis putih, menyerahkan tongkat ke teman di pos berikutnya. Orang-orang berteriak semangat, termasuk beberapa guru yang ikut memberi arahan. Aku cuma bisa tersenyum sambil ngos-ngosan. Ternyata… capeknya luar biasa. Tapi seru.
Setelah estafet selesai untuk putaran pertama, aku kembali ke pos awal, menengok-lihat situasi. Beberapa siswa mulai mengenaliku memang, karena rumor sepertinya. Dan karena aku bolak-balik dari pos ke pos, ngatur dokumen, dan bantu peserta yang bingung. Sialnya… aku mulai sadar kalau ini membuatku terlihat “aktif” di mata banyak orang. Beberapa dari mereka bahkan menyapaku, menanyakan nama, dan mengucapkan terima kasih.
“Kayyisa, hebat juga ya! Bisa lari sambil urus dokumen semua pos!”
Aku senyum kikuk, menahan napas. “Ah… cuma bantuin aja. Nggak sehebat itu.”
Di tengah keramaian, Cakra muncul di sampingku, seolah tanpa sadar muncul tepat di saat aku paling ngos-ngosan. Dia nyodorin botol minum.
“Minum dulu. Jangan sampai dehidrasi,” katanya datar, tapi aku bisa lihat ada setitik perhatian di sorot matanya.
Aku nyengir, menerima botol itu sambil batin sendiri. Gila, cara dia santai tapi perhatiannya ke detail begini… nyeleneh. Aku capek tapi senyum-senyum sendiri.
Napasku belum normal, jadi aku cuma bisa mengangguk dan bilang. “Makasih… Pak.”
Dia ketawa tipis, terus balik lagi ngecek lintasan. Aku menahan senyum sendiri—ini situasi absurd. Estafet lari, chaos lomba, tapi aku bisa merasa sedikit… lucu dan senang.
Ronde berikutnya, aku dapet giliran lagi. Kali ini, aku harus berlari lebih jauh, dengan beberapa paket dokumen tambahan. Ketika mulai, aku menendang pasir kecil yang berserakan, terdengar suara tepuk tangan dari beberapa teman yang ikutan nonton. Aku menahan napas dan mulai sprint.
Di tikungan kedua, aku lihat Rani berteriak: “Kay, lo bisa!”
Aku tersenyum sambil ngos-ngosan, tapi ada suara dalam kepala yang bilang. “Kay, kamu kayak adegan FTV. Minus kamera, plus ngos-ngosan.”
Ketika tiba di pos penyerahan terakhir, aku menepuk dada sendiri karena berhasil tanpa terjatuh. Teman di pos itu nyengir sambil ambil tongkat estafet dari tanganku.
“Wuih… lumayan juga, Kay,” katanya.
Aku cuma bisa batin, “Lumayan aja… tapi capek banget. Kapan ya bisa duduk?”
Setelah semua peserta menyelesaikan putaran pertama, panitia mulai melakukan evaluasi singkat. Aku ikut duduk di pinggir lapangan sambil minum, napasku masih ngos-ngosan. Dari jauh, aku bisa lihat Cakra lagi memberi instruksi singkat ke beberapa anggota Runner Team lain, sesekali menulis catatan, tapi tetap memperhatikan jalannya lomba dengan tenang.
Aku mulai mencoba ngobrol sama beberapa teman panitia. Mereka tanya tentang estafet, tugas panitia, bahkan beberapa nanya soal aku sendiri. Aku senyum kikuk, menjawab seadanya. Rasanya aneh—biasanya aku cuma jadi siswi biasa, sekarang orang mulai mengenali aku karena bantuin lomba.
Sambil ngobrol, aku merasakan ada sesuatu yang “aneh tapi nyaman”. Cakra beberapa kali lewat di dekatku, menengok sekilas, lalu pergi lagi. Aku nggak perlu menafsirkan lebih jauh, tapi entah kenapa… aku bisa ketawa kecil sendiri. Tingkahnya sederhana, tapi cukup bikin aku merasa… terlibat dalam chaos ini dengan cara yang aneh tapi menyenangkan.
Ronde kedua estafet lebih kacau. Peserta mulai ngos-ngosan, beberapa dokumen hampir jatuh, dan aku harus lari lebih cepat. Aku nggak bisa nggak tersenyum kikuk karena setiap langkah, ada beberapa orang yang nyapa, memberi semangat, atau malah ngejek aku karena ngos-ngosan.
“Kay! lo capek banget ya? Masih kuat?”
Aku nyengir sambil jawab, “Masih… semangat… walau napasnya minta ampun.”
Saat aku nyerah sebentar, duduk di pinggir untuk tarik napas, aku lihat Cakra lagi ngecek papan skor, terus menengok ke arahku sebentar. Aku cuma bisa senyum tipis, menunduk sambil bilang dalam hati, “Santai, Kay… ini cuma lomba, tapi rasanya kayak episode hidup yang absurd. Tapi seru.”
Setelah estafet terakhir selesai, semua peserta dan panitia berkumpul di tengah lapangan untuk evaluasi terakhir. Aku duduk di salah satu bangku, masih ngos-ngosan tapi lega. Beberapa siswa mulai nanya lagi soal aku, beberapa malah ngelihat dengan penasaran. Aku cuma senyum tipis, sambil memikirkan semua chaos hari ini.
Cakra muncul di samping, memberi arahan terakhir, tapi tetap beberapa kali menoleh ke arahku. Aku cuman bisa batin. Kayaknya kalau begitu, Cakra malah kayak keliatan lagi merhatiin pacarnya nggak sih? Ralat. Pacar pura-puranya.
Selesai evaluasi, aku bantuin beberapa peserta angkat perlengkapan, dokumentasi terakhir, dan pastikan semua dokumen kembali ke sekretariat. Semua orang mulai pamit, lapangan mulai sepi. Aku duduk sebentar di bangku, napasku mulai normal. Rasanya capek, tapi lega.
Aku menatap langit, tersenyum tipis. Chaos lomba hari ini, lari estafet, perhatian natural Cakra yang beberapa kali muncul, dan semua orang yang mulai mengenalku… bikin aku merasa aneh tapi seru.
Aku sadar, jadi bagian Runner Team ini nggak cuma soal lomba. Ini juga soal chaos sekolah, kerjasama, dan… ya, pengalaman yang nggak bakal aku lupain. Capek sih, ngos-ngosan sih, tapi lucu dan… sedikit bikin senyum sendiri.
Aku tarik napas panjang, meneguk air minum terakhir, dan nyengir. Hari ini seharusnya berakhir .... Ya seharusnya..
✨ Bersambung…