Diamnya Melati

Mendengar pengakuan suaminya, Melati terpaku sejenak, matanya membelalak, seperti menimbang kata-kata yang baru saja keluar. Namun tiba-tiba tawa kasar pecah dari bibirnya, bergema tajam di ruangan itu.

“Hahahaha... alasan macam apa itu, Mas? Kamu kira istrimu bego mas? Nggak mungkin perempuan  itu kamu biarin gelendotan kalo kalian berdua nggak punya hubungan. Tidak mungkin juga kamu rela  bolak-balik Jakarta Bandung seminggu sampai tiga kali, kenapa mas dia hebat melayanimu?"

"Sayang, aku mohon."

Melati mengayunkan tangannya meminta suaminya berhenti, kedua matanya memejam sesaat, merasakan dadanya yang semakin sesak.

“Istrimu ini sudah hafal seperti apa kamu mas,  bagaimana kelakuan dulu, yang terus bikin aku kecewa. Aku aja yang terlalu lugu hingga masih saja luluh sama rayuanmu!” 

"Sayang, aku mencintaimu, kalau kamu nggak percaya, aku bisa  bawa kamu ke Bandung buat buktiin jika aku dan Dewi nggak ada hubungan sama sekali. Aku akan menceritakan semuanya, kamu mau percaya atau nggak itu fakta yang sebenarnya."

"Apa lagi yang harus diceritakan mas, semuanya sudah jelas!"

"Sayang!" Bentak Revan karena Melati trus menghindar.

 Dengan tiba-tiba, Melati mendorong tangan suaminya yang meremas lengannya hingga lepas. Matanya menatap tajam, seperti pisau yang siap mengiris. Di pelukannya, Ayana mencebik, menggeliat tak nyaman. Bibir kecil putrinya bergetar, seperti hendak menangis.

 Melati segera menggendong Ayana lebih erat, napasnya memburu saat ia menatap suaminya penuh amarah. “Minggir, Mas! Jangan bikin Ayana takut!” suaranya bergetar, terpaut antara kemarahan dan kekhawatiran yang meluncur dari hatinya.

Revan menunduk, suaranya serak memelas, “Sayang, aku... aku nggak selingkuh, sumpah! Tolong dengarkan aku sebelum kamu menyesal.” 

 Melati melotot, bibirnya bergetar hebat. “Menyesal? Justru aku yang menyesal sudah mau terima kamu lagi. Apa kamu belum puas nyakitin aku, Mas?” Ia menarik napas dalam-dalam, pandangannya menjadi sayu namun tegas. “Tolong, Mas, pergi dari sini. Aku butuh sendiri.”

"Tapi sayang, kita harus selesaikan semuanya sekarang juga," suara Revan sedikit meninggi dan memaksakan. Ia tak mau ada masalah yang mengendap dan menggerogoti hati mereka berdua.

 "Pergi, atau aku yang pergi dari rumah ini. Mas tinggal pilih," ancam Melati tanpa ragu, bibirnya menipis, menunjukkan betapa seriusnya ia menegaskan keinginan itu. 

 Revan terdiam, dadanya sesak mendengar kata-kata istrinya.  Matanya menatap kosong ke lantai seolah mencari kekuatan yang tak kunjung datang. 

 "Baiklah, sayang... Aku nggak akan maksa sekarang," suaranya serak, lembut tapi berat, "Tapi setelah emosimu mereda, aku akan kembali." Dengan langkah yang berat dan tak bersemangat, Revan meninggalkan kamar. Tubuhnya sedikit merunduk, tangan kirinya meremas kuat rambutnya sendiri, tanda kekalahannya pada perdebatan itu. Dari kejauhan, Melati mengamati sosok suaminya yang tampak rapuh.

***

Revan melangkah pelan menuju ruang kerjanya, langkahnya berat seperti membawa beban yang tak terlihat. Pintu ruang itu tertutup rapat saat ia masuk, kemudian ia duduk di kursi empuk di depan meja yang berantakan dengan berkas-berkas tak tersentuh. Matanya menatap kosong ke arah jendela, namun pikirannya berkecamuk tanpa henti. Bibirnya bergerak-gerak seperti ingin mengucapkan sesuatu, tapi kata-kata itu tersumbat oleh kebingungan dan keputusasaan.

"Aku bingung harus gimana, sampai mulutku berbusa, rasanya percuma" gumamnya pelan, suaranya nyaris tak terdengar. I

a mengusap wajahnya dengan tangan gemetar, merasakan panas merayap di dada yang sesak. Konflik dengan istrinya masih segar di benaknya, perdebatan yang berakhir tanpa titik temu, membuatnya merasa terisolasi dalam rumah yang seharusnya menjadi tempat teraman.

Revan menunduk, menekan kedua pelipisnya dengan jari-jarinya, seolah mencoba menahan kecewa yang menggelegak. "Istriku kalau marah, sult diajak ngomong baik-baik ," pikirnya. Rasa frustrasi itu menuntunnya pada satu pilihan terakhir yang terasa seperti harapan kecil di tengah kegelapan.

Dengan napas berat, ia mengangkat telepon dan mengetik pesan singkat, "Aku harus minta bantuan mama, mama pasti bisa nolongin aku." 

***

Setelah mandi dan berganti pakaian Revan menyambar kunci mobilnya dan melarikan mobilnya ke rumah orang tuanya. Tiba disana ia mendapat tatapan intimidasi dari mamanya. "kamu nggak ngantor Van?"

"Enggak ma, buat hari ini Revan ambil cuti dulu, ada yang ingin aku omongin sama mama."

Sandra yang sudah tau arah pembicaraan putranya itu hanya membalasnya sedang senyuman. "tentang apa?"

"Rumah tanggaku ma."