Sebuah novel dengan beragam jenis kisah horor, baik pengalaman pribadi maupun hasil imajinasi. Novel ini terdiri dari beberapa cerita bergenre horor yang akan menemani malam-malam mencekam pembaca
•HOROR MISTIS/GAIB
•HOROR THRILLER
•HOROR ROMANSA
•HOROR KOMEDI
Horor Komedi
Horor Psikopat
Horor Mencekam
Horor Tragis
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayam Kampoeng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26 SEKTE SESAT Part 1
Sariwati menarik nafas dalam-dalam secara perlahan saat bus tua yang mengangkutnya berhenti di tepi jalan berbatu, di lereng Gunung Bawakaraeng yang menjulang gagah di ufuk Sulawesi Selatan. Udara pagi masih sejuk, bercampur aroma tanah basah setelah hujan semalam, tapi ada sesuatu yang aneh, seperti hembusan angin yang membawa bisikan samar, hampir tak terdengar.
Dia turun dari bus dengan menggendong tas ransel sederhana di punggungnya, matanya yang bening menyipit memandang desa kecil yang tersebar di bawah bayang-bayang gunung. Desa Bawakaraeng, begitu yang tertulis di papan kayu reyot yang sudah lapuk.
Tempat ini seharusnya menjadi awal baru baginya, setelah kehilangan sang suami dalam kecelakaan mobil misterius di Jawa dua bulan lalu. Sebagai guru SD yang baru ditugaskan, Sariwati berharap ketenangan desa ini bisa menyembuhkan luka di hatinya.
"Assalamualaikum, Mbak. Baru datang ya?" Suara ramah menyapa dari seorang pria paruh baya yang berdiri di dekat warung kopi sederhana. Dia mengenakan sarung putih dan kopiah hitam, wajahnya ramah tapi mata cokelatnya seolah menyimpan rahasia. Sariwati tersenyum sopan, membalas salamnya.
"Waalaikumsalam. Iya, Pak. Saya Sariwati, guru baru untuk SD desa ini." Dia mengulurkan tangan, dan pria itu menjabatnya dengan hangat, tapi sentuhannya terasa dingin, seperti angin gunung yang tiba-tiba berhembus.
"Nama saya Pak Rahman. Saya... pemuka di sini. Selamat datang di desa Bawakaraeng. Desa kami tenang, tapi gunung ini punya cerita lama yang melegenda. Ikut saya,mbak, nanti saya antar ke rumah dinas guru."
Pak Rahman kemudian menunjuk ke arah jalan setapak yang menanjak, diapit sawah hijau dan pohon-pohon kelapa yang bergoyang pelan. Sariwati mengikuti langkahnya, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang berkecamuk di dadanya, seperti ada yang mengawasi langkahnya dari balik pepohonan.
Sepanjang perjalanan, Pak Rahman bercerita tentang desa Bawakaraeng. "Kami orang-orang sederhana, Mbak. Bertani, beternak. Tapi belakangan, banyak yang bergabung dengan tarekat kami. Tarekat Bayang Seram. Itu memberi harapan, janji keabadian yang sesungguhnya." Suaranya lembut, tapi ada nada antusias yang membuat Sariwati curiga.
Dia ingat rumor yang pernah didengar dari rekan guru yang berasal dari Makassar. Kata mereka desa-desa terpencil seperti ini sering punya kelompok aneh, yang menjanjikan surga dengan harga mahal. 7 juta rupiah per orang, katanya, untuk "tiket ke surga" yang katanya lebih pasti daripada mengumpulkan pahala dengan susah payah.
Pahala? Susah payah? Sariwati hanya tersenyum miris. Lupakah ORANG-ORANG INI pada Tuhannya? Yang Maha Segalanya? Terus, untuk apa belajar agama kalo ujung-ujungnya menyembah berhala?
Sibuk dengan pemikirannya, tanpa sadar mereka tiba di depan rumah dinas. Sariwati menatap bangunan kayu sederhana dengan atap seng berkarat itu dalam diam. Di depan mereka, beberapa warga desa sedang berkumpul, termasuk seorang pemuda tampan berusia sekitar 22 tahun yang tersenyum lebar saat melihat Sariwati. "Kak! Akhirnya datang juga!" serunya lalu berlari mendekat dan memeluk Sariwati erat. Pemuda itu Andi, adiknya yang sudah pindah ke desa ini setahun lalu untuk kuliah di Makassar, tapi sering pulang-pergi ke desa ini. Wajah Andi cerah, tapi matanya agak cekung, seperti kurang tidur.
"Andi, kamu baik-baik aja? Kok desa ini... sepi banget ya?" tanya Sariwati sambil melepaskan pelukan mereka. Andi tertawa ringan, tapi ada nada gugup di dalam suaranya.
"Aku baik, Kak. Malah jauh lebih baik sekarang. Semenjak ikut tarekat Pak Rahman, semuanya berubah. Ibu juga udah sembuh dari sakitnya setelah ritual pertama." jelas Andi sambil melirik Pak Rahman yang mengangguk puas. Sariwati mengerutkan keningnya. Ibu mereka memang sakit kronis, tapi dia tak pernah mendengar Andi bercerita soal tarekat, atau apa pun sebelumnya.
Pak Rahman mengajak mereka masuk ke ruang tamu sederhana, di mana meja kayu sudah disiapkan dengan teh hangat dan pisang goreng.
"Malam ini ada pengajian di balai desa, Mbak. Ikutlah. Biar bisa kenal banyak orang. Kami akan ajarkan cara mencapai kedamaian sejati." ucap Pak Rahman. Matanya menatap tajam, seolah menembus jiwa Sariwati. Wanita itu hanya mengangguk setuju, meski hati kecilnya berbisik untuk waspada.
Sore itu, Sariwati membongkar semua barang bawaannya. Rumah dinas sepi, hanya suara angin gunung yang bersiul melalui celah jendela. Saat membuka kotak foto pernikahannya, Sariwati tiba-tiba merasakan dingin yang menusuk tulang. Di sudut ruangan, tampak bayangan pohon kelapa memanjang di dinding, tapi bentuknya, kok aneh? Seperti siluet wanita berbaju panjang.
Sariwati menggelengkan kepala, mengira itu hanya khayalan karena dia kelelahan di perjalanan. Tapi saat dia menoleh lagi, bayangan itu menghilang, meninggalkan aroma amis yang samar, seperti darah yang mengering.
Malam tiba lebih cepat dari biasa. Langit Bawakaraeng gelap gulita, hanya diterangi bulan sabit yang bersinar tipis. Sariwati berjalan ke balai desa, di mana puluhan warga sudah berkumpul. Di tengah balai itu, Pak Rahman berdiri di atas panggung sederhana, suaranya menggema saat memimpin doa pembuka.
"Kami tambah aturan suci menjadi sebelas, saudara-saudara. Yang kesepuluh adalah persembahan darah untuk Ratu Bayang. Yang kesebelas, tiket ke surga seharga tujuh juta, untuk membersihkan jiwa dari dunia fana ini." ucap Pak Rahman dalam pidatonya.
Warga desa bertepuk tangan dengan antusias, termasuk Andi yang duduk di barisan paling depan, matanya tampak berbinar. Sariwati yang duduk di belakang, merasa tak nyaman. Mata Sariwati kemudian memandang sekeliling, dan melihat Bu Aisyah, istri Pak Rahman yang berusia lima puluhan. Wajah wanita itu pucat tapi senyumnya lebar. Dia mengenakan kebaya hitam, dan saat mata mereka bertemu, Bu Aisyah mengedipkan matanya, seolah berbagi rahasia.
Pengajian berlanjut dengan cerita tentang Ratu Bayang, entitas gaib yang katanya reinkarnasi roh gunung kuno, campuran jelmaan dari Nyi Roro Kidul.
"Dia bukan hantu biasa," kata Pak Rahman, suaranya rendah dan memikat. "Dia penjaga surga kita. Bayar tiketnya, dan jiwa kalian akan aman. Kalau menolak, maka bayangan gelap akan mendatangi kalian."
Saat itulah, angin malam berhembus kencang, membuat obor di balai desa berkedip-kedip. Sariwati merinding, merasa ada yang merayap di punggungnya, seperti jari-jari dingin menyentuh kulit.
Tiba-tiba, seorang ibu tua di barisan depan, namanya Ibu Siti, berdiri gemetar. "Pak, anak saya... dia bilang malam ini ada ritual di gua. Apa benar Ratu Bayang akan datang?" Suaranya parau, penuh harap bercampur takut.
Pak Rahman tersenyum. "Benar, Bu. Besok malam. Siapkan persembahan ya!"
Sariwati menoleh ke Andi, yang mengajaknya antusias. "Kak, ikut yuk. Ini beneran, loh. Aku udah lihat... bayangannya." Kata-kata Andi membuat Sariwati merinding. Dia hanya diam, tak menjawab ajakan Andi.
Saat pengajian usai, Sariwati bergegas pulang. Tapi di tengah jalan setapak gelap, dia mendengarnya. Suara bisikan samar dari balik semak belukar, "Sari... wati... gabung... atau mati..."
Saking takutnya, Sariwati berlari ke dalam rumah dinas lalu mengunci pintu rapat-rapat.
Ternyata, malam pertama di Bawakaraeng tak membawa ketenangan seperti harapannya. Di luar, gunung Bawakaraeng seolah bernafas, nadinya berdenyut pelan, dan sosok bayangan panjang mulai merayap pelan menuju desa...
*
buat othor ganteng ni kukasi kue dah xixixi 🥧🍰🧁🍮🍧🥮🥠
Sebelum ikut-ikutan nge-bully, coba deh tanya ke diri sendiri. Apa yang akan aku rasakan jika ini terjadi padaku atau adik/keluargaku?
☺️🥰