Pengkhianatan itu bukan datang dari musuh, tapi dari orang yang paling dia percaya.
Vilya Ariestha Elora — dihancurkan secara perlahan oleh pacarnya sendiri, dan sahabat yang selama ini ia anggap rumah. Luka-luka itu bukan sekadar fisik, tapi juga jiwa yang dipaksa hancur dalam diam.
Saat kematian nyaris menjemputnya, Vilya menyeret ke duanya untuk ikut bersamanya.
Di saat semua orang tidak peduli padanya, ada satu sosok yang tak pernah ia lupakan—pria asing yang sempat menyelamatkannya, tapi menghilang begitu saja.
Saat takdir memberinya kesempatan kedua, Vilya tahu… ia tak boleh kehilangan siapa pun lagi.
Terutama dia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon flowy_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31. Gevan Terlambat
Calestine melirik Elena yang baru datang, lalu tersenyum hangat. "Kamu kelihatan manis sekali malam ini," ujarnya pelan.
Elena menunduk malu, senyum kecil tersungging di bibirnya.
Vilya hanya mengangkat alis pelan.
Dalam hati, ia tahu gadis itu pasti sedang menahan sakit. Kalau bukan karena terpaksa, dia pasti tak akan datang ke pesta ini.
“Marvin benar-benar beruntung punya anak seperti mereka,” ucap Leon dengan nada sopan.
Marvin membalas dengan senyum kecil. “Terima kasih.”
“Aku juga belum sempat mengenalkan kalian ke Gevan waktu itu,” ucap Calestine.
Lalu ia menoleh pada Vilya sambil menggenggam tangannya. “Kali ini dia pasti datang. Kalau Gevan berani membuat masalah padamu, laporkan saja pada Bibi."
Ia hanya meresponnya dengan senyum tipis dan menunduk pelan.
“Gevan datangnya agak telat kali ini. Biar nanti dia minta maaf langsung,” ujarnya.
“Bibi, nggak perlu seperti itu,” sahutnya pelan.
“Kita ini keluarga sekarang, jangan menjaga jarak begitu,” timpal Leon sambil tersenyum.
Marvin yang mendengar itu langsung terlihat senang.
Orang-orang di sekitar mulai saling berbisik. Mereka baru sadar, gadis yang mereka dulu anggap anak buangan—akan bertunangan dengan pewaris keluarga Winchester?
Para tamu dari keluarga terpandang saling bertukar pandang. Raut wajah mereka mencerminkan berbagai reaksi—terkejut, penasaran, dan sebagian mulai menimbang ulang pandangan mereka terhadap gadis tersebut.
Beberapa gadis yang dulu pernah meremehkannya jadi gelisah. Termasuk Jasmine. Dia masih tak percaya gadis itu bisa sampai sejauh ini.
Elena bertanya pelan, “Kak, Gevan itu orangnya seperti apa? Apa dia tampan?"
Meski terdengar biasa, dalam hati ia berharap pria itu tua dan tidak menarik.
Calestine tersenyum. “Nanti kamu akan melihatnya sendiri,” jawabnya tenang.
Elena tersenyum dan mengangguk, tapi dalam hati ia sudah mengutuk Vilya terlebih dulu.
Vilya bisa menebak apa yang ada di pikirannya, dan ia tahu, kemungkinan besar, Elena akan kecewa lagi.
Saat mereka sedang membahas pria itu, Calestine menoleh dan tersenyum kecil. “Itu dia,” ujarnya sambil menatap ke arah seorang pria yang mendekat dengan langkah santai.
Tatapannya menyiratkan banyak hal.
Semua mata pun mengikuti arah pandang Calestine. Seorang pemuda muncul di antara kerumunan. Wajahnya tampan, posturnya tegap, dan langkahnya tenang.
Usianya mungkin sekitar dua puluh lima tahun, dengan tubuh proporsional dan aura yang langsung menarik banyak perhatian.
“Gevan, kemarilah,” ucap leon sambil memberi isyarat pada putranya.
Begitu Gevan muncul, suasana langsung berubah. Kerumunan tamu otomatis memberi jalan untuknya.
Tubuhnya tegap, sorot matanya tajam dan datar, tak banyak ekspresi. Ia sekilas menunduk memberi salam pada Marvin dan Elmira.
Elena terpaku. Ia menahan napas melihat pria itu dari dekat. Wajahnya terlalu sempurna, seperti tokoh dalam drama—tapi dengan aura yang jauh lebih dingin.
Beberapa tamu mulai berbisik kagum.
“Mereka cocok sekali.”
“Seperti pasangan di majalah…”
Vilya hanya tersenyum samar. Ia tak tertipu oleh tampilan luar Gevan.
Dan malam ini, ia bisa melihat dengan jelas... Gevan sedang menahan kekesalan nya.
Wajar saja. Dia bukan tipe pria yang suka diatur, apalagi dipaksa ikut acara seperti ini. Kalau bukan karena keluarga, Gevan mungkin sudah pergi sejak tadi.
Tentang Gevan.
Di kehidupan sebelumnya, saat segalanya hancur dan ia berada di titik paling gelap, Gevan lah yang membantunya bertahan.
Maka, di kehidupan ini... ia pasti akan membalas budi itu, dengan caranya sendiri.
Waktu berlalu dan jamuan hampir selesai. Para tamu mulai pamit satu per satu. Sebelum pergi, beberapa dari mereka masih sempat menyampaikan harapan agar bisa menjalin kerja sama dengan Marvin.
Marvin berbasa-basi sejenak, lalu ikut mengantar para tamu bersama Elmira.
Saat ruangan mulai sepi, Gevan akhirnya membuka suara untuk pertama kalinya malam itu. Suaranya tenang tapi tajam.
“Aku sudah datang ke jamuan ini. Sekarang waktunya memenuhi janjimu. Lepaskan Vera.”
Suasana langsung terasa menegang.
Calestine masih tersenyum, tapi tidak dengan sorot matanya. “Kenapa begitu terburu-buru? Aku sudah mengenal wanita itu cukup lama. Dia cuma masalalu mu Gevan!"
Mendengar percakapan itu, dadanya terasa sesak. Ia baru sadar, Gevan datang ke perjamuan bukan karena keinginan sendiri.
Calestine rupanya menahan seseorang yang penting baginya. Tapi ia belum tahu siapa.
“Apa sebenarnya yang Mama inginkan?” ujarnya, Tatapan matanya tajam, seolah menyimpan bahaya.
Calestine masih tersenyum, seolah tak terusik. “Aku hanya ingin kau berhenti membantah! Dan mulai mempertimbangkan hubungan yang baik... dengan Vilya.”