Jangan main HP malam hari!!!
Itu adalah satu larangan yang harus dipatuhi di kota Ravenswood.
Rahasia apa yang disembunyikan dibalik larangan itu? Apakah ada bahaya yang mengintai atau larangan itu untuk sesuatu yang lain?
Varania secara tidak sengaja mengaktifkan ponselnya, lalu teror aneh mulai mendatanginya.
*
Cerita ini murni ide penulis dan fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, dan latar itu hanyalah karangan penulis, tidak ada hubungannya dengan dunia nyata.
follow dulu Ig : @aca_0325
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 : Mayat tanpa jantung
Varania menghirup oksigen portabelnya, lalu perlahan melangkah maju-mendekat mayat tersebut. Itu memang mayat yang sama. Dari dagingnya yang sudah mulai berubah keunguan, sepertinya proses pembusukan sudah di mulai.
“Apa itu?” Varania melihat ada seperti noda merah di dekat kancing baju di sekitar dadanya. Varania mengulurkan tangannya, membuka kancing baju itu satu persatu hingga ke perut.
Ia mengangkat baju itu kesamping untuk melihat darimana noda darah itu berasal.
Dada di balik baju itu terbelah, seperti baru saja di operasi. Dada yang sekarang hanya berupa rongga kosong, isinya tidak ada. Hilang.
“Astaga!” Varania menarik tanganya dengan cepat, membawa ke mulutnya untuk menahan teriakan yang hampir lolos dari bibirnya. Ia tidak pernah membayangkan akan melihat pemandangan mengerikan seperti ini di dunia nyata, ia pikir hal seperti itu hanya terjadi di film dan tidak dalam kehidupan nyata.
Bagaimana jika saat di bawa kemari, orang ini belum meninggal? Saat seseorang meninggal, jelas darah akan berhenti mengalir. Tapi, Varania melihat jelas ada noda darah dekat kancing baju itu.
Kemana jantungnya? Apa di ambil sebelum diantarkan kemari? Atau di ambil disini tadi malam? Jangan-jangan Birsha menghabiskan begitu banyak waktu karena mengambil jantungnya.
“Tapi, untuk apa jantung orang mati? Birsha tidak terlihat seperti juragan penjual organ tubuh manusia,” gumam Varania mencoba menerka.
Saat sedang sibuk memikirkan kemana hilangnya jantung mayat tersebut, Varania sayup-sayup mendengar suara langkah kaki. Ia menoleh ke pintu, seseorang akan datang.
Gawat! Ia tidak bisa pergi sekarang karena akan berpapasan dengan orang yang datang itu.
Varania mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, tidak ada tempat persembunyian yang aman. Satu-satunya yang bisa ia gunakan adalah bersembunyi ke bawah meja tua.
Varania masuk dengan hati-hati ke bawah meja agar tidak merobohkan meja tua tersebut. Ia mematikan senter, menunggu orang itu datang sambil menahan napas.
Tap
Tap
Tap
Suara langkah kaki semakin mendekat, suasana dalam ruangan itu pun semakin mencekam.
Krieet
Pintu berderit saat dibuka. Cahaya senter menerangi ruangan tersebut, dua pasang kaki berjalan masuk. Varania menutup mulut dan hidungnya agar deru napasnya tidak terdengar oleh dua orang yang baru masuk.
Salah satu orang yang masuk pasti perempuan, dia memakai heels tinggi dan orang yang satu lagi memakai flat shoes.
“Cepat bawa orang itu,” perintah perempuan itu, suaranya teredam - mungkin dia memakai masker.
Orang kedua melangkah lebar ke sudut ruangan, dia mengambil mayat tersebut dalam sekali sentakan kemudian meletakkan di bahunya.
“Jantungnya hilang…” dia memberi tahu perempuan ber-heels tinggi.
“Biarkan saja, jantung dan hatinya memang milik dia. Bawa saja dia ke ruang party.”perintahnya, lalu dia mendekati meja dengan langkah anggun.
'duh… semoga dia tidak melihatku.” Varania memejamkan mata, berharap kedua orang itu tidak melihat ke bawah meja.
“Kenapa dia meninggalkan buku ini disini?” Gumamnya mengambil semua buku dan dokumen aneh yang tersebar diatas meja.
“Biasanya juga disitu,”
“Ck! Pergi saja Sana, jangan menggangguku!” Dia mendengus galak.
Tidak mau membuatnya marah, orang yang membawa mayat segera meninggalkan ruangan.
\=\=\=
Rea selalu menjadi anak yang ceria, ia tidak pernah murung, tapi hari ini, Rea hanya duduk diam di teras depan rumah. Saat ia melihat ke seberang jalan, ia melihat bayangan itu lagi. Untuk ketiga kalinya hari ini.
“Kalau kamu butuh bantuan atas masalahmu, kamu bisa mengetuk pintu rumahku.”
Kata-kata Varania terngiang dalam kepalanya. Ia melirik ke sebelah, tepatnya ke rumah Varania. Haruskah ia pergi kesana untuk bertanya? Mungkin Varania memiliki jawaban atas masalah yang menimpanya.
Namun ia baru saja berdiri, dan melihat Varania turun dari atas angkutan umum lalu masuk ke dalam rumahnya dengan terburu-buru.
“Ini masih setengah enam, tapi kok kak Ara udah pulang kerja?” Monolog Rea sambil melihat ke jam tangan digitalnya. Ia tahu biasanya paling cepat pulang dari kafe itu adalah jam enam, bahkan sering sampai jam delapan malam tapi sekarang bahkan masih setengah enam sore dan Varania sudah pulang.
Sementara itu, Varania langsung masuk ke dalam kamarnya dan mengunci pintu.
“Gilaa! Kemana mayat itu mereka bawa? Dan untuk apa?” Varania berjalan mondar-mandir dekat jendela, kedua orang itu pasti juga tinggal di Ravenswood.
Varania tidak bisa berhenti memikirkannya sambil mondar-mandir. Tiba-tiba ponselnya berdering. Ia mengambilnya untuk melihat siapa yang menelepon.
Dahinya berkerut, nomor asing itu kembali menelponnya. Kali ini apa lagi yang akan dia katakan? Apakah akan seperti terakhir kali? Suara radio rusak?
“Hallo…” Varania menempelkannya ponsel di telinga, menunggu orang itu membalas sapaannya atau menunggu dia mengatakan sesuatu.
Tidak ada sahutan.
Hening!
“Maaf, ini siapa ya?” Tanya Varania, ia berdiri dekat jendela. Netra nya mendapati jejak tangan tempo hari masih belum hilang. Ia mengusapnya dengan ujung jari mencoba menghilangkan lumpur yang menempel.
Mata Varania membola, awalnya ia mengira jejak itu ada di kaca luar, tapi ternyata jejak tangan beserta lumpurnya ada di kaca dalam. Berarti ada yang masuk ke kamarnya.
“Hal-halo…” Terdengar suara serak dari dalam ponsel, Varania reflek menjauhkan ponsel dari telinganya. Suaranya aneh.
“Iya, ini siapa?” Tanya Varania kembali menempelkan ponsel di telinga.
Klik.
Sambungan terputus begitu saja.
Varania mengerutkan dahinya tidak senang, “Apa-apaan sih? Sebenarnya dia siapa?
Varania melemparkan ponsel ke tempat tidur, kemudian ia duduk di lantai.
“Daripada mencari makam yang tidak tahu ada dimana, sebaiknya aku mencari siapa pemilik nomor ini.” Gumam Varania resah, ia mengangkat tangannya dan mengamati kulitnya yang setiap hari bertambah pucat.
“Sial! Apa hubungannya antara kutukan dan ponsel? Apa hubungan kulit pucat dengan bayangan sialan itu?” Tanya Varania geram.
“Vara,”
Suara Matilda terdengar dari luar pintu kamar. Varania menambah bedak di wajahnya sebelum membuka pintu, ia tidak mau ibunya curiga.