Karena merasa iba melihat para lansia yang ia jaga dan rawat di Panti Jompo yang dikelolanya, Mariyati ingin menghukum semua keturunan para orang tua itu. Para lansia itu hidup seorang diri hingga tiada, tanpa ada sanak keluarga yang menemani sampai mereka semua dijemput ajal.
Demi membalaskan rasa kecewa para orang tua yang dulu ia rawat di Panti Jompo itu, Mariyati rela bersekutu dengan para iblis dari alam kegelapan. Ia membuat beberapa keturunan para lansia itu, untuk membayar semua perlakuan orang tua mereka, pada Nenek atau Kakek mereka. Dengan cara menumbalkan nyawa para cucu atau cicit dari lansia itu. Akankah Mariyati berhasil menumbalkan nyawa keturunan para lansia yang dulu ia rawat. Karena dengan menumbalkan nyawa keturunan para lansia itu, Nenek atau Kakek mereka dapat kembali hidup. Apakah Mariyati berhasil menjalankan niatnya itu? Baca kelanjutan ceritanya yuk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novi putri ang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28 DIBIARKAN PULANG?
Sintia baru saja akan membuka mulutnya, namun Widia menarik tangannya begitu saja.
"Bentar dong Wid, masih ada yang mau gue tanyain ke si ibu!" Seru Sintia menghentikan langkah.
Sintia berbalik ke kios penjual bunga, namun si penjual tadi seakan hilang begitu saja. Padahal belum ada lima menit ia menjauh dari kios nya.
"Kenapa Sin, kok malah bengong?"
"Ibu nya kemana ya Wid? Kok gak ada di kios nya?"
"Lah iya, perasaan kita belum jauh dari kios nya. Ya udahlah nanya nya kapan-kapan aja, sekarang kita balik yuk. Kasihan para nenek itu, sebentar lagi udah masuk jam tidur siang."
Setelah melihat jam yang melingkar di tangannya, Sintia memutuskan untuk kembali ke Panti. Ternyata si ibu penjual bunga tadi bersembunyi di kios sebelahnya, seperti ada yang ia sembunyikan. Dan ia pun memilih menghindari Sintia, karena ia tau jika terus berada di kios nya maka Sintia akan bertanya sesuatu padanya.
"Tuh pak Kirun disana. Gue panggil tukang panggul dulu buat angkat karung beras sama belanjaan yang lainnya."
Sintia memanggil seorang lelaki berbadan kekar, ia memanggul sekarung beras dan belanjaan lainnya.
"Sampai sini aja Mbak, gak mau dicariin kendaraan sekalian?"
"Gak usah Mas, kita udah ada yang anter kok." Kata Widia seraya menyunggingkan senyum.
Nampak lelaki itu menoleh ke kiri kanan, ia seperti sedang mencari sesuatu.
"Beneran nih Mbak gak mau dibantu nyari angkutan? Daripada lama nunggu disini, panas loh."
"Gak usah Mas makasih, bentar lagi juga kita jalan kok. Ini uang tanda terima kasih nya." Widia memberikan lembaran uang pada lelaki itu.
Lelaki itu berjalan kembali ke pasar, lalu sesekali ia membalikkan badan melihat ke arah Sintia dan Widia. Ia menggaruk kepala yang tak gatal nampak bingung. Saat lelaki itu melanjutkan langkahnya, selembar uang nya terbang kena angin. Ia menundukkan badan untuk mengambil uang, nampak kedua gadis muda yang ia bantu memanggul belanjaan tadi sudah tak ada di tempat.
"Gimana dek, udah dapat semua belanjaan nya?"
"Udah pak, tapi kayaknya kita kelamaan di pasar. Takutnya bu Mariyati marah sama kita."
"Gak apa-apa dek, sepertinya bu Mariyati memang sengaja membuat kalian lebih lama di pasar."
Mendengar jawaban pak Kirun, Sintia hanya tertegun. Kemudian Widia bertanya, apakah pak Kirun mendengar selentingan mengenai mahasiswa yang hilang. Karena mereka curiga, jika yang dimaksud itu adalah teman mereka Beni. Namun pak Kirun hanya menggelengkan kepala mengaku tak pernah mendengarnya.
"Tolong sampaikan pada bu Mariyati, kalau ada yang ingin saya bicarakan diluar." Ucap pak Kirun seraya menghentikan laju delmannya.
"Oh iya pak, nanti kami sampaikan. Ini ongkosnya ya pak, kita lebihin dikit karena tadi udah nunggu lama." Widia membayar ongkos delman, lalu turun seraya mengambil barang belanjaan.
"Wah makasih ya dek, sini biar saya bantu angkat beras nya." Pak Kirun turun dari delman, meletakkan karung beras di teras.
Pak Kirun berjalan menuju delman, ia menyunggingkan senyum pada keduanya.
"Loh kok pergi sih, katanya pak Kirun mau bicara sama bu Mariyati." Kata Widia mengaitkan kedua alis mata.
"Mungkin nanti bu Mariyati yang nyamperin ke jalan depan. Udah yuk masuk, gue udah bunyiin kentongan nih."
Cekleek.
Pintu terbuka dari dalam, nampak Riko sedang memapah Doni. Sementara Dina membawa tas ransel milik Doni. Sintia dan Widia terperangah melihat teman-temannya di depan pintu.
"Kalian mau kemana?" Tanya Sintia dan Widia bersamaan.
"Mereka hanya mengantar Doni menunggu mobil travel. Kesehatan Doni semakin buruk, jadi saya memutuskan untuk memulangkan nya." Jawab Mariyati berjalan dari dalam.
Terlihat seluruh badan Doni bergetar karena menggigil. Wajahnya pun pucat pasi, sampai ia harus ditopang untuk berjalan.
"Ibu yakin gak apa-apa Doni pulang dengan keadaan seperti ini?" Sintia menempelkan punggung tangan nya di kening Doni. Ia dapat merasakan hawa dingin yang luar biasa.
"Saya tak bisa menanggung resiko jika terjadi apa-apa dengan Doni. Lagipula ini atas permintaan Doni sendiri, kau tanya saja pada Riko dan Dina kalau tak percaya!"
Doni terbatuk, lalu menjelaskan jika ia memang meminta ijin untuk pulang.
"Bener kok Sin, Wid. Tadi gue denger sendiri, kalau Doni yang minta ijin pulang. Katanya dia udah gak sanggup bantu di Panti lagi, dia nyerah dan gak masalah kalau nilainya jelek. Bu Mariyati juga udah telepon pak dekan, pihak kampus udah ngirim perwakilan buat jemput Doni pakai mobil travel." Kata Riko seraya mendudukan Doni di kursi depan.
"Udah deh, kalian berdua gak usah bikin ribet! Biar aja Doni balik, daripada dia sakit disini malah semakin merepotkan kita tau gak!" Celetuk Dina ketus.
"Sudah hentikan perdebatan kalian, bawa semua barang belanjaan ke dalam. Biar saya yang menemani Doni sampai mobil travelnya tiba." Bentak Mariyati dengan nada suara tinggi.
Terpaksa ke empat nya menuruti ucapan Mariyati, mereka masuk ke dalam rumah. Tapi hanya Sintia yang menghentikan langkahnya, ia berjalan kembali mendatangi Mariyati. Dan menyampaikan pesan pak Kirun, yang memintanya untuk berbicara sebentar.
"Baiklah, kembali ke dalam dan selesaikan pekerjaan kalian." Jawab Mariyati dengan sorot mata datar.
Mariyati menutup kembali pintu depan, di sela-sela sbelum pintu tertutup sempurna. Sintia dapat melihat dengan jelas wajah Doni. Wajahnya semakin pucat seperti mayat. Tatapan matanya pun kosong, seakan sudah tak ada tanda kehidupan.
Widia bersama Dina sedang menata bahan belanjaan di lemari. Sintia terduduk lemas, ia memijat pangkal hidungnya. Entah kenapa ia merasa jika saat itu adalah waktu terakhirnya dapat bertemu dengan Doni.
"Lu capek ya Sin? Ini gue buatin es jeruk, diminum dulu." Ucap Riko seraya duduk di samping nya.
"Ko, sejak kapan Doni jadi makin parah gitu? Kenapa gak dibawa ke klinik aja dulu, supaya kondisinya lebih baik."
"Gue gak tau Sin, lagian itu permintaan Doni sendiri. Padahal gue sama Dina udah kasih saran, buat antar dia periksa ke klinik dulu. Tapi Doni kekeh mau balik ke Jakarta, dan gak mau nerusin kerja lapangan disini."
"Ya udah sih gak usah dibahas terus, mendingan kalian bantu kita beresin semua ini!" Celetuk Dina dengan nafas terengah-engah.
Melihat kondisi fisik Dina, Widia juga merasa jika sebenarnya temannya itu tidak baik-baik saja. Meski raut wajahnya tak menunjukkan jika ia sedang sakit, namun kondisi fisiknya yang mudah lelah. Membuat Widia mempertanyakan kesehatan temannya itu.
"Gue gak apa-apa kok Wid, tapi kepala gue emang agak pusing sih. Perut gue juga gak enak, mungkin gue masuk angin doang sih." Jelas Dina menundukkan kepala.
Dina tak pernah tau, jika kemungkinan ada kehidupan lain di dalam tubuhnya. Karena ia tak pernah merasa melakukan sebuah hubungan dengan siapapun. Lantas bagaimana jadinya, jika tiba-tiba ia mengandung benih dari orang lain.
padahal cuma baca tapi panas dingin nya beneran cok