“Setiap mata menyimpan kisah…
tapi matanya menyimpan jeritan yang tak pernah terdengar.”
Yang Xia memiliki anugerah sekaligus kutukan, ia bisa melihat masa lalu seseorang hanya dengan menatap mata mereka.
Namun kemampuan itu tak pernah memberinya kebahagiaan, hanya luka, ketakutan, dan rahasia yang tak bisa ia bagi pada siapa pun.
Hingga suatu hari, ia bertemu Yu Liang, aktor terkenal yang dicintai jutaan penggemar.
Namun di balik senyum hangat dan sorot matanya yang menenangkan, Yang Xia melihat dunia kelam yang berdarah. Dunia penuh pengkhianatan, pelecehan, dan permainan kotor yang dijaga ketat oleh para elite.
Tapi semakin ia mencoba menyembuhkan masa lalu Yu Liang, semakin banyak rahasia gelap yang bangkit dan mengancam mereka berdua.
Karena ada hal-hal yang seharusnya tidak pernah terlihat, dan Yang Xia baru menyadari, mata bisa menyelamatkan, tapi juga membunuh.
Karena terkadang mata bukan hanya jendela jiwa... tapi penjara dari rahasia yang tak boleh diketahui siapapun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vanilla_Matcha23, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27 - JANGAN IKUT CAMPUR
Setelah beberapa saat, Yang Xia menarik napas panjang. Kelelahan terasa menekan dadanya. Ia menatap ke arah Yu Liang yang kini sudah kembali tenang, wajah pria itu tampak damai, seolah badai yang baru saja mengguncang tubuhnya hanyalah ilusi singkat.
Xia berbalik pelan, meninggalkan ruang perawatan itu dengan langkah tenang yang menyembunyikan gelombang perasaan di dadanya.
Begitu tiba di ruang kerjanya, ponselnya bergetar di atas meja.
Tanpa pikir panjang, ia mengangkatnya.
“Nona…”
Suara berat Guang Yi terdengar di seberang, disertai hembusan napas tertahan.
“Bagaimana bisa Anda melakukan hal berbahaya seperti itu?”
Nada suaranya bergetar, bercampur antara cemas dan amarah yang berusaha dikendalikan.
“Seharusnya kau—”
Guang Yi berhenti, menutup matanya, menahan nada tinggi yang hampir meluncur keluar.
“Selain Feng Xuan, apa… kau tidak percaya kepadaku, Nona?”
Kata-katanya bergetar pelan, namun di baliknya ada luka yang dalam seperti seseorang yang merasa gagal menjalankan sumpahnya untuk melindungi.
Xia terdiam.
Tatapannya kosong ke arah layar monitor yang menampilkan hasil vital Yu Liang. Ia tahu, amarah Guang Yi bukan tanpa alasan.
Namun sebelum sempat menjawab, suara di ujung telepon kembali terdengar, lebih rendah, lebih menekan.
“Kau bahkan tidak memberitahuku sedikit pun…”
“Sehingga aku tidak bisa menghentikanmu sebelum semua ini terjadi.”
Ada jeda. Hening panjang di antara mereka, hanya diisi oleh detak mesin medis dari monitor.
Xia menutup matanya pelan.
“Maaf, Guang Yi. Tapi aku harus melihatnya sendiri… sebelum mereka sempat menghapus semua bukti.”
Suara di seberang telepon berubah tenang, tapi bukan berarti amarah Guang Yi reda, justru sebaliknya.
Nada dinginnya kini terdengar seperti bilah pisau yang baru saja diasah.
“Baik, kalau begitu aku yang akan bertindak,” ujarnya datar.
Guang Yi berdiri dari kursinya di ruang kendali pusat Yang Group, menatap puluhan layar yang menampilkan data satelit, jaringan rumah sakit, dan sistem keamanan Hanazawa.
Satu per satu, ia memberi perintah cepat ke tim di sekitarnya.
“Unit Keamanan Internal, aktifkan protokol hitam. Tutup seluruh akses data Hanazawa Hospitals yang terhubung ke jaringan luar.”
“Hapus semua catatan digital yang menunjukkan keberadaan Nona Xia di sana, termasuk identitas ‘Dokter Yang’.”
“Jika ada pihak luar yang sempat melihat atau mencatat nama itu, bersihkan.”
Para teknisi dan agen di ruangan langsung bergerak cepat. Deretan perintah muncul di layar, lampu indikator berganti menjadi merah, menandakan proses penghapusan sedang berjalan.
Guang Yi menekan komunikator di telinganya.
“Xuan, dengarkan baik-baik.”
“Mulai sekarang, tidak ada satu pun orang yang boleh tahu Nona ada di Hanazawa. Lindungi perimeter luar tanpa menimbulkan kecurigaan. Jika situasi darurat, prioritas utama: keluarkan Nona dengan selamat, tanpa jejak.”
“Siap, Tuan Guang.”
Suara Feng Xuan terdengar tegas namun sarat ketegangan.
Guang Yi menghela napas, lalu menatap layar utama yang menampilkan wajah Xia di rekaman CCTV rumah sakit, berjalan di lorong dingin dengan jas putih dan kacamata.
Sekilas ekspresinya berubah dari marah menjadi sedih.
“Nona…” gumamnya pelan.
“Anda tak perlu melakukan hal sebesar ini sendirian. Tapi… seperti biasa, Anda memilih jalan yang paling berbahaya.”
Tangannya mengepal di sisi meja kendali.
“Kalau mereka tahu siapa sebenarnya dokter itu…”
Ia berhenti sejenak, lalu menatap rekan di sebelahnya.
“Pastikan tidak ada yang tersisa. Bahkan bayangan pun tidak.”
“Tim bayangan, tetap di posisi. Lindungi Nona Xia dari jarak aman,”
suara Guang Yi terdengar pelan tapi tajam, menembus saluran komunikasi.
“Jangan sampai kehilangan jejaknya, bahkan untuk sedetik pun.”
Para anggota tim bayangan yang tersebar di sekitar area rumah sakit segera bergerak.
Di sisi lain, Xia menatap layar ponselnya sesaat sebelum mematikannya. Ia menarik napas panjang, membereskan berkas di mejanya, lalu melangkah keluar dari ruangannya.
Hari itu terasa begitu panjang. Terlalu banyak hal yang harus dia simpan sendiri. Dalam diam, mereka mengikuti rute mobil hitam yang membawa Yang Xia pulang. Langkah mereka nyaris tak terdengar, seperti bayangan malam yang hidup di antara cahaya lampu jalan.
Begitu mobilnya memasuki gerbang kediaman Yang Residence, dua baris penjaga keamanan menunduk hormat.
“Selamat malam, Nona,” ucap salah satu dari mereka dengan nada sopan.
Xia hanya tersenyum lembut dan melangkah masuk. Meski rumah itu begitu megah, lampu kristal berkilau, aroma teh melati menyambut dari ruang tamu. Keheningan di dalamnya selalu terasa menusuk.
Ia kembali sadar… betapa sunyinya hidupnya, meski dikelilingi kemewahan.
Seorang kepala pelayan, Wang Ma, berlari kecil menghampiri dari arah dapur.
“Nona, Anda sudah pulang. Apakah ingin langsung makan?”
Xia mengangguk pelan, melepas jas putihnya dan menyerahkannya pada pelayan di belakang.
“Ya. Tolong siapkan, Wang Ma.”
“Baik, Nona. Saya akan memanaskannya kembali,” jawab wanita tua itu sambil tersenyum hangat.
Xia melangkah perlahan menuju kamarnya di lantai atas. Langkah-langkahnya bergema lembut di koridor panjang yang dihiasi lukisan keluarga.
Setiap kali melewati potret besar orang tuanya, ia tak pernah gagal berhenti sejenak, hanya untuk menatap wajah mereka, seolah mencari kekuatan yang tersisa.
Begitu pintu kamarnya tertutup, keheningan kembali menguasai. Hanya suara napasnya sendiri yang terdengar.
“Kau baik-baik saja, Xia…”
Bisiknya pelan pada bayangannya di cermin.
Namun senyum itu, meski tampak tenang menyimpan ribuan luka yang tak seorang pun tahu.
Setelah menikmati makan malamnya dalam kesunyian, Xia berjalan perlahan menuju ruang keluarga.
Langkahnya tenang, namun matanya kosong seperti seseorang yang tubuhnya hadir, tapi pikirannya tersesat jauh entah ke mana.
Ia menuruni anak tangga marmer dengan lembut, lalu menjatuhkan diri di salah satu sofa mewah yang menghadap televisi besar. Dengan gerakan malas, ia menyalakan layar, membiarkan cahaya biru memantul di wajahnya yang pucat lelah.
“Hanya sebentar saja,” gumamnya, mencoba menenangkan pikirannya yang kalut.
Tayangan acak berganti-ganti, tapi tak satu pun yang benar-benar ia lihat. Bunyi lembut dari pendingin ruangan dan cahaya televisi yang berpendar menjadi satu-satunya teman di ruangan luas itu.
Beberapa menit kemudian, matanya terpejam perlahan, terlelap tanpa ia sadari. Namun begitu kegelapan menyelimutinya, dunia di sekitarnya berubah.
Ia kini berdiri di tengah lorong panjang yang suram, diterangi lampu darurat berwarna merah. Udara terasa dingin, dan suara langkah kaki tergesa menggema dari kejauhan.
“Di mana ini…” bisik Xia dalam mimpi itu, menatap sekeliling.
Tiba-tiba, bayangan seseorang melintas di ujung lorong. Tinggi, ramping, namun tubuhnya goyah, seperti sedang ditopang oleh dua orang berseragam medis.
Cahaya redup memperlihatkan sekilas wajah pucat itu.
Yu Liang.
Xia menahan napas.
Malam itu…
Ya, malam sebelum Yu Liang dibawa ke Hanazawa Hospitals. Ia melihat lagi, lebih jelas. Kini percikan darah di lantai, desah napas berat, dan sesuatu yang jauh lebih aneh. Kilatan cahaya biru samar yang keluar dari dada Yu Liang sesaat sebelum tubuhnya tak sadarkan diri.
Xia melangkah maju, ingin mendekat, namun lorong itu mulai bergetar, dan suara alarm bergema di sekitarnya.
Suara seseorang terdengar samar di telinganya,
“Jangan ikut campur...”
Xia terbangun mendadak. Napasnya terengah, keringat dingin membasahi pelipisnya. Televisi masih menyala, tapi tayangannya sudah berganti menjadi layar gelap.
Ia menatap kosong ke arah pantulan dirinya di kaca jendela, masih terguncang oleh bayangan itu.
“Malam itu…” bisiknya pelan.
“Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Yu Liang?”