Kecelakaan yang merenggut istrinya menjadikan Arkana Hendrawan Kusuma tenggelam dalam perasaan kehilangan. Cinta yang besar membuat Arkan tak bisa menghilangkan Charissa Anindya—istrinya—dari hidupnya. Sebagian jiwanya terkubur bersama Charissa, dan sisanya ia jalani untuk putranya, Kean—pria kecil yang Charissa tinggalkan untuk menemaninya.
Dalam larut kenangan yang tak berkesudahan tentang Charissa selama bertahun-tahun, Arkan malah dipertemukan oleh takdir dengan seorang wanita bernama Anin, wanita yang memiliki paras menyerupai Charissa.
Rasa penasaran membawa Arkan menyelidiki Anin. Sebuah kenyataan mengejutkan terkuak. Anin dan Charissa adalah orang yang sama. Arkan bertekad membawa kembali Charissa ke dalam kehidupannya dan Kean. Namun, apakah Arkan mampu saat Charissa sedang dalam keadaan kehilangan semua memori tentang keluarga mereka?
Akankah Arkan berhasil membawa Anin masuk ke kehidupannya untuk kedua kalinya? Semua akan terjawab di novel Bring You Back.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aquilaliza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Anin menggeliat pelan saat merasakan sesuatu beberapa kali menempel di pipinya. Saat ia tersadar, ternyata yang menempel di pipinya adalah telapak tangan Arkan yang menepuk-nepuk pipinya, berusaha membangunkan dia dari tidur lelap.
Tapi, Anin merasa sedikit aneh. Yang ia rasakan saat menyentuh pipinya adalah benda kenyal yang lembut, bukan tangan keras milik Arkan.
"Masih belum sadar sepenuhnya?" tanya Arkan dengan tampang datar dan kedua tangan yang terlipat di dada.
"Ini, sudah jam berapa?"
"Jam 8.20."
Anin melotot kan matanya. "Jam 8.20?" Anin sedikit berteriak. Arkan hanya mengangguk santai. Anin menutup mata, menggigit bibir, lalu merutuki dirinya dalam hati. Kenapa ia bisa ceroboh hingga tidur berjam-jam? Sementara dokumen yang ia periksa belum mencapai setengah tumpukan.
"Pak, saya minta maaf. Saya janji saya akan menyelesaikan semuanya malam ini. Izin kan saya bawa dokumen-dokumen ini ke rumah. Saya pasti menyelesaikan pemeriksaannya malam—"
Ucapan Anin terhenti ketika Arkan tiba-tiba membungkukkan tubuhnya, sedikit condong hingga wajahnya begitu dekat dengan wajah Anin. Membuat Anin merasa sangat tak nyaman.
"P-Pak, anda—"
"Saya menyukai mu, Anin."
Glek!
Anin melotot tak percaya. Ketika wajah Arkan semakin dekat, dengan cepat ia mendorongnya dan berdiri, bergegas untuk meninggalkan Arkan. Namun, Arkan dengan cepat menahan tangannya dan menariknya hingga terjatuh dalam pelukan lelaki itu.
Sejenak, waktu seolah berhenti ketika Anin berada dalam pelukan Arkan. Anin terdiam, merasakan perasaan yang tak asing. Tangannya bergerak pelan hendak memeluk lelaki itu. Namun, ia dengan cepat tersadar dan mendorong menjauhkan dirinya dari tubuh Arkan.
Wajahnya memerah. Dia sangat malu dan gugup. Dan itu membuat Arkan tersenyum.
"Ma-maaf, Pak. Saya harus pulang sekarang." Dengan cepat Anin berbalik dan berjalan ke arah pintu. Ketika ia mencoba mendorongnya, pintu ruangan itu tak sedikit pun bergerak terbuka. Sekali lagi ia mencoba, namun hasilnya tetap sama. Pintu terkunci. Itu kenyataannya.
Anin berbalik, hendak meminta Arkan untuk memberikan kunci pintu. Tapi, ia malah dikejutkan dengan keberadaan Arkan yang begitu dekat dengannya. Tubuh tinggi dan menjulang lelaki itu membuat Anin mendongak.
"P-Pak, anda mau apa?"
Arkan tersenyum miring. Tak lekas menjawab, lelaki itu menempatkan kedua tangannya di kedua sisi Anin.
"Pak, jika anda berbuat kurang ajar, saya akan laporkan anda ke polisi!" Anin berucap serius. Jujur, dia takut Arkan berbuat kurang ajar padanya.
Arkan yang diancam malah terkekeh. Dengan penuh kesadaran, ia semakin membungkukkan tubuhnya, mencondongkan wajahnya hingga semakin dekat dengan wajah Anin.
"Laporkan saja. Saya tidak takut."
"Anda—"
"Sttt ... Saya hanya bercanda. Saya tidak akan macam-macam."
"Kalau begitu, buka pintunya dan biarkan saya pergi."
"Akan saya bukakan. Tapi, setelah kau menjawab pertanyaan saya."
"Pe-pertanyaan apa?"
Arkan tersenyum. Ia menegakkan tubuhnya, lalu dengan tiba-tiba sebelah tangannya merengkuh pinggang Anin, menariknya lebih dekat dan menempel pada tubuh kekarnya.
Anin begitu terkejut. Ia mencoba mendorong, namun Arkan terlalu kuat.
"Pak, anda jangan kurang ajar!"
"Tenang, Anin. Dengarkan saya," ujar Arkan begitu santai. "Saya menyukai mu."
Anin menggeleng. "Anda jangan bercanda, Pak. Anda sangat mencintai mendiang istri anda. Jika anda mengatakan suka karena saya mirip istri anda, anda harus sadar. Saya Anin, bukan mendiang istri anda, nyonya Charissa."
"Saya mengatakan dengan sadar, Anin."
"Pak, jangan seperti ini. Lepaskan saya!" Anin berusaha melepaskan diri. Namun, Arkan tak mudah dikalahkan.
"Kau tidak mau dipanggil Mama oleh Kean, kan?" Anin seketika berhenti memberontak. Ia menatap lekat wajah Arkan. Bagaimana lelaki itu tahu?
"Kau takut saya tidak setuju? Jangan khawatir, saya setuju kau dipanggil Mama oleh Kean."
"Pak, anda bicara apa?"
"Saya bicara yang sebenarnya, Anin." Arkan mengatakannya dengan serius. "Saya izin kan kau dipanggil Mama oleh Kean. Bukan hanya sebuah panggilan, tapi sebuah status. Saya ingin memberikan status itu padamu."
Anin menggeleng. "Pak, anda pasti sedang mabuk. Anda melantur—"
"Tidak. Saya sepenuhnya sadar, Anin. Saya benar-benar ingin kau menjadi istri saya. Bukan karena kau mirip Charissa. Tapi ...." Arkan sedikit menjeda ucapannya. Sebelah tangannya terangkat menangkup pipi Anin, membiarkan perempuan itu menatapnya.
"Karena kau perempuan yang saya cintai," lanjutnya, memberikan satu kecupan penuh perasaan pada kening Anin, membuat perempuan itu terdiam mematung.
"Pak ...."
"Ayo, pulang." Arkan menjauhkan tubuhnya lalu menggenggam lembut tangan Anin. Sebelah tangannya bergerak membuka pintu, kemudian menarik pelan Anin keluar dari ruangan tersebut usai pintu terbuka.
Sementara Anin begitu kebingungan. Semua ini begitu tiba-tiba. Dia tak bisa mencernanya dengan baik.
***
Arkan mengendarai mobilnya sambil terus tersenyum. Ia sedang dalam perjalanan kembali ke rumahnya usai mengantar Anin pulang. Masih terekam jelas wajah memerah malu Anin saat ia mengingatkan perempuan itu tentang kejadian di ruangannya tadi.
Sebenarnya, apapun yang terjadi di ruangan tadi diluar rencananya. Dia awalnya hanya ingin menghabiskan waktu berdua dengan istrinya tersebut. Tapi, entah dorongan dari mana ia sampai berbuat nekat seperti tadi.
Beruntung nya tindakan tadi tidak mempengaruhi Anin. Jika sampai tindakannya tadi memaksa Anin mengingat masa lalu dan berakhir dengan merasakan sakit kepala yang luar biasa, dia tidak akan memaafkan diri nya sendiri.
Arkan menghentikan mobilnya saat tiba di rumah. Segera ia memasuki kediamannya tersebut, yang langsung disambut oleh Kean. Anak itu sudah kembali sehat dan ceria.
"Papa kenapa pulangnya lama sekali? Kean sudah menunggu Papa sejak tadi."
Arkan tersenyum. Ia mengusap pelan puncak kepala putranya, lalu membawa anak itu naik ke lantai atas bersamanya. Langkah Arkan langsung menuju kamarnya. Ia menurunkan Kean di atas ranjang, membiarkan putranya tersebut duduk di tepi ranjang, sementara dirinya duduk berjongkok di depan Kean.
"Kean ingin tahu kenapa Papa pulang terlambat?"
"Hm. Pasti Papa mengantar Tante cantik."
Arkan terkekeh. "Kau benar. Tapi, ada hal lain lagi."
"Apa?"
Arkan tersenyum. Kedua tangannya memegang lembut kedua lengan putranya. "Papa sedang mengusahakan untuk menjadikan Tante Anin sebagai Mama Kean."
"Serius?" Mata Kean langsung berbinar cerah. "Papa serius?"
"Ya, Papa serius. Jadi, mulai sekarang, Kean harus bantu Papa. Kean harus jadi anak pintar. Kean harus berusaha untuk tidur tanpa harus dengar suara Papa. Kean tidak boleh menahan kantuk karena menunggu Papa kembali. Bukan Papa tidak mau menemani Kean lagi. Tapi, Papa hanya merasa Kean perlu lebih pintar lagi saat Papa pulang tidak tepat waktu. Dan Papa tidak akan lupa meluangkan waktu untuk Kean. Kena mengerti, kan?"
Anak itu mengangguk cepat. "Kean mengerti, Papa. Mulai besok, Kean akan jadi anak pintar dan membantu Papa. Tapi, malam ini tetap temani Kean, ya?"
Arkan terkekeh pelan. Anaknya sangat lucu. "Kau ini, lucu sekali. Tenang saja, Papa akan tetap temani kau tidur. Sekarang Papa mandi dulu."
"Oke."