Janetta Lee, dikhianati saat mengandung, ditinggalkan di jalan hingga kehilangan buah hatinya, dan harus merelakan orang tuanya tewas dalam api yang disulut mantan sang suami—hidupnya hancur dalam sekejap.
Rasa cinta berubah menjadi luka, dan luka menjelma dendam.
Ketika darah terbalas darah, ia justru terjerat ke dalam dunia yang lebih gelap. Penjara bukan akhir kisahnya—seorang mafia, Holdes Shen, menyelamatkannya, dengan syarat: ia harus menjadi istrinya.
Antara cinta yang telah mengkhianati, dendam yang belum terbayar, dan pria berbahaya yang menggenggam hatinya… akankah ia menemukan arti cinta yang sesungguhnya, atau justru terjebak lebih dalam pada neraka yang baru?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Dengan cepat, Hanz dan Holdes melepaskan tembakan dari bawah meja. Keduanya sama-sama menghindari peluru yang melesat dari arah lawan.
Dor!
Sementara itu, anggota dari kedua belah pihak saling menembak tanpa henti.
Dor! Dor! Dor!
Tembakan beruntun menggema di dalam ruangan. Anak buah Holdes yang sudah terlatih berhasil menghindari beberapa peluru, meski sebagian terkena di pundak dan dada sebelah kanan.
Terlihat beberapa anggota Hanz tertembak di bagian jantung dan kepala, tewas seketika di tempat.
Hanz yang bersembunyi di balik meja makan restoran tidak menyadari bahwa dirinya telah menjadi target sniper dari gedung seberang.
Dor! Dor! Dor!
Tembakan beruntun terdengar dari arah luar. Holdes menembak ke arah anggota Hanz yang baru masuk lewat pintu belakang. Beberapa di antara mereka tumbang, sementara sisanya membalas tembakan dengan panik.
Dor!
Satu tembakan tepat dari sniper menembus kepala Hanz. Darah muncrat membasahi meja, dan tubuhnya ambruk tanpa suara.
Tubuh Hanz terjatuh ke lantai dengan suara berat. Darah menetes dari pelipisnya, mengalir ke permukaan marmer restoran yang hancur berantakan.
Namun kematian pemimpin mereka justru membuat sisa anggota Hanz mengamuk.
“BALAS!!!” teriak salah satu dari mereka, matanya merah penuh dendam.
Mereka menembak membabi buta ke arah pasukan Holdes, menghujani ruangan dengan peluru.
Dor! Dor! Dor!
Kursi, meja, bahkan lampu gantung pecah berhamburan. Asap mesiu memenuhi udara. Beberapa anak buah Holdes terkena tembakan di bahu dan kaki, tapi mereka segera membalas dengan disiplin dan ketepatan yang mematikan.
Dor! Dor! Dor! Dor!
Peluru dari arah Holdes menghantam satu per satu anggota Hanz yang tersisa. Ada yang jatuh menimpa meja, ada pula yang terhempas ke dinding dengan darah berceceran.
Bowie memberi aba-aba singkat, “Jangan beri kesempatan! Sapu bersih semuanya!”
Anak buah Holdes bergerak cepat. Dalam hitungan detik, ruangan itu menjadi ladang maut.
Beberapa anggota Hanz yang tersisa mencoba melarikan diri lewat pintu samping, namun dari luar sudah terdengar tembakan dari sniper dan penjaga yang berjaga di perimeter.
Dor! Dor! Dor!
Satu per satu tumbang. Tubuh mereka bergelimpangan di koridor, darah mengalir hingga membasahi karpet merah restoran.
Suara tembakan perlahan mereda. Hanya tersisa dengusan napas berat dan denting selongsong peluru yang jatuh ke lantai.
Holdes berdiri perlahan, menghela napas panjang. Matanya memandangi tubuh Hanz yang tergeletak tanpa nyawa.
“Dendammu berakhir di sini,” ucapnya pelan namun dingin.
Bowie melangkah mendekat, memberi hormat kecil. “Semua sudah selesai, Bos.”
Holdes menatap sekeliling—ruangan hancur, bau darah menyengat, dan tak ada lagi suara selain angin malam yang menerobos lewat jendela pecah.
“Bersihkan semuanya,” katanya datar. “Jangan ada jejak.”
Bowie mengangguk. “Baik, Bos.”
Para anak buah Holdes segera bergerak, mengangkat tubuh-tubuh tak bernyawa dan memadamkan api kecil dari percikan peluru. Dalam waktu singkat, tempat itu kembali sunyi—seolah tidak pernah terjadi pertempuran mematikan di dalamnya.
Holdes berjalan keluar dengan langkah tenang, melewati genangan darah yang mulai mengering. Tatapannya tajam menembus malam.
Pertempuran telah dimenangkan, namun di dalam hatinya, ia tahu... perang di dunia bawah tanah belum benar-benar berakhir.
Lima tahun kemudian.
Suasana riuh terdengar di taman sebuah sekolah anak-anak. Sekelompok murid kecil berkerumun membentuk lingkaran, menonton sesuatu dengan sorak campur tegang.
Di tengah kerumunan itu, dua anak laki-laki berusia sekitar lima dan tujuh tahun tengah berkelahi.
Salah satunya adalah Shen Xiao Han, putra Holdes dan Janetta. Wajahnya bulat, rambut hitam legam, kulitnya seputih susu, dan sorot matanya tajam seperti ayahnya. Ia mengenakan kemeja kotak-kotak biru muda dan celana panjang abu-abu, tampak berantakan karena perkelahian.
Anak yang satu lagi tubuhnya sedikit lebih besar, namun justru tampak kesulitan. Xiao Han memegang kakinya erat dan menggigit betisnya tanpa ragu.
"Aahh! Lepaskan aku!" teriak anak itu ketakutan, berusaha menendang.
Namun Xiao Han malah menatapnya dengan berani.
"Aku adalah Harimau Kecil! Kau berani sekali menindasku! Jangan bermimpi bisa menang dariku!"
Dengan suara lantang dan wajah merah karena emosi, Xiao Han melepaskan gigitannya lalu mendorong lawannya hingga jatuh terlentang. Ia mengacak rambut bocah itu dengan kesal.
“Aku sudah bilang, jangan ganggu aku lagi!” ujarnya dengan nada tegas, meniru gaya bicara ayahnya yang dingin dan berwibawa.
Beberapa anak yang menonton menahan tawa, sebagian lagi bersorak kecil.
“Xiao Han menang lagi!” seru seorang bocah laki-laki dari belakang.
Namun sebagian anak perempuan menutup mulut mereka, terkejut dengan keberanian dan ketegasan bocah itu.
Angin siang berhembus lembut, menggoyangkan dedaunan di sekitar taman. Di tengah hiruk-pikuk itu, Shen Xiao Han berdiri tegak dengan dada terangkat—kecil, namun sudah menunjukkan aura keberanian dan dominasi yang tak berbeda jauh dari sang ayah, Holdes Shen.
Di saat suasana taman sekolah sedang riuh oleh teriakan anak-anak, tiba-tiba suara lantang seorang wanita memecah kerumunan.
“Shen Xiao Han! Aku akan patahkan tanganmu!” teriak wanita itu dengan wajah merah padam sambil berlari menghampiri dua anak yang baru saja berkelahi.
Namun sebelum sempat mendekat, dua pria berpakaian hitam yang berjaga di dekat gerbang taman langsung bergerak cepat dan menghadang langkahnya. Mereka adalah pengawal pribadi Xiao Han.
“Bibi,” ujar Xiao Han dengan nada tenang namun tajam, menatap wanita itu tanpa gentar, “pasti Anda ibu dari Little Pig, kan? Tolong awasi anakmu baik-baik, supaya tidak menggangguku lagi.”
“Berani sekali kau mengertak ku!” balas wanita itu dengan suara meninggi, wajahnya memerah karena emosi.
Salah satu pengawal menatapnya tajam.
“Jaga sikap Anda, Nyonya!” perintahnya tegas.
Namun Xiao Han menoleh ke arah pengawalnya dan berkata dengan tenang,
“Paman, lepaskan saja. Jangan kasar terhadap wanita.”
“Baik, Tuan muda.” Pengawal itu mundur selangkah dengan hormat.
Wanita itu langsung menunduk, memeluk anaknya yang menangis tersedu.
“Siapa orang tuamu, hah? Berani sekali menyakiti anakku!” teriaknya dengan nada penuh amarah.
Xiao Han menatapnya dingin, kemudian menjawab dengan nada yang terlalu dewasa untuk anak seusianya.
“Orang dari kalangan bawah tidak layak tahu siapa orang tuaku.”
“Dasar monyet kecil!” hardik wanita itu.
“Jaga mulutmu!” bentak salah satu pengawal dengan nada mengancam.
Namun Xiao Han hanya melipat tangan di dada dan berkata sinis,
“Bibi, kalau tidak bisa mendidik anakmu, jangan melahirkan. Biar tidak menjadi beban negara.”
Wajah wanita itu memucat karena marah.
“Kau… kau berani bicara begitu padaku?!”
Anak laki-lakinya menangis sambil menunjuk Xiao Han.
“Mama, kakiku terluka karena gigitannya!”
“Kurang ajar sekali! Aku akan menuntutmu!” seru wanita itu pada Xiao Han.
Xiao Han tersenyum kecil, menatapnya santai.
“Silakan saja. Lagi pula aku sudah sering dituntut dan keluar-masuk kantor polisi. Paman polisi dan paman pengacara sudah mengenalku.”
Shen Xiao Han, yang dikenal sebagai Little Tiger, karena kenakalannya dan keberaniannya.
up lg dobel2.... lagii
semangatt thorr
Klo bnr wahh perang bathin si Holdes 🤭🤭🤭