📌 Pembuka (Disclaimer)
Cerita ini adalah karya fiksi murni. Semua tokoh, organisasi, maupun kejadian tidak berhubungan dengan dunia nyata. Perselingkuhan, konflik pribadi, dan aksi kriminal yang muncul hanya bagian dari alur cerita, bukan cerminan institusi mana pun. Gaya penulisan mengikuti tradisi novel Amerika Utara yang penuh drama dan konflik berlapis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ardin Ardianto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Elesa
Sore itu terasa seperti ketegangan yang bisa dirasakan di kulit. Panas menyengat menempel di leher dan lengan Rom, sementara angin kencang menampar wajahnya, membuat tirai tipis balkon menari liar. Aroma debu dan besi hangat dari lorong militaryum masuk samar ke hidungnya, bercampur dengan asap rokok yang mengepul dari jari-jarinya. Setiap tarikan napas terasa berat, tapi sekaligus ada sedikit kesegaran dari hembusan angin yang memutar di sekitarnya.
Rom duduk di pembatas balkon, tubuh sedikit condong ke depan, kaki menggantung tanpa menyentuh lantai, tangan memegang pagar besi dingin sebagai pegangan. Matanya menatap jauh ke lorong militaryum—bayangan gedung-gedung tinggi menelan cahaya sore—tetapi pikirannya sama sekali tidak di sana. Ia mengernyitkan alis, bibirnya menegang ketika membayangkan Elesa.
Ia menatap langit yang mulai kemerahan, awan tipis bergerak perlahan. “Mau hujan apa yaa…” gumamnya, suaranya hampir tenggelam oleh desiran angin. Pandangannya kosong tapi hati berdebar; ia paling benci hujan di militaryum karena hawa dingin menusuk tanpa ada selimut yang menutupi tubuhnya. Hanya angin dan panas yang saling bertabrakan, seperti perasaan Rom: grogi, tegang, tapi juga rindu. Dadanya sesak, jantungnya berdegup cepat setiap kali bayangan Elesa muncul di pikirannya, membuat kulitnya merinding.
Tiba-tiba terdengar krekk dari pintu D4 yang terbuka. Mereka berdua menatap sekejap; langkah Elesa yang ringan tapi pasti membuat lantai bergetar pelan. Jantung Rom seperti berhenti sejenak, pandangannya melekat pada sosok yang berdiri di ambang pintu. Mata Elesa terang, penuh fokus, tapi ada cahaya tajam yang membuat Rom merasakan sensasi hangat di perut.
“Eh… Elesa… maksud saya, Bu El,” katanya terbata, wajah memerah, pipinya terasa panas, bibirnya kaku saat mengucapkan kata yang salah. Ada getar halus di suaranya, mencerminkan grogi yang menumpuk sejak sore.
“Cepet, bentar lagi mulaii,” jawab Elesa, suara ringan tapi tegas, penuh wibawa, langkahnya mantap namun anggun. Rom menelan ludah, dada terasa sesak, menahan keinginan untuk menatap lebih lama.
“Oke… Bu Ell…” gumam Rom dalam hati, gemes banget dah, kalau bukan gara-gara pangkat, dia ku panggil dek… atau… nak. Bibirnya menekuk tipis menahan senyum, tapi mata tak bisa lepas dari Elesa, yang kini berjalan masuk, meninggalkan aroma parfum lembut bercampur wangi udara sore di sekeliling Rom.
Mereka melangkah masuk ke ruang D4, pintu berat menutup di belakang mereka dengan bunyi klik yang tegas. Lantai dingin berderit pelan di bawah sepatu Rom, menambah ketegangan yang sudah menempel di tubuhnya. Rom menelan ludah, merasakan denyut jantung yang makin cepat saat melihat Marcno duduk di bagian depan ruangan, wajahnya tegas dan mata menatap lurus ke arah mereka. Dua kursi kosong di sebelah kiri Marcno tampak menunggu, namun pandangan Rom tertahan pada orang-orang Air-Ryum yang sudah duduk rapi di depan, pakaian hitam mereka dipadu logo segitiga dan bintang di kerah, ekspresi mereka dingin, seolah menembus siapa saja yang berani menatap mereka terlalu lama.
Elesa melangkah di depan Rom, anggun tapi tegas. Rom mengikuti, napasnya agak berat, tubuhnya menegang di setiap langkah. Saat mereka sampai di kursi yang tersedia, Elesa duduk di tengah, Marcno di depan, dan Rom di sebelahnya. Duduknya Rom terasa canggung, punggungnya lurus tapi bahu menegang, tangan menggenggam pinggir kursi. Matanya tak lepas dari Elesa; setiap gerakan kecilnya membuat Rom menahan senyum yang nyaris keluar.
Keheningan sejenak memenuhi ruangan, hanya terdengar gesekan kursi dan detak jam dinding. Rom bisa merasakan ketegangan Elesa yang halus, tapi juga ada fokus tajam di matanya—sebuah sinyal agar Rom tetap waspada.
Marcno akhirnya membuka percakapan, suaranya mantap: “Kita sudah tahu masalah mengenai buron mafia kita.”
Elesa langsung menambahkan, tegas dan penuh percaya diri: “Buron mafia memiliki kendaraan udara dan senjata yang tampak ringan. Menurut tentara lapangan pihak kami, Militaryum, penangkapan buron mafia akan lebih mudah jika diperlukan kendaraan udara.”
Ketua Air-Ryum, pria berpakaian hitam dengan ekspresi dingin yang hampir tak tersentuh, menatap mereka satu persatu sebelum berbicara: “Maaf, helikopter untuk masalah yang lebih serius, bukan untuk masalah sepele seperti ini. Keputusan tidak bisa berubah; kami menolak.”
Rom menahan napas, merasa ketegangan di dadanya makin memuncak. Matanya mencari Elesa, menemukan tatapannya yang penuh harap. Ia bisa merasakan beban tanggung jawab dan tekanan sekaligus ada dorongan halus dari keberanian yang Elesa pancarkan.
“Menurut tentara Rom-Solerom, penangkapan musuh tak akan mudah jika hanya menggunakan kendaraan darat saja. Itu valid; musuh punya kendaraan udara,” suara Elesa menegaskan posisinya, tetap tenang tapi menekan argumen lawan.
Marcno menatap mereka dan menenangkan suasana, “Mungkin kita bisa berunding ulang…”
Ketua Air-Ryum tetap geleng kepala, wajahnya tak berubah.
Rom bergumam lirih, hampir tak terdengar, “Sombong…”
Rom tak tahan, menahan ketegangan yang sudah menumpuk sejak awal. Namun rasa frustasinya bercampur rasa nakal membuat lidahnya tak sabar.
“Maaf, saya sebagai tentara, jadi males mau kerja,” ucapnya setengah menyindir, nada suaranya ringan tapi menohok. Semua mata menoleh sekejap, tajam menatap Rom, beberapa alis terangkat karena tak menyangka keberaniannya.
Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, suara makin lantang, setengah mengejek: “Lah gimana, helikopter buat masalah serius? Emang mafia pencuri data masalah sepele? Kita nunggu sampai kode peluncuran nuklir dicuri dulu baru helikopter dipakai?”
Elesa tak bisa menahan diri, tangannya tiba-tiba mencubit pinggang Rom halus, ekspresinya setengah marah, setengah ingin tertawa. Rom menatapnya sambil tersenyum nakal, menambahkan, “Nanti kalau nuklir, udah di langit baru—wusshhhh—helikopter nyusul, gitu pak.” Bibirnya menekuk, mata berbinar, menyiratkan permainan kecil yang hanya bisa dimengerti Elesa.
Ketua Air-Ryum tetap tegas, suaranya dingin menahan gelombang godaan dan ejekan itu: “Tentu tidak. Sebelum kode peluncuran nuklir dicuri, kalian harus tangkap musuh lebih dulu.”
Rom menghela napas, mencoba membalik logika dengan senyum tipis, “Musuh curi kode, tentara datang. Tiba-tiba helikopter datang berpartisipasi, bukan helikopter militer, helikopter musuh… trus mereka kabur, gimana?” Suaranya ringan tapi penuh candaan, sementara hatinya tetap tegang menahan tatapan serius semua pihak.
Elesa, tak mau kalah, mencubit pinggang Rom lebih kuat, menarik senyum nakal di wajahnya menjadi garis ekspresi yang menyindir. Rom menatapnya sekilas, jantungnya berdebar cepat, tapi tetap membalas dengan tatapan menggoda.
Marcno menatap Rom panjang, akhirnya berkata tegas, “Sepertinya Rom harus bertugas. Silahkan.”
Elesa berdiri, menuntun Rom keluar ruangan. Saat pintu berat itu menutup di belakang mereka, mata Elesa melotot, tatapannya menembus Rom, tegas tapi ada permainan di sana. Rom santai membalas dengan tatapan memelas dan senyum nakal, seolah menantang, tapi tetap mengundang rasa penasaran.
Akhirnya Elesa mengalah, menundukkan kepala sebentar, lalu masuk kembali ke ruang rapat. Rom berdiri di luar, dada masih berdebar