"Hai, aku gadis matematika, begitu Sora memanggilku."
Apa perkenalan diriku sudah bagus? Kata Klara, bicara seperti itu akan menarik perhatian.
Yah, selama kalian di sini, aku akan temani waktu membaca kalian dengan menceritakan kehidupanku yang ... yang sepertinya menarik.
Tentang bagaimana duniaku yang tak biasa - yang isinya beragam macam manusia dengan berbagai kelebihan tak masuk akal.
Tentang bagaimana keadaan sekolahku yang dramatis bagai dalam seri drama remaja.
Oh, jangan salah mengira, ini bukan sekedar cerita klise percintaan murid SMA!
Siapa juga yang akan menyangka kekuatan mulia milik laki-laki yang aku temui untuk kedua kalinya, yang mana ternyata orang itu merusak kesan pertamaku saat bertemu dengannya dulu, akan berujung mengancam pendidikan dan masa depanku? Lebih dari itu, mengancam nyawa!
Pokoknya, ini jauh dari yang kalian bayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jvvasawa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26 | EKSEKUSI SANG PEMBUKA (IV)
Harap bijaksana dalam membaca, karya ini hanya lah fiksi belaka, sebagai hiburan, dan tidak untuk ditiru. Cukup ambil pesan yang baik, lalu tinggalkan mudaratnya. Mohon maaf atas segala kekurangan, kecacatan, dan ketidaknyamanan, dan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas segala dukungan; like, vote, comment, share, dan sebagainya, Jwasawa sangat menghargainya! 💛
Selamat menikmati, para jiwa!
…
Zofan tampak menahan jawabannya atas tuntutan keingintahuanku tentang pesan tersirat yang disembunyikan dalam kertas itu, gerak matanya tipis-tipis mengawasi sosok pelayan yang sedang memastikan dan mencentang ketersediaan menu pesananku.
Dia benar-benar menunggu sampai pelayan tersebut pergi meninggalkan meja, baru lah kemudian netranya beralih tertuju padaku.
Tubuhnya duduk tegap, dengan raut serius ia melanjutkan pembicaraan, “isinya semacam tabel kode, Nat. Ternyata, soal-soal yang kau selesaikan ini hanya susunan abjad, dari A sampai Z.”
Punggung tanganku menyangga dagu, tertarik dengan keterangan dari Zofan. Rasa penasaran turut berperan, “jadi, kode-kode biner itu bukan berisi pesan dan surat rahasia?”
“Bukan, tapi kurasa kertas yang ini sengaja dibuat untuk jadi pedoman supaya bisa membaca pesan-pesan yang sepertinya baru akan kita jumpai di kertas yang lain.”
Aku mengangguk mengerti. “Kenapa mereka harus rangkai melalui kode biner dulu? Kan bisa saja dibuat dari soal perhitungan, langsung ke hasil yang bentuknya abjad. Entah melalui bentuk aljabar atau bentuk lainnya.”
“… atau, dari angka yang bisa langsung dikonversi menjadi huruf abjad. Misalnya, seperti, hm … angka 1 secara tak langsung bisa dianggap sebagai A, lalu angka 2 sebagai B, yang berarti angka 3 sebagai C, dan begitu seterusnya,” lanjutku menyampaikan keherananku, sekaligus pendapat entah untuk siapa.
Kedua tangan Zofan menyilang di dada saat mendengar komentarku tentang isi kertas ini, bibirnya diapit rapat-rapat. “Ayo lah, Natarin, itu terlalu mudah. Orang bisa langsung menyimpulkan dan membacanya.”
“Tapi kalau dibuat begini, kan, jadi repot.”
“Ya, itu tujuannya. Kalau tidak, untuk apa pesan dalam kertas-kertas ini dirahasiakan?”
∞
“Ekhem, jadi begini, Natarin …,” Zofan berdeham sebelum mulutnya kembali terbuka, tapi ada yang membuat dongkol dari gayanya itu; seringaiannya. Dia tersenyum menyeringai, berlagak seakan-akan dia lah orang terhebat di dunia.
Dan aksinya itu diperjelas dengan omongan yang sekarang lolos dari mulutnya, “… aku bukannya mau pamer atau menyombongkan diri, ya, tapi … walau masih muda, aku ini termasuk salah satu yang paling berpotensi dari banyaknya ahli bahasa. Maksudku, meski mungkin aku bukan satu-satunya yang memiliki kekuatan menguasai berbagai bahasa, tapi banyak dari golonganku yang menyerah begitu saja dengan berbagai alasan, salah satunya malas karena harus mengikuti prosedur sedemikian rupa.”
“Itu yang membuat ahli bahasa berlevel tinggi menjadi langka, jarang terlihat dan jarang muncul ke permukaan—”
“Langsung ke intinya saja, Zofan. Aku malas mendengar yang bertele-tele,” dan malas mendengar si mulut remix mengagung-agungkan dirinya sendiri – jadi kupotong saja omongannya. Toh, aku sudah lebih dulu sampaikan di awal, kok, bahwa belum banyak ahli bahasa yang mencapai level setinggi kau, Zofan.
Semua orang juga tahu, kalau Zofan berada di level yang sudah lumayan tinggi untuk golongannya.
“Kenapa, sih, tak biarkan aku senang sedikit?!” komplain si mulut remix, dan aku mengetuk ujung telunjuk pada kaca arlojiku, menyiratkan bahwa kita perlu mengejar waktu.
Tentu saja itu bukan alasan utama, memang akunya saja yang ogah mendengar pujian berlebihannya terhadap diri sendiri.
“Huh, intinya isi kertas ini pasti sengaja dibuat sedemikian membingungkan dan berbelit, bahkan sampai melibatkan perhitungan, karena mereka tahu, tak banyak ahli bahasa yang akan rela membuang waktu demi mempelajari dan mengulik isi yang belum tentu ada manfaatnya ini.”
“Dan kau melakukannya.”
“Karena aku berbeda dari mereka.”
“Bahkan menyeret orang lain!” Tak tanggung-tanggung aku menyahut.
Seketika Zofan berdecak. Dia gulung kembali kertas pertama, lalu diikatnya gulungan kertas itu tanpa lupa membalas sahutanku, “karena kekuatanmu dibutuhkan!”
“Itu lah alasan lain kenapa sebagian besar ahli bahasa maju-mundur untuk memperdalam kemampuan mereka, karena terkadang kami butuh peran para ahli dari golongan lain untuk bisa memulai,” tegasnya.
Baru kali ini aku dengar ada yang seperti itu, pantas saja kebanyakan dari mereka menjadi malas, dan aku pun pasti berakhir sama seandainya ada di golongan mereka. Baiklah, pengetahuanku bertambah.
Setelah sempat menjeda, Zofan menyempurnakan kalimatnya, “tak semua orang secara sukarela akan bersedia membantu, kan?”
Lantas kubalas dengan mantap, “tentu saja! Termasuk aku.”
Memang benar yang dia katakan. Kalau bukan karena Sora yang membantunya membujukku, mungkin aku juga tak akan setuju sampai detik ini, sekalipun dia sudah memohon-mohon.
“Ya, makanya aku susah payah sekali mau mempelajari kertas ini. Butuh waktu hampir satu tahun sampai aku bisa dapat waktu yang tepat untuk minta tolong padamu.”
Hampir satu tahun? Maksudnya, dia sudah punya rencana minta tolong padaku sejak kelas 11?
“Kenapa baru sekarang?”
Bukannya mendapat jawaban, Zofan malah menyuruhku berpikir sendiri. Selain itu, dia juga menyuruhku menanyakan hal itu ke diriku sendiri, dan bagiku intonasinya terdengar seperti sindiran!
“Loh, kenapa jadi aku? Memangnya aku berbuat apa, sampai kau bisa bilang begitu padaku?”
Jelas aku tak terima, aku saja tak tahu apa-apa soal dia. Zofan bahkan tak pernah terlihat mendekatiku sebelum semua ini terjadi.
“Kau itu ibarat Tembok Cina.”
Pengakuannya membuatku spontan tertawa. Benar-benar bermulut remix, ada saja yang keluar dari mulutnya itu. Tak ada angin, tak ada badai, tiba-tiba dia menyebut Tembok Cina?
“Bagian mananya yang membuatku disamakan dengan Tembok Cina?”
“Kau itu jauh dan tebal. Kau tahu maksudku? Aku harus berputar-putar dulu untuk bisa mengobrol denganmu. Kau itu – selalu judes pada laki-laki.”
“Memangnya kau pernah coba? Sora saja bisa, kok, santai denganku?”
“Cih, itu karena dia membuat jalan pintas. Tapi, santai, katamu? Kau tak ingat bagaimana kau bicara dengannya di awal-awal pertemuan kalian? Kau juga sempat adu mulut dengannya, kan?”
Bisa-bisanya dia ingat momen saat mereka datang ke kelasku di hari pertama kepindahan Sora. Tapi, benar juga! Waktu itu, kan, ada Zofan di sana.
“Itu karena ada kau yang memancing emosiku, jadinya menyambar pada Sora.”
Selagi ada kesempatan, kujadikan saja dia kambing hitam. Tak sepenuhnya salah yang kukatakan, faktanya memang dia yang lebih dulu menyulut amarahku pada waktu itu. Beradu mulut dengan omong kosongnya yang sok asik.
“Dan apa kau lupa? Kau juga tak pernah bicara dengan tenang dan baik-baik padaku. Kau hanya mengganggu dan mengajakku bertengkar,” sambungku, kukuh membela diri.
“Kalau tidak seperti itu, kau akan mengabaikanku.”
Beribu alasan dikeluarkannya, padahal sampai saat ini pun dia masih suka mengajakku bertengkar.
∞
“Sudah lah, tak akan pernah ada ujungnya kalau bicara denganmu.”
Kita akhiri saja perdebatan panjang ini, tenagaku benar-benar sudah di bawah garis. Memang benar, aku tipe yang tak mau kalah, tapi bagaimanapun juga, semua ada batasnya, ada titik jenuhnya.
Aku ini hanya ahli kalkulasi, bukan ahli bicara yang akan sanggup berdebat sepanjang malam sampai mulut berbuih, terlebih dengan kondisi tak bertenaga.
“Berarti tugasku sudah selesai sampai di sini, kan?” Kualihkan topik pembicaraan.
Sepertinya Zofan sama jenuhnya denganku, terlihat dari cara dia yang menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya panjang sebelum menjawab pertanyaanku – sudah seperti peserta olimpiade yang sedang menjalani lomba saja.
“Bisa jadi iya, bisa jadi tidak. Tergantung isi gulungan kertas yang kedua. Kita lihat dulu bagaimana kertas yang satunya.” Begitu lah jawaban Zofan setelah melakukan ritual pernapasannya.
“Oke,” mata lelahku menyorot arloji di tangan, “cepat buka gulungan kertas kedua. Kita hampir setengah jam berdebat, sementara jam sembilan aku harus sudah sampai di rumah. Aku juga belum kerjakan tugas Bahasa Inggris.”
“Tenang saja, nanti biar aku yang kerjakan tugasmu. Tinggal kau beritahu tugasnya di halaman berapa, nanti kukirimkan jawabannya.”
“Sekalian dengan tugas Bahasa Indonesia?”
“Baiklah.”
Giliran netraku yang berbinar – untuk pertama kalinya aku mendengar kalimat yang begitu membahagiakan keluar dari mulut remix itu. Akhirnya ada sebuah keuntungan! Ini lah yang dinamakan mutualisme!
Sebisa mungkin kukunci lengkung bibirku yang bersikeras memahat senyum. Wah, malam ini aku punya waktu lebih banyak untuk istirahat tanpa harus mengerjakan tugas sekolah terlebih dahulu.
Tanpa berlama-lama lagi, Zofan membentang lebar-lebar lembar kertas kedua dari gulungannya, menghadapkannya langsung kepadaku.
...
Bersambung