Albar tak bisa terpisahkan dengan Icha. Karena baginya, gadis itu adalah sumber wifinya.
"Di zaman modern ini, nggak ada manusia yang bisa hidup tanpa wifi. Jadi begitulah hubungan kita!" Albar.
"Gila ya lo! Pergi sana!" Icha.
Icha berusaha keras menghindar Albar yang tak pernah menyerah mengejar cintanya. Bagaimana kelanjutan cerita mereka?
*Update setiap hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Auraliv, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 - Sinyal Terbuka
Pagi hari di penginapan, suasana awalnya cerah. Siswa-siswi sibuk sarapan sambil bercanda, membicarakan agenda hari kedua studi tur.
Icha duduk di meja bersama Dinda, menikmati roti bakar dan teh hangat. Albar di meja sebelah bersama Rio. Mereka tidak saling bicara, tapi sesekali mencuri pandang seperti biasa.
Sampai tiba-tiba terdengar riuh dari sudut ruangan. Beberapa siswa berkumpul sambil memegang ponsel, tertawa-tawa dan bersuara heboh.
“Eh, liat nih! Liat nih!” seru salah satu siswa.
“Gila, ini beneran?” sahut yang lain.
Icha dan Albar saling melirik. Dinda yang penasaran berjalan mendekat, lalu kembali dengan wajah kaget. “Cha… kayaknya lo mesti liat ini.”
Di layar ponsel Dinda, terlihat video singkat. Rekaman dari bagian belakang toko oleh-oleh kemarin, momen ketika Albar memberi cokelat pada Icha. Meski tidak ada kata-kata mesra, gestur mereka jelas seperti pasangan.
Suara-suara siswa mulai terdengar:
“Pantesan deket mulu!”
“Wih, diem-diem pacaran!”
“Eh, mereka nggak malu ya?”
Icha merasakan wajahnya memanas. Ia tahu ini pasti ulah Reina. Dan benar saja, di sudut ruangan, Reina duduk sambil pura-pura sibuk memeriksa ponselnya, tapi bibirnya melengkung membentuk senyum tipis.
Albar bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah Icha. Ia berdiri di depan semua siswa, menatap Icha dengan tatapan yang sama sekali tidak terkejut.
“Cha, kayaknya sinyal kita udah kebuka nih,” katanya santai, dengan nada bercanda.
Beberapa siswa langsung tertawa, ada yang bersiul menggoda. Icha ingin menunduk, tapi Albar justru duduk di sampingnya. “Kita mau ngaku sekarang, atau tunggu sampai mereka bikin teori konspirasi?”
Icha mendesah. “Lo nggak malu?”
“Ya malu sih… tapi lebih malu kalo pura-pura nggak kenal lo,” jawabnya sambil tersenyum.
Saat guru pembimbing datang, keributan itu belum mereda. Guru menatap mereka dengan alis terangkat.
“Albar, Icha… ini apa maksudnya?” tanya Bu Retno.
Albar mengangkat tangan. “Bu, saya dan Icha memang dekat. Dan kalau pun ini dianggap hubungan khusus… ya, kami minta maaf kalau mengganggu suasana studi tur. Tapi kami nggak melakukan hal yang melanggar aturan.”
Icha hanya mengangguk pelan, meski jantungnya berdegup kencang.
Bu Retno menghela napas. “Baiklah. Saya tidak melarang kalian berteman atau bahkan berpacaran, tapi ingat… kalian di sini untuk belajar dan menjaga nama baik sekolah. Jangan sampai ada kelakuan yang merugikan kalian sendiri.”
Murid-murid lain langsung heboh lagi, tapi kali ini lebih ke arah menggoda. “Icha… Albar… kalau nikah undang-undang ya!”
“Eh, pasangan wifi!”
Icha dan Albar saling pandang, lalu tertawa kecil. Meski malu, mereka lega.
Saat rombongan melanjutkan perjalanan, Icha duduk di sebelah Albar di bus, untuk pertama kalinya tanpa harus sembunyi-sembunyi.
“Lo nggak takut makin banyak yang ngomongin kita?” tanya Icha pelan.
“Cha, gue dari dulu udah ngomong. Gue butuh sinyal wifi buat hidup. Dan sekarang semua orang udah tau sumber sinyal gue siapa. Jadi gue malah lebih tenang,” jawab Albar sambil nyengir.
Icha memutar mata, tapi tidak bisa menahan senyum. “Lo tuh… bikin gue pusing.”
“Bagus. Pusing itu tanda sinyal kuat,” balas Albar, membuat Icha menepuk dahinya sendiri.
Sementara itu, di kursi belakang, Reina memandangi mereka dengan raut wajah kesal. Tujuannya untuk membuat hubungan mereka retak malah berbalik menjadi pengakuan terbuka.
Rio yang duduk di sebelah Reina sempat melirik dan berkomentar, “Lo kelihatan kecewa, Reina.”
Reina mendengus. “Gue cuma nggak nyangka mereka segampang itu ngaku. Kirain bakal ribut atau diem-dieman.”
Rio mengangguk santai. “Yah, kalo sinyalnya kuat, gangguan sekecil itu nggak bakal bikin putus.”
Reina menatap keluar jendela, menahan rasa tidak puas. Sementara di depan, Albar dan Icha sedang membicarakan rencana foto berdua di taman bunga nanti.
Mereka tahu gosip akan beredar lama, tapi untuk saat ini, duduk berdampingan tanpa rasa takut saja sudah terasa seperti kemenangan.