Nico Melviano, dia merasa dirinya pria bodoh membuang waktu bertahun-tahun menunggu cinta berbalas. Tapi ternyata salah, wanita itu tidak pantas untuk ditunggu.
Cut Sucita Yasmin, gadis Aceh berdarah Arab. Hanya bisa menangis pilu saat calon suaminya membatalkan pernikahan yang akan digelar 2 minggu lagi hanya karena dirinya cacat, karena insiden tertabrak saat di Medan. Sucita memilih meninggalkan Banda Aceh karena selalu terbayang kenangan manis bersama kekasih yang berakhir patah hati.
Takdir mempertemukan Nico dengan Suci dan mengikat keduanya dalam sebuah akad nikah. Untuk sementara, pernikahannya terpaksa disembunyikan karena cinta keduanya terhalang oleh obsesi seorang perempuan yang menginginkan Nico.
Bagaimana perjalanan rumah tangga keduanya yang juga mengalami berbagai ujian? Cus lanjut baca.
Cover by Pinterest
Edit by Me
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cara Halus (2)
Ponsel Nico berdering saat dirinya sedang memasukkan pakaian ke dalam koper. Ia baru sempat packing pagi ini karena tadi malam berada di apartemen Malik sampai larut.
"Kamu harus temani aku ke Banda Aceh!" Begitu pembicaran inti tadi malam itu. Malik hanya bisa mengangkat bahu menerima perintah itu, ia akan ikut demi kelancaran misi sahabatnya itu.
Nico meraih ponsel yang terus saja berdering;
"Hallo bro,--"
"Nico, aku sudah siap." suara Malik di sebrang mengabarkan dirinya sudah siap berangkat.
"Oke. Aku kesana sekarang. Kamu tunggu di lobby !" Nico mengakhiri teleponnya. Ia bergegas turun sambil menenteng kopernya. Dengan diantar sopir Ayah Hendro, Nico berangkat menuju apartemen Malik untuk kemudian menuju bandara Soeta.
"Rasanya sudah langka pria jaman sekarang bersikap seperti kamu. Ayah bangga padamu!"
Kata-kata Ayah Hendro masih terngiang di telinga Nico saat tadi pamit. Ayah menepuk bahunya tanda dukungan, Bunda pun turut mendoakan kelancaran urusannya.
Nico memejamkan matanya setelah duduk di kursi pesawat, bersisian dengan Malik. Penerbangan menuju Banda Aceh akan ditempuh tiga jam kurang 5 menit. Ia bisa memanfaatkan waktu untuk tidur karena semalam hanya tidur 4 jam saja.
Pukul 10 pesawat landing di bandara Sultan Iskandar Muda. Dengan langkah lebar penuh semangat, kedua pria cool berkacamata hitam itu berjalan menuju area penjemputan dimana taksi online sudah menunggunya.
"Kita langsung ke alamat atau ke hotel dulu?" tanya Malik yang tidak tahu kalau Nico sudah memesan taksi melalui aplikasi.
"Kita istirahat dulu di hotel biar fresh," sahut Nico.
****
Masih dengan semangat dan enerjiknya, Suci menyapa teman-teman staf marketing yang dilaluinya. Ia kini sudah terbiasa dengan panggilan 'Bu Secan' yang disematkan padanya dan hanya membalasnya dengan seulas senyum manis.
"Mas Nico kopinya,---" Suci tercenung saat membuka pintu ruangan Nico. Nico memang membebaskan Suci untuk masuk ke ruangannya tanpa harus mengetuk pintu.
"Astagfirullah, aku lupa kalau hari ini Mas Nico gak masuk,---" Suci melangkah duduk di kursi sepan meja kerja Nico. Meja kerjanya tampak bersih dan beberapa berkas tersusun rapih di sisi kiri meja.
Suci memyimpan gelas kopi di tengah meja, lalu iseng memotretnya. Dengan lincah, kedua jempolnya mengetikkan caption untuk foto secangkir kopi yang ia pajang di status.
"Kopi Tak bertuan"
Baru pertama kali ini, Suci leluasa mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan bossnya itu. Paduan warna biru putih yang mengisyaratkan tema semangat dan produktivitas pemiliknya. Suci meraih pigura kecil yang terdapat di meja, menampilkan potret keluarga dengan dua anak yang masih remaja kisaran usia SMP. "Ini pasti orangtua, Mas Nico dan kakaknya,--" Suci bergumam sendiri sambil tersenyum menatap Nico remaja yang sudah terlihat bibit ketampanannya itu.
Ia lalu melangkah menuju jendela, memandang suasana ibukota yang padat dengan gedung-gedung tinggi. "Hm, kok aku merasa kehilangan ya," ujar Suci sambil tercenung.
Huft, Suci kamu harus semangat! Jangan sampai Mas Nico kecewa lihat kinerjamu." Suci memotivasi dirinya, perlahan pintu ruangan Nico ditutupnya kembali. Dan kopi pun dibawanya kembali. Ia akan memberikannya pada Bayu.
****
Ternyata tidak sulit mencari tempat tinggal Umi Afifah. Sesampainya di Syiah Kuala, hanya bertanya pada satu orang yang ditemuinya di jalan, Nico mengarahkan mobil yang disewanya ke sebuah rumah sederhana tapi kokoh dengan halamannya yang luas tanpa pagar.
"Wah bagus sekali pemandangannya. Gue bisa betah tinggal disini,---" Malik meregangkan tubuhnya saat baru turun dari mobil. Nico pun melakukan hal yang sama. Hamparan sawah yang sedang menghijau sungguh memanjakan sejauh mata memandang.
"Wuihh ada lapang bola!" seru Nico tampak senang melihat lapangan bola berumput hijau di samping rumah Umi Afifah, tempat bermain anak-anak jika sore menjelang.
Nico mengetuk pintu rumah yang tampak sepi. Ini jam 2 siang, mungkin orang-orang masih bekerja atau istirahat tidur siang. Tapi ceklek suara kunci terdengar, dan pintu pun terbuka setengahnya. Seorang perempuan manis berdiri terpaku di ambang pintu menatap dua orang asing yang baru dilihatnya.
"Assalamualaikum,---" Nico berucap salam. Tapi perempuan bernama Rahma itu hanya melongo, seperti terhipnotis melihat dua cowok keren di depannya itu.
"Hei mbak....hellow,---" Malik mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Rahma yang masih melongo.
"Eh iya-ya,---" Rahma menjadi gelagapan setelah dirinya tersadar. "Maaf, mau ketemu siapa ya?" Rahma menatap Nico dan Malik penuh selidik.
"Kami dari Jakarta mbak, mau bertemu dengan Umi Afifah," ujar Nico dengan sopan.
"Hm, tunggu sebentar ya, saya beritahu Umi dulu." Tanpa menunggu jawaban sang tamu, Rahma menutup pintu dan menguncinya lagi. Bagaimanapun mereka adalah tamu asing, Rahma merasa dirinya harus waspada karena sekarang banyak modus kejahatan berkedok tamu.
Kini, Nico dan Malik duduk di ruang tamu. Umi mempersilahkan masuk setelah yakin dua pemuda yang dilihatnya itu bertampang baik. Ada sedikit ketegangan di wajah Nico saat dirinya ditatap oleh tuan rumah, seperti sedang disidang. Ada Umi, Pak Badru yang dikenalkan Umi sebagai adiknya, juga Rahma anak Pak Badru sekaligus adik sepupu Suci.
Nico menarik nafas dan membuang perlahan sebelum dirinya berbicara. "Ibu Afifah, perkenalkan saya Nico dan ini Malik sahabat saya. Kami dari Jakarta,---" Nico menjeda dengan kembali menarik nafas sejenak.
"Panggil Umi saja nak Nico, biar lebih akrab,---" ujar Umi dengan tersenyum. Ia melihat gurat ketegangan di wajah tamunya itu. Makanya Umi mencoba membuat suasana menjadi rileks.
Nico hanya mengangguk dengan sopan. "Saya bekerja di tempat yang sama dengan Candra maupun Suci. Dan saya menyukai Sucita, putri Umi. Jadi, maksud kedatangan ke sini, saya mau minta ijin pada Umi." Nico tidak mengatakan kalau dirinya anak pemilik perusahaan. Ia juga ingin menguji bagaimana penerimaan keluarganya jika dirinya hanya sebagai pegawai biasa.
"Maksudnya mau melamar Suci?" kening Umi berkerut, merasa belum jelas dengan maksud Nico.
Nico menggelengkan kepalanya, "Bukan Umi, eh maksud saya belum. Suci belum tahu kalau saya menyukainya. Saya ingin mengantongi ijin dulu dari Ibunya sebelum saya mengutarakan perasaan kepada Suci."
Hening.
Nico yang tadi berbicara dengan tegak bertatap muka, kini menunduk menunggu jawaban Umi yang masih diam memandangnya.
"Berapa usiamu?"
"27 tahun, Umi."
"Apa yang bisa kamu berikan untuk membahagiakan Suci? Karena ia putri yang sangat Umi sayangi." Umi menatap tajam Nico yang tampak sedikit terkejut mendengar pertanyaannya.
"Saya punya pekerjaan tetap juga tabungan, Umi. InsyaAllah kalau sudah menikan saya bisa membelikannya rumah. Saya janji akan membuat putri Umi bahagia!" Jawab nico dengan sungguh-sungguh.
Umi tersenyum tipis mendengar jawaban meyakinkan dari tamunya itu. "Umi tidak menanyakan berapa banyak hartamu untuk membahagiaan putri Umi. Umi menginginkan Suci mendapatkan imam yang baik, yang mau hidup sejalan dalam tuntunan agama agar meraih kebahagian dunia akhirat."
"Jujur Umi, ilmu agama saya sangatlah dangkal. Tapi saya akan belajar terus, saya akan berusaha menjadi imam yang baik," sahut Nico dengan tatapan penuh kesungguhan.
"Baiklah nak Nico, ada syarat yang harus kamu penuhi dulu. Jika kamu berhasil, Umi akan meridhoi kamu mendekati Suci."
"Syaratnya apa Umi?" Nico menautkan kedua alisnya, dadanya mulai berdebar kencang saat tiba-tiba terlintas syaratnya akan berat.
"Syaratnya, Umi ingin mendengar kamu mengaji!"
Glek
Nico menelan salivanya. Tiba-tiba tenggorokannya menjadi kering dan tubuhnya panas dingin. "Apakah bisa syaratnya diganti dengan lari keliling lapangan bola atau yang lainnya Umi,---?" tapi itu hanya penawaran dalam hatinya, tidak berani diutarakan.
Malik yang dari tadi hanya jadi pendengar, kini menatap Nico. Tangannya menyentuh bahu Nico yang duduk di sisinya. Malik menganggukkan kepalanya dan tangannya mencengkram bahu Nico sebagai tanda ia memberi semangat bahwa kamu pasti bisa.
Cocok sih...pengusaha emas dan pengusaha hotel 😍