Cerita ini mengisahkan perjalanan lima teman—Aku, Danang, Rudi, Indra, dan Fandi—yang memutuskan mendaki Gunung Lawu. Namun, perjalanan mereka penuh ketegangan dan perdebatan sejak awal. Ketika mereka tiba di pasar aneh yang tampaknya terhubung dengan dimensi lain, mereka terperangkap dalam siklus yang tidak ada ujungnya.
Pasar Setan itu penuh dengan arwah-arwah yang terperangkap, dan mereka dipaksa untuk membuat pilihan mengerikan: memilih siapa yang harus tinggal agar yang lainnya bisa keluar. Ketegangan semakin meningkat, dan mereka terjebak dalam dilema yang menakutkan. Arwah-arwah yang telah menyerah pada pasar itu mulai menghantui mereka, dan mereka semakin merasa terperangkap dalam dunia yang tidak bisa dijelaskan. Setelah berjuang untuk melarikan diri, mereka akhirnya sadar bahwa pasar setan itu tidak akan pernah meninggalkan mereka.
Keputusasaan semakin menguasai mereka, dan akhirnya mereka harus menerima kenyataan bahwa mereka ternyata tidak pernah keluar dari pasar setan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pradicta Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tanda-Tanda Aneh
Setiap malam, seolah tidak ada tempat yang bisa menyembunyikan kami dari ketakutan ini. Kami merasa terperangkap dalam mimpi buruk yang tak berujung. Meskipun dunia di sekitar kami tampak seperti dunia yang biasa, seolah semuanya berjalan normal, di dalam diri kami, kami tahu sesuatu yang lebih gelap sedang mengintai.
Hari-hari setelah kami kembali dari pasar setan itu terasa hampa, kosong. Kami mencoba melanjutkan hidup seperti biasa, tetapi rasa takut itu tidak pernah hilang. Setiap kali aku menutup mata, bayangan pasar setan itu hadir, membawa aku kembali ke sana. Setiap kali aku berjalan sendirian, aku merasa ada sesuatu yang mengikuti, seperti bayangan yang tidak pernah bisa aku lepaskan.
Malam itu, aku merasa ada yang berbeda. Setelah semua yang kami alami, aku masih berharap kami bisa melupakan pasar itu. Tapi kenyataan berkata lain. Di kamar tidurku, sesuatu yang aneh terjadi. Aku sedang duduk, memandang langit-langit, berusaha untuk tidur, tetapi tetap saja gelisah. Mataku tertuju pada lantai. Di sana, tergeletak sesuatu yang sangat familiar—cincin itu.
Aku teringat dengan jelas, cincin yang kami temukan di pasar setan. Cincin itu memiliki desain yang sederhana, tetapi entah mengapa, ketika aku melihatnya, ada ketakutan yang langsung muncul. Aku mendekat, memeriksa lebih dekat. Itu benar-benar cincin yang sama. Bagaimana bisa cincin itu ada di sini? Aku merasa seperti kembali ke pasar itu, entah bagaimana cincin itu bisa berada di tempat yang jauh dari sana. Perasaan itu datang begitu kuat, dan aku merasa tubuhku kaku, tak bisa bergerak.
Aku memanggil Rudi, berharap dia bisa memberi penjelasan. Rudi datang dengan wajah lelah, matanya yang selalu tampak mengantuk, sekarang dipenuhi ketakutan yang sama. Ketika dia melihat cincin itu, wajahnya langsung berubah pucat.
“Itu… itu cincin yang kita temukan di pasar,” katanya pelan, suara yang nyaris tak terdengar. “Bagaimana bisa itu ada di sini?”
Aku tak tahu harus berkata apa. Cincin itu hanya muncul begitu saja, tergeletak di lantai, seolah pasar setan itu belum benar-benar meninggalkan kami. Aku merasa seperti terjebak dalam lingkaran yang tak ada ujungnya, seperti ada sesuatu yang terus menarik kami kembali ke sana, ke tempat yang penuh dengan kegelapan dan ketakutan.
Di malam yang sama, Indra mulai merasakan keanehan lainnya. Saat dia berjalan pulang dari luar, dia mendengar suara langkah kaki yang mengikuti jejaknya. Indra berhenti, menoleh ke belakang, namun tak ada siapa pun. Hanya angin yang berhembus pelan, dan suasana malam yang sunyi. Tetapi suara langkah kaki itu terus mengikuti, seperti bayangan yang tidak tampak oleh mata, tetapi sangat nyata di telinganya.
Indra menceritakan pengalamannya saat kami berkumpul di ruang tamu. “Gue gak tahu kenapa, tapi setiap kali gue jalan, rasanya ada yang mengikuti gue. Langkah kaki berat… Tapi pas gue lihat, gak ada siapa-siapa. Gue takut, guys, karena ini gak biasa,” katanya dengan suara gemetar, matanya yang biasanya penuh semangat sekarang dipenuhi keresahan.
Danang, yang biasanya lebih pendiam, juga mulai merasakan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. “Gue juga ngerasain hal yang aneh,” katanya pelan, suaranya nyaris tak terdengar. “Setiap kali gue lewat dari tempat yang sepi, gue ngerasa kayak ada tangan yang menyentuh bahu gue. Gue belok, ngeliat belakang, gak ada siapa-siapa. Rasanya aneh, gila. Gue gak tahu harus gimana.”
Kami semua terdiam, saling memandang dengan cemas. Ada yang aneh, sangat aneh. Tanda-tanda ini bukan kebetulan. Setiap perasaan takut yang kami alami semakin nyata, semakin kuat. Pasar setan itu, dengan segala keangkerannya, belum benar-benar pergi. Kami mulai menyadari satu hal—kami masih terperangkap dalam sesuatu yang lebih besar, lebih gelap dari yang kami bayangkan.
“Apa kita masih terjebak?” tanya Indra, suara pelan, namun penuh dengan ketakutan yang mendalam. “Apa yang kita alami di pasar itu bener-bener nyata, atau kita cuma terjebak dalam mimpi buruk yang nggak bisa kita lepasin?”
Aku tak bisa menjawab pertanyaannya. Aku hanya bisa mengangguk pelan, karena aku merasakannya juga. Setiap kali aku menutup mata, aku bisa mendengar suara tawa itu lagi, suara yang menggelikan namun sangat menakutkan. Setiap kali aku berbalik, bayangan pria tua itu muncul di hadapanku, matanya yang kosong menatapku dengan senyum yang mengerikan. Rasanya dia selalu ada, menunggu saat kami kembali. Kami tak pernah benar-benar bebas.
Kami semua merasa terperangkap dalam bayangan itu. Seperti ada kekuatan yang menarik kami kembali ke pasar setan itu. Bahkan ketika kami mencoba untuk hidup normal, perasaan itu terus mengintai. Cincin itu, langkah kaki yang tak terlihat, tangan yang menyentuh bahu—semuanya adalah tanda bahwa pasar itu masih mengikat kami.
Rudi yang terlihat semakin lelah akhirnya berkata dengan suara yang berat, “Mungkin kita gak bisa terus begini. Kita harus cari tahu kenapa pasar itu masih terus mengikutinya. Kalau nggak, kita nggak akan pernah bebas.”
Kami semua terdiam. Kata-kata Rudi seperti membuka mata kami. Kami tak bisa terus hidup dalam ketakutan. Kami harus melakukan sesuatu, apapun itu. Kami tidak bisa selamanya terjebak dalam perasaan hampa dan ketakutan yang terus menggerogoti jiwa kami.
Namun, keinginan untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi justru membawa kami pada keputusan yang lebih sulit. Kami tahu, kami harus kembali ke sana. Kami harus kembali ke pasar setan itu, untuk mencari jawaban dan untuk mengetahui apakah ada jalan keluar yang benar-benar bisa membebaskan kami.
Indra yang tampaknya paling ragu menambahkan, “Kita tahu betapa mengerikan pasar itu. Tapi, jika ini terus berlanjut, kita nggak akan bisa hidup dengan tenang. Kita harus mencari cara untuk mengakhirinya.”
Kami semua saling memandang, wajah kami penuh ketegangan dan kecemasan. Kami telah mencoba untuk melanjutkan hidup, tetapi setiap langkah kami seolah selalu kembali ke pasar itu. Kami mulai merasa bahwa hanya ada satu jalan untuk keluar—kembali ke sana dan mencoba menyelesaikan apa yang belum selesai.
Tapi, meskipun kami tahu ini adalah keputusan yang berbahaya, kami tidak bisa terus hidup dalam ketakutan ini. Kami harus berani menghadapi kenyataan, menghadapi pasar setan itu sekali lagi, dan mencari cara untuk memutuskan ikatan yang mengikat kami.
Saat kami memutuskan untuk kembali, perasaan cemas itu semakin menguat. Kami tahu bahwa apa yang akan kami hadapi kali ini bisa lebih mengerikan dari sebelumnya. Namun, kami tak bisa lagi mundur. Kami sudah terperangkap, dan hanya dengan menghadapi ketakutan itu kami bisa mendapatkan jawaban.
Dengan langkah yang berat, kami menyiapkan diri untuk perjalanan yang penuh ketidakpastian. Kami tahu, kami tidak bisa lagi melarikan diri. Pasar setan itu mungkin belum selesai dengan kami, tapi kami bertekad untuk menghadapinya, untuk mencari jalan keluar yang kami inginkan.
Tapi satu hal yang pasti—pasar itu belum selesai dengan kami.