NovelToon NovelToon
Isekai To Zombie Game?!

Isekai To Zombie Game?!

Status: sedang berlangsung
Genre:Zombie / Fantasi Isekai / Game / Misteri
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: Jaehan

Mirai adalah ID game Rea yang seorang budak korporat perusahaan. Di tengah stress akan pekerjaan, bermain game merupakan hiburan termurah. Semua game ia jajal, dan menyukai jenis MMORPG. Khayalannya adalah bisa isekai ke dunia game yang fantastis. Tapi sayangnya, dari sekian deret game menakjubkan di ponselnya, ia justru terpanggil ke game yang jauh dari harapannya.
Jatuh dalam dunia yang runtuh, kacau dan penuh zombie. Apocalypse. Game misterius yang menuntun bertemu cinta, pengkhianatan dan menjadi saksi atas hilangnya naruni manusia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jaehan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Terpisah

Part 26

Malam sebelum hari keberangkatan, mereka sempat saling menatap lama di kamar sempit motel itu. Ada keinginan untuk melepaskan segala beban dalam dekapan, untuk sesaat mengabaikan dunia yang runtuh di luar sana. Tapi keduanya tahu, esok adalah hari penting. Kelelahan dan kewaspadaan mengalahkan hasrat yang tumbuh diam-diam di antara mereka. Alih-alih bercinta, mereka berbaring dalam pelukan hangat, membiarkan napas mereka menyatu perlahan dalam hening. "Kita butuh tenaga penuh besok," kata Nero pelan, dan Mirai mengangguk. Malam itu, cinta mereka tidak meledak dalam gairah, tapi menguat dalam ketenangan.

Paginya Mirai duduk bersila di lantai, punggungnya bersandar pada ranjang. Ia lebih dulu mandi, sebelum Nero. Kini rambutnya setengah basah dengan handuk kecil yang masih menggantung di leher. Botol sunscreen yang baru saja ia temukan kini berada di pangkuan. Matanya yang cantik menatap bias cahaya di balik tirai jendela berwarna putih.

Tak lama, Nero yang baru selesai mandi duduk di tepi kasur tepat di belakang Mirai. Gadis itu sedikit tersentak namun membiarkannya ketika Nero mengambil handuk di lehernya dan membantu mengeringkan rambut panjangnya. Satu tangannya memegang sisir yang sempat diambil dari meja rias.

Handuk itu menyapu lembut seolah takut sedikit sentakan bisa mematahkannya. Tentu tindakan itu menciptakan senyum tipis di bibir Mirai. Tanpa banyak bicara, Nero mulai menyisirnya perlahan.

"Kusut ya?" tanya Mirai rendah.

"Enggak. Rambutnya lembut, jadi gampang di sisir.” Wangi sampo motel terendus lembut di ujung hidung, memberi sensasi tenang yang menyenangkan. Andai mereka tidak bertemu di dunia segila ini, apa yang terjadi hari ini akan terasa lebih sempurna. “Aku harap, aku bisa nyisirin rambut kamu tiap hari,"bisiknya tipis.

Kedua mata Mirai terangkat sejenak. "Mang gak capek? Aku aja repot ngurusinnya."

"Gak capek. Justru karena aku suka rambut kamu jadi pengen nyentuh tiap hari."

Tangan Mirai yang sedang mengoles sunscreen ke lengannya langsung berhenti. Entah kenapa kalimat Nero seperti kalimat lamaran ala pria Jepang. 'aku ingin memakan masakanmu setiap hari,’ atau ‘aku ingin kau sarapan bersamamu setiap pagi.’ Matanya melirik pada cermin meja rias dan melihat pantulan sosok Nero yang sedang tersenyum. Seketika jantungnya berdebar keras. Bibirnya tergigit keci. "Gi-gitu, ya?"

Nero menyisir lebih hati-hati, gerakannya melambat seolah menyentuh sesuatu yang rapuh. “Walaupun rambut pendek, aku yakin kamu tetep cantik. Tapi kamu keliatan cantik banget dengan rambut panjang. Apa lagi waktu lagi tergerai ke tiup angin. Bikin waktu seolah berhenti.” Ia merujuk pada momen di atas gedung yang mengikrarkan mereka menjadi Adam dan Hawa.

Perlahan Mirai tertunduk penuh haru. Dan matanya mulai hangat. Selama ini ia selalu berpikir rambutnya hanya merepotkan. Sulit dikeringkan, mudah kusut, dan memancing perhatian. Tapi pagi dengan bias cahaya indah dari jendela dan senyum Nero di dalam cermin telah meruntuhkan segala keraguannya. Gadis itu pun bangkit, berbalik menghadap Nero, lantas mengecup bibirnya.

Walau agak terperangah Nero menerima dan membalas kecupan hangat itu. Setelah bibir yang terpagut itu terpisah,Mirai pun berkata, “oke kamu boleh nyisirin rambut aku tiap hari.”

Nero tersenyum lebar, tak menyangka Mirai memahami maksudnya. Lamarannya diterima. “Nanti aku cariin cincin ya.” Mirai hanya tersenyum manis dengan pipi merona. Kening mereka pun menyatu diiringi senyuman bahagia yang terlukis di wajah masing-masing.

Waktu pun terus berjalan mendekati waktu keberangkatan.

Setelah menyisir setiap laci, lemari, dan lumbung kecil di sekitar motel, Nero dan Mirai berhasil mengisi ransel dengan perbekalan seadanya. Kaleng makanan, air minum, alat medis tambahan, dan beberapa peluru kini tersimpan rapat di punggung mereka. Tak banyak, tapi cukup untuk menyeberang ke zona berikutnya. Nero memastikan tak ada yang tertinggal, sementara Mirai mengecek isi P3K untuk terakhir kalinya. Begitu ransel dikancing, mereka berdiri berdampingan di depan mobil, siap menghadapi hari paling berbahaya sejak mereka masuk ke dunia ini.

Mobil melaju di bawah langit kelabu, membelah jalanan rusak yang dipenuhi bayangan reruntuhan. Setengah perjalanan menuju perbatasan kota berjalan lancar. Navigasi menunjukkan mereka tinggal menyeberangi satu jembatan panjang yang membentang di atas Sungai Kanarei. Di ujung jembatan sana, jika peta itu benar, ada wilayah relatif aman, atau setidaknya, belum terdata sebagai zona merah. Tapi justru ketika jembatan mulai terlihat dari kejauhan, radar di dashboard mobil berkedip merah, dan seketika bumi seperti berguncang.

Mirai memegang lengan Nero. "Apa itu? Gempa?"

Bukan. Dari balik puing-puing bangunan raksasa yang tumbang di sisi kanan jalan, muncul sosok hitam besar yang seolah menutupi langit. Tubuhnya setinggi gedung tiga lantai, berkulit kasar seperti batu yang retak-retak dan meleleh di beberapa bagian. Matanya merah menyala, dan raungannya membuat kaca mobil bergetar.

"Turun! Turun sekarang!" Nero membanting rem. Mereka belum sempat mencapai jembatan, hanya sepuluh meter lagi. Tapi jalanan di depannya terblokir total. Beton pembatas, kawat duri, dan truk militer terguling membentuk dinding masif yang tak bisa ditembus mobil.

Tanpa pikir panjang, Nero membuka pintu dan berlari ke belakang mobil, sempat menyambar katana yang tersimpan di bagasi. "Tinggalin aja ranselnya! Kita gak sempat!"

Mirai mengangguk, kemudian ikut berlari menuruni mobil. Suara langkah kaki raksasa semakin dekat, tanah bergetar seperti akan amblas. "Pistol?" tanya Nero sambil menoleh cepat.

"Masih di jaket!" Mirai merogoh jaket dalamnya dan menarik pistol. Nero melakukan hal yang sama.

Kaki mereka lincah berlari melintasi rintangan, melewati pecahan kaca, serpihan logam, dan truk terguling yang harus dipanjat. Zombie raksasa itu mulai mengejar. Setiap langkahnya membuat tanah berguncang, dan raungannya membuat telinga berdengung. Mirai menoleh dan nyaris tersandung saat melihat monster itu melewati mobil mereka seperti mainan.

"Cepat, ke jembatan!" Nero menarik tangan Mirai, mendorongnya untuk naik ke atas bak truk terguling.

Begitu kaki mereka menyentuh beton penghalang terakhir, monster itu sudah berada kurang dari dua puluh meter. Nero berhenti sejenak, berbalik, dan menembakkan dua peluru ke arah kepala zombie itu dan sia-sia. Peluru hanya memantul di tengkoraknya.

"Lari terus! Jangan berhenti!" serunya.

Mereka melompati kawat berduri dan jatuh berguling ke sisi lain, lengan jaket Mirai robek, luka kecil menyayat lengannya. Darah mengalir, tapi tak sempat dirasakan berkat adrenalin. Jembatan kini hanya lima meter di depan. Namun jalan di antara mereka dan jembatan penuh reruntuhan: pecahan beton, pilar patah, dan tulang-belulang tentara yang pernah mencoba bertahan.

Nero berlari lebih dulu, membuka jalan. Katana di tangannya membelah kawat dan merobohkan palang kayu yang menghalangi. Mirai mengikutinya, menembakkan peluru ke mata zombie itu yang kini makin dekat. Setiap tembakan hanya mengulur waktu. Monster itu tak bisa dihentikan, tapi bisa dilambatkan.

Begitu mereka berhasil melintasi beton terakhir dan menginjakkan kaki di ujung jembatan, Nero mendorong Mirai ke depan. "Lari ke tengah! Aku nyusul!"

Zombie raksasa itu mengangkat tangan untuk menghantam mereka, tapi tangannya menyentuh puing truk terguling dan meleset. Dentuman besar terdengar di belakang. Gelombang kejutnya hampir membuat mereka terlempar, tapi jembatan masih berdiri.

Dengan napas terengah, mereka terus berlari ke tengah jembatan, tak berani menoleh ke belakang. Dunia di belakang mereka hancur,tapi di depan masih ada harapan kecil untuk bertahan.

Angin di jembatan menggila, menerbangkan debu dan serpihan besi yang menggores kulit. Nero dan Mirai berlari sekuat tenaga, kaki mereka nyaris terhuyung karena permukaan jembatan tak stabil, berlubang dan berguncang tiap kali zombie raksasa di belakang mereka melangkah.

"Sedikit lagi!" seru Nero, napasnya berat, namun matanya tetap fokus pada ujung jembatan di seberang.

Namun langkah kaki raksasa itu semakin mendekat. Suara raungannya kini terdengar seperti ledakan petir yang mengaum dalam rongga dada mereka. Getaran makin kuat. Bayangan raksasa itu merayap di atas aspal jembatan, menutupi cahaya pucat dari langit kelabu. Ketika mereka menoleh, meskipun hanya sekilas, zombie level 20 itu sudah hampir menyentuh mereka. Tangannya yang sebesar atap rumah melayang turun, mengayun dari arah kanan dengan kekuatan destruktif yang mengerikan.

Waktu seolah melambat.

Nero melihat ke permukaan sungai. Sebatang kayu besar tengah mengapung. "Eriiii!" Nero berteriak.“Kamu bisa berenang?!”

“Bisa!” jawabnya spontan.

Tanpa sempat berpikir panjang, disambarnya lengan Mirai, memutar tubuh gadis itu dengan kekuatan seluruh sisa tenaganya, lalu melemparkannya ke sisi kiri jembatan di mana pagarnya telah terkoyak. Terlalu cepat untuk ditolak. Terlalu mendadak untuk dicegah.

"Aaaaaaa! VIIIIIIIIN!!"

Suara Mirai menembus angin, menembus deru sungai, menembus raungan makhluk raksasa. Tubuhnya melayang, menabrak udara kosong, lalu menghilang dari pandangan, ditelan derasnya arus Sungai Kanarei di bawah sana.

Tepat beberapa detik sebelum tangan monster menghantam tempat mereka berdiri, Nero berguling ke belakang, punggungnya menggores aspal jembatan, tubuhnya nyaris tergulung bersama puing-puing yang beterbangan. Percikan logam dan batu menghujani wajahnya. Ia menahan erangan sambil menggenggam katana erat-erat, namun tak sempat bangkit. Debu tebal mengaburkan pandangan, dan hanya satu hal yang tersisa di kepalanya, yaitu teriakan Mirai.

Suara debum langkah zombie itu menyadarkannya seperti sengatan listrik. Ia langsung bangkit dan lari menuju ujung jembatan. Tak bisa lompat menyusul Mirai ke sungai karena jalurnya sudah terblokir puing-puing mobil yang ringsek. Darah segar mengucur dari sisi dahi kanannya, dan pandangannya masih kabur. Tapi ia tetap berlari dari kejaran zombie yang terus melemparinya dengan puing dan benda apa saja yang bertebaran di dekatnya.

Sementara itu Mirai tenggelam cukup dalam, napasnya tersumbat, paru-parunya kembang kempis, tenaganya hampir habis hingga akhirnya bisa mengusai diri dan melepas jaket yang memberatkannya untuk mencapai permukaan sungai. Saat kepalanya timbul ke permukaan, ia melihat siluet Nero yang berlari hampir sampai ke ujung jembatan di mana zombie itu masih memburunya dengan ganas. “VIIIIIIIIN!!” Suara teriakannya tenggelam dalam deru arus sungai yang makin menjauhkannya dari jembatan. Mirai berenang susah payah menyusul batang kayu yang sempat melewatinya. Sungai ini cukup lebar dan ia hanya bisa memeluk batang kayu itu sebelum kehilangan kesadaran karena kelelahan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!