Suatu kondisi yang mengharuskan Zidan menikahi Khansa, teman masa kecilnya yang tinggal di desa, atas permintaan terakhir neneknya yang terbaring di ranjang rumah sakit.
Disisi lain, Zidan memiliki kekasih setelah bertahun-tahun tinggal di kota.
Pernikahan itu terjadi karena satu syarat yang diberikan Khansa, mau tidak mau Zidan menerima syaratnya agar pernikahan mereka bisa berlangsung.
Bagaimana kehidupan pernikahan Zidan dan Khansa?
Lalu bagaimana hubungan Zidan dengan kekasihnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lentera Sunyi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gelisah
Zidan membuka pintu kamarnya setelah hampir satu jam bergulat dengan kompor dan peralatan dapur.
Makan siang ini Zidan sengaja memasak untuk Khansa. Dan ini juga pertama kalinya Zidan memasak sendiri. Tentunya dengan arahan dari bibi.
Senyumnya mengembang saat melihat Khansa masih tertidur nyenyak. Begitu nyenyaknya hingga memeluk gulingnya begitu erat.
Sesaat Khansa membuka matanya setelah Zidan pergi. Ia memutuskan untuk tidur kembali untuk menenangkan kepalanya yang sudah berpikir sangat keras.
Zidan duduk di tepi ranjang, tangannya terangkat untuk mengusap pipi Khansa. Tangan Zidan begitu penuh dengan pipi tembem Khansa.
Lembut sekali, rasanya aku ingin terus mengusap pipinya. Sekarang aku menyadari jika dia begitu cantik meski tanpa make up. Zidan masih terus saja mengagumi Khansa di dalam hatinya. Ia terus saja memuji yang berkaitan dengan Khansa.
Zidan mendekatkan wajahnya, wajah mereka berdua sangat dekat. Jika saja tangan Zidan tidak bertumpu, sudah dipastikan jika mereka wajah mereka akan menempel satu sama lain.
“Sa?” Suara Zidan yang berbisik tepat di telinga Khansa.
“Mmm?” Khansa hanya berbalik dengan membawa gulingnya, dan kembali memeluk nya dengan erat.
Zidan hanya menggelengkan kepalanya, ia tidak menyangka jika membangunkan Khansa tidak hanya sekali. Karena sebelumnya Zidan tidak pernah membangunkan Khansa.
Khansa sering bangun terlebih dahulu, atau mereka bangun bersamaan. Zidan juga tidak memiliki kesempatan untuk membangunkan Khansa.
Dan sekarang kesempatan itu datang, ia merasa gemas sendiri melihat wajah Khansa yang tenang, tidak ada beban yang dipikirkan.
“Dia terlihat sangat lelah, tapi wajar aja jika dia tidur senyenyak ini. Dia bekerja sangat keras agar bisa lolos. Tuhan, jangan biarkan dia kecewa setelah perjuangannya.”
Zidan kembali mengusap pipi Khansa, “Sa. Bangun yuk? Kita makan siang, dan lanjut belajar lagi.”
“Mmm?” Mata Khansa begitu berat.
“Ayo bangun sayang, waktu terus berjalan. Itu yang kamu katakan, jadi ayo bangun.” Zidan mengangkat Khansa agar terbangun.
Bukannya terbangun, Khansa justru menyandarkan kepalanya di dada Zidan. Memeluk tubuh Zidan dengan sangat erat.
Tidak ada pilihan lain, Zidan memutuskan untuk menggendong Khansa ke meja makan. Ia tau jika Khansa ingin makan di meja makan, dan kebetulan saat ini matanya masih terpejam. Zidan memilih untuk menggendong Khansa ala koala.
Khansa tidak memberontak, ia justru mengalungkan kedua tangannya pada leher Zidan, mencari posisi yang nyaman untuk dirinya kembali tidur.
Zidan hanya tersenyum melihat Khansa dalam mode seperti ini. Dan ini untuk pertama kalinya Zidan melihat Khansa yang manja padanya.
Langkah kaki Zidan menuruni anak tangga dengan hati-hati karena ia sedikit kesulitan untuk melihat. Meskipun begitu Khansa masih tetap pada posisinya.
Saat Zidan ingin menurunkan Khansa, ia justru menyilangkan kakinya hingga gendonganya terkunci dengan kaki Khansa.
“Fine, jangan salahkan aku jika kamu akan duduk seperti ini sampai selesai.” Tidak ada pilihan lain, selain Zidan harus duduk memangku Khansa.
Jika dilihat, Khansa tidak akan membuka matanya. Zidan bisa melihat jika Khansa sangat enggan untuk membuka matanya.
“Tidak ada pilihan lain.” Zidan mengambil sendok, lalu mulai menyuapi Khansa nasi goreng yang ia buat khusus.
Benar dugaan Zidan, jika Khansa tidak akan bangun. Karena sekarang, Khansa sedang mengunyah makanan yang disuapi oleh Zidan dengan mata yang terpejam.
Zidan tidak marah, hanya saja ia takut jika Khansa akan tersedak karena makan sembari mata yang terpejam.
Dengan telaten Zidan menyuapi Khansa nasi gorengnya sedikit demi sedikit, hingga satu porsi yang ia siapkan habis.
“Sa, mau sampai kapan kamu akan terus memejamkan mata? Lihatlah, bahkan sampai kamu menghabiskan satu piring nasi goreng, kamu masih tidak membuka mata kamu.”
“Aku capek, Zi. Rasanya aku sudah tidak sanggup lagi.” Khansa kembali mengalungkan tangannya di leher Zidan.
“Apa kamu akan menyerah? Kamu tidak ingin memperjuangkan beasiswa impian kamu? Jika kamu ingin menyerah, aku tidak masalah sama sekali. Aku yang akan membiayai semuanya.” Seketika mata Khansa terbuka lebar.
Khansa melihat sekeliling, mendapati dirinya berada di meja makan. Lalu menunduk beralih menatap Zidan, ia tertegun.
Sekarang ini, Khansa sudah mati kutu karena sadar jika dirinya duduk di pangkuan Zidan. Ia menelan salivanya susah payah, wajahnya memanas karena apa yang sudah ia lakukan.
“A-apa sejak tadi a-aku seperti ini?” tanya Khansa uang berharap jawabannya tidak seperti yang ada dipikirannya.
Zidan mengangguk, “Kamu seperti ini sampai semua nasi goreng yang ada di piring itu habis.” Zidan melihat ke arah meja yang terdapat satu piring kosong.
“A-apa?”
Maksudnya aku duduk dipangkuannya sambil dia nyuapin aku? Ini lebih dari apa yang gue bayangin! Astaga, aku malu, batin Khansa yang merasa benar-benar malu.
Khansa langsung melompat dari pangkuan Zidan, “Ma-maaf, aku tidak bermaksud seperti itu.”
Tangan Khansa bergetar karena gugup, ia merasa bersalah karena sudah berlaku seperti itu.
Zidan merasa keheranan melihat Khansa yang ketakutan. Ia beranjak dari tempat duduknya, menghampiri Khansa yang meremas kuat tangannya. Ia langsung menarik Khansa dalam pelukannya.
“Kenapa harus minta maaf? Aku merasa senang karena kamu menunjukan sisi kamu yang lain. Dan aku ingin melihat sisi kamu yang ini.” Zidan mengusap lembut kepala Khansa. Memejamkan matanya menikmati wangi tubuh Khansa.
Khansa hanya bisa diam mematung, tidak ada yang bisa dilakukan. Ia masih sedikit syok dengan apa yang ia lakukan, apalagi sekarang ini Zidan sedang memeluknya.
Untuk yang kesekian kalinya Khansa merasa nyaman dengan pelukan ini. Tangannya melingkar memeluk pinggang Zidan. Khansa memejamkan matanya untuk menikmati pelukan hangat.
“Sa, jika aku bilang mencintaimu, apakah kamu akan percaya?” tanya Zidan yang penuh harap.
Khansa tertegun mendengar pertanyaan Zidan, ia sendiri saja tidak tau dengan apa yang diinginkan hatinya, sekarang justru mendapat pertanyaan yang sudah jelas tidak akan dijawab langsung oleh Khansa.
“A-aku tidak tau. Tapi jujur aja aku sudah mulai nyaman dengan kebersamaan kita. Untuk cinta, aku tidak akan memberimu harapan untuk saat ini. Jika kamu memang mencintaiku ataupun tidak, itu menjadi pilihanmu sendiri.” Khansa melepaskan pelukannya, begitu juga dengan Zidan.
Zidan menatap perempuan yang beberapa hari ini mengisi setiap waktunya dua minggu terakhir ini, mungkin hampir tiga minggu ini.
“Kenapa?” Zidan masih tidak percaya jika Khansa masih mengatakan hal yang sama seperti sebelumnya.
“Sudah ku katakan, jika aku tidak ingin memberimu harapan, karena aku sendiri tidak tau apa yang sedang hatiku rasakan. Aku bingung, Zi. Aku tidak ingin melibatkanmu dalam kebingungan yang aku rasakan. Biarkan aku sendiri yang memastikannya.”
Memastikan apakah perasaan itu telah muncul kembali, atau mungkin lebih dalam lagi. Jika memang benar perasaan itu muncul lagi, aku harus siap dengan rasa sakit yang mungkin akan terjadi untuk kedua kalinya, lanjut Khansa dalam hatinya.