Berkali-kali dikhianati membuat Marwah mengalami trauma, dia tidak mau menjalin hubungan dengan pria mana pun juga. Hingga akhirnya dia bertemu dengan seorang pengusaha berkedok ustaz yang sedang mencari orang untuk mengurus ibunya.
Nahyan ternyata tidak jauh berbeda dengan Marwah. Keduanya tidak beruntung dalam hal percintaan.
Akankah Allah menjodohkan mereka berdua dan saling mengobati luka satu sama lain?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon poppy susan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 26 Permintaan Halimah
Hari demi hari terlewati sudah, Ani dan Dadang membantu pekerjaan di rumah Nahyan. Sedangkan Marwah semakin dekat dengan Halimah, walaupun Halimah masih pelit bicara tapi setidaknya sekarang Halimah sudah mulai bisa nyaman dekatnya. Marwah setiap hari menjaga Halimah dengan Namira.
Hari ini adalah hari minggu, Nahyan berada di rumah. Namira pun sangat akrab dengan Nahyan, bahkan Namira selalu drama jika Nahyan akan berangkat kerja. Siang itu, Marwah sedang menemani Halimah dan Namira kebetulan sedang tidur siang.
"Apa Ibu mau makan buah-buahan?" tawar Marwah.
"Boleh," sahut Mama Halimah.
"Sebentar ya, Bu. Marwah ambilkan dulu buahnya," ucap Marwah.
Pada saat Marwah keluar, dia tidak sengaja berpapasan dengan Nahyan yang ingin masuk ke kamar Mamanya. Beruntung mereka tidak bertabrakan, dan Marwah segera menghindari Nahyan. "Ma, mau kemana Marwah?" tanya Nahyan.
"Mau ambil buah," sahut Mama Halimah.
Nahyan duduk di sofa. "Nahyan, apa kamu tidak mau menikah? kamu sudah tua, cepetan menikah mumpung Mama masih hidup," ucap Mama Halimah.
"Allah belum mempertemukan jodoh untuk Nahyan, Ma," sahut Nahyan.
"Allah belum mempertemukan atau kamunya yang berusaha menolak kode dari Allah?" seru Mama Halimah.
Nahyan mengerutkan keningnya. "Maksud Mama apa?" tanya Nahyan bingung.
"Ada wanita di depan kamu, eh malah disia-siakan," sahut Mama Halimah.
Seketika Nahyan mengerti dengan apa yang dimaksud oleh Mamanya. Nahyan tersenyum tapi dia tidak mau membalas ucapan Mamanya lagi. Tidak lama kemudian, Marwah pun masuk ke dalam kamar.
"Ini Bu, Marwah bawakan buah mangga," ucap Marwah.
Perlahan Halimah pun mulai memakan buah mangga uang dibawakan oleh Marwah. Suasana tiba-tiba hening, lagi-lagi Marwah meremas baju gamisnya saking gugupnya. Tidak jauh berbeda dengan Nahyan, yang menjadi salah tingkah dan serba salah.
"Marwah!" panggil Nahyan tiba-tiba.
Marwah dengan ragu-ragu menoleh ke arah Nahyan. "Iya, Ustaz ada apa?" tanya Marwah.
Nahyan menatap Marwah lama, seolah-olah ada sesuatu yang penting. Tapi Nahyan mengurungkan niatnya, karena jauh di dalam lubuk hatinya ia baru menyadari ada sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.
"Ah, tidak jadi. Ma, Nahyan istirahat dulu," seru Nahyan.
Dengan terburu-buru, akhirnya Nahyan keluar dari kamar Halimah.
Malam pun tiba....
Setelah makan malam, Marwah memutuskan untuk bermain bersama Namira di pinggir kolam renang yang ada di belakang. Paviliun itu berada tepat di depan kolam renang. "Uma, Ira mau berenang," celetuk Namira.
"Ini sudah malam sayang, besok saja ya," sahut Marwah.
Namira pun mengangguk. Namira adalah anak yang penurut, ditambah sekarang dibawah asuhan Marwah sudah pasti Namira akan tumbuh menjadi anak yang mempunyai kepribadian seperti Marwah. Dia selalu mengajarkan hal-hal yang baik kepada Namira, bahkan selalu menasehati Namira sebelum tidur.
***
1 bulan kemudian....
Semenjak kejadian waktu itu di kamar Halimah, suasana di rumah itu berubah. Ada sesuatu yang beda dengan Nahyan, pria itu sering memperhatikan Marwah. Dulu, Nahyan jarang ada di rumah selalu sibuk dengan pekerjaannya hampir tidak pernah berbicara dengan Marwah kecuali ada sesuatu yang penting.
Tapi sekarang, Nahyan jadi lebih sering pulang lebih awal dari kantor. Ia akan duduk di ruang tamu untuk membaca buku atau hanya sekedar menemani Mamanya berbincang dengan Marwah. Kadang dia berdiri di ambang pintu memperhatikan ketika Marwah membantu Halimah berlatih berjalan.
Pagi itu, setelah memberi Halimah sarapan, Marwah hendak menyimpan piring kosong ke dapur, tapi dia berpapasan dengan Nahyan yang hendak ke kamar Halimah untuk pamit ke kantor. "Marwah!"
Marwah menghentikan langkahnya. "Iya, Ustaz," sahut Marwah.
"Terima kasih."
Marwah mengerutkan keningnya. "Untuk apa?" tanya Marwah.
Nahyan menarik napas pelan dan menatap Marwah sejenak. "Untuk semuanya. Untuk Mamaku dan untuk rumah ini," sahut Nahyan.
Marwah tersenyum kecil. "Aku hanya melakukan pekerjaan aku, Ustaz," ucap Marwah.
"Tidak." Nahyan menggeleng.
"Apa yang kamu lakukan lebih dari sekedar pekerjaan," sambungnya.
Marwah terdiam, dia tidak tahu harus berkata apa. Detik-detik berlalu dengan keheningan, sampai akhirnya Nahyan berbisik. "Aku berhutang kepadamu," ucapnya.
Marwah menunduk, jantungnya berdegup semakin kencang. Untuk pertama kalinya jarak Marwah dan Nahyan begitu dekat. Tanpa mereka sadari, dari depan pintu Halimah memperhatikan keduanya.
"Maaf, Ustaz aku simpan piring kotor ini dulu," ucap Marwah gugup.
Dengan langkah buru-buru, Marwah pun segera meninggalkan Nahyan yang masih berdiri. Nahyan menatap punggung Marwah dengan perasaan yang tidak bisa ia jelaskan. Sedangkan Marwah kembali memegang dadanya bahkan tangannya sampai bergetar saking gugupnya.
"Ya, Allah kenapa perasaanku menjadi seperti ini? aku tidak mau sakit lagi Ya, Allah tolong hilangkan perasaan ini dari dalam hatiku," batin Marwah dengan mata yang berkaca-kaca.
Marwah masih ragu-ragu dengan perasaannya, dia takut jatuh cinta dan sakit lagi. Lagi pula Marwah berpikir, mana mungkin sekelas Nahyan mau dengan wanita miskin seperti dirinya. Marwah tidak mau sampai jatuh cinta kepada Nahyan, maka dari itu Marwah selalu menghindar jika Nahyan menatapnya.
Menjelang siang, Marwah dan Halimah sudah berada di rumah sakit. Halimah menunjukan kemajuan yang luar biasa. Dengan terapi rutin dan perhatian yang tulus dari Marwah, Halimah sekarang sudah bisa berdiri lebih lama dan bahkan melangkah dengan bantuan Marwah.
"Alhamdulillah, Ibu luar biasa," ucap Marwah dengan senyumannya.
Untuk pertama kalinya Halimah tersenyum ke arah Marwah. Setelah selesai terapi, mereka pun memutuskan untuk pulang. Sesampai di rumah, Marwah membawa Halimah ke kamarnya.
"Ini istirahat ya, nanti Marwah ke sini lagi sembari membawa makan siang," ucap Marwah.
Tapi pada saat Marwah membalikan tubuhnya, sebuah tangan menahan lengan Marwah membuat Marwah kaget. "Ibu, ada apa?" tanya Marwah.
"Saya ingin bicara sama kamu," sahut Mama Halimah.
Marwah tersenyum dan duduk di samping Halimah. "Ibu mau bicara apa?" tanya Marwah kembali.
Halimah menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya secara perlahan. "Marwah, menikahlah dengan Nahyan," ucap Mama Halimah.
Deg....
Jantung Marwah seakan ingin loncat dari tempatnya, dia tidak menyangka jika Halimah akan mengatakan itu. "Ini sebuah permintaan dari saya. Saya sudah tua dan saya tidak tahu Allah akan menjemput saya kapan, jadi sebelum saya pergi saya ingin melihat Nahyan menikah supaya saya tidak khawatir meninggalkan dia sendirian," ucap Mama Halimah.
Marwah tidak bisa berkata-kata, permintaan Halimah begitu sangat mengejutkan. "Kamu mau 'kan menikah dengan Nahyan?" tanya Mama Halimah.
Mata Marwah berkaca-kaca. "Bu, jodoh sudah ada yang atur, Marwah tidak bisa menjawabnya sekarang biarlah waktu yang menjawab semuanya. Ibu istirahat ya, nanti Marwah ke sini lagi," ucap Marwah yang dengan cepat pergi meninggalkan Halimah.
Halimah menghembuskan napasnya kasar. Entah kenapa, Halimah begitu berharap jika Marwah menikah dengan Nahyan. Marwah wanita yang sangat baik, dan dia berharap Nahyan akan bahagia jika mempunyai istri seperti Marwah.
kasihan blm dpt jodoh nya