Aluna ditinggal mati suaminya dalam sebuah kecelakaan. Meninggalkan dia dengan bayi yang masih berada dalam kandungan. Dunianya hancur, di dunia ini dia hanya sebatang kara.
Demi menjaga warisan sang suami, ibu mertuanya memaksa adik iparnya, Adam, menikahi Aluna, padahal Adam memiliki kekasih yang bernama Laras.
Akankah Aluna dan Adam bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hare Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
"Apa kamu menyesal menikah denganku, Aluna?" tanya Adam.
Aluna menarik kursi di sebelah Adam, kemudian menggelengkan kepalanya. "Tidak."
Jawaban Aluna hanya singkat namun tegas.
Adam menyesap kopinya. "Apa kamu membenciku?"
"Mengapa aku harus membenci Mas Adam?" tanya Aluna.
"Aku membuat kamu berada dalam keadaan seperti ini. Mas Arman menitipkan kamu dan Kiya padaku. Tapi, aku malah menyakiti kalian," jawab Adam lirih.
"Ini adalah takdir yang harus kita lewati. Aku tidak merasa tersakiti, karena aku paham betul dimana posisiku."
Aluna menatap Adam lembut, dia penasaran sebenarnya ada apa dengan Adam, seharusnya dia bersenang-senang karena baru saja menikah dengan kekasihnya. Tapi, dia malah terlihat sedih.
Di saat yang sama, tatapan keduanya bertemu. Aluna ingin menghindar, dia ingin menunduk. Tapi, Adam menahan dagunya. Dan disaat yang sama Adam mendekatkan wajahnya mengikis jarak antara mereka.
Aluna hanya bisa membalas. Dia tahu, keadaan Adam setelah menikah sedang tidak baik-baik saja.
Ciuman Adam begitu lembut dan penuh perasaan, berbeda dari yang selama ini.
Kemudian Adam memeluk Aluna erat, dan diam-diam dia menangis.
"Mas, kamu capek. Sebaiknya istirahat aja," ujar Aluna sambil membalas pelukan sang suami.
Aluna bisa merasakan isak tangis Adam, nafasnya turun naik menahan emosi.
"Biarkan seperti ini, sebentar saja," jawab Adam menggelengkan kepalanya.
Sementara itu notifikasi ponsel Adam terus masuk, dan terlihat beberapa kali panggilan masuk dari Laras, tapi diabaikan oleh Adam. Dia membalikan ponsel itu hingga layarnya ke arah meja.
"Iya."
Aluna mengelus pundak Adam dengan lembut.
Hingga beberapa saat, barulah Adam melepaskan pelukannya pada Aluna. Matanya memerah, wajahnya sangat pucat.
"Mas, kamu sakit?" tanya Aluna sambil meraih dahi Adam.
Aluna terkejut, suhu tubuh Adam sangat tinggi. Namun, Adam tampak kedinginan.
"Astaga, kamu sakit, Mas," ucap Aluna panik.
Adam menggeleng lemah. "Aku gapapa."
"Gapapa apanya? Kamu panas gini, Mas," ujar Aluna.
Adam hanya menatap Aluna lembut. Rasanya begitu senang mendapat perhatian dari Aluna.
"Ayo ke kamar, kamus istirahat," sambung Aluna.
Adam tidak menolak. Aluna membimbingnya dengan pelan.
Setelah Adam tiduran di kamar, Aluna mengambil obat dan diberikan kepada Adam.
"Terima kasih, Aluna," ucap Adam kepada sang istri.
Semakin mendapat perhatian dari Aluna, Adam semakin merasa bersalah telah menyakiti Aluna. Dan dia semakin merasa beruntung memiliki Aluna.
"Iya, sama-sama."
Adam memejamkan matanya, tangannya menggenggam tangan Aluna ketika wanita itu hendak beranjak.
"Tetaplah disini," lirih Adam.
"Aku akan meletakkan gelas ke atas nakas," jawab Aluna.
Sebenarnya Aluna begitu penasaran, ada apa dengan Adam. Sebelumnya dia mengatakan menyesal, dia terlihat begitu tertekan. Dan tentu saja, pesan dari Laras yang sempat dibaca oleh Aluna, pesan yang sangat kasar.
Mungkin, kalau Laras bukan istri Adam, pesan itu biasa saja. Tapi, dia adalah istri Adam.
"Ada apa denganmu, Mas?" batin Aluna sambil menatap wajah Adam.
Aluna kemudian membaringkan tubuhnya di tengah-tengah, antara Kiya dan Adam.
Kiya tampak tidur dengan nyenyak, wajahnya begitu damai dan tenang. Sedangkan Adam, tidurnya tampak tidak tenang.
Dalam istirahatnya, sesekali Aluna mengecek Adam. Dan dia baru bisa tidur dengan tenang setelah suhu tubuh Adam turun.
"Aku menyesal," lirih Adam saat menjelang pagi dia terbangun.
Dia menatap Aluna yang tidur di sebelahnya. Dia tahu, semalam Aluna selalu menjaganya. Dan wanita selembut ini dia sakiti perasaannya.
Tangan Adam terulur, mengelus wajah Aluna dengan lembut. Wajah yang begitu tenang dan menenangkan.
"Tuhan, bolehkan aku egois, aku tidak ingin dia meninggalkanku," ucap Adam lagi.
Kini dia menyadari kalau Aluna memang cantik. Bukan hanya wajahnya, tapi hatinya juga. Dia tidak pernah meninggikan suaranya, semarah apapun dia.
"Mas Arman, terima kasih telah menitipkan bidadari kepadaku. Tapi, aku yang bodoh. Aku melukai hatinya." Adam bergumam, bahkan hanya dirinya yang bisa mendengarnya.
Hingga pagi, Aluna masih tertidur. Adam tidak mau mengganggunya, dia tahu istrinya pasti lelah.
"Ma-ma." Kiya bangun dengan suara serak memanggil sang ibu.
"Kiya sama Papa ya. Mama capek," bisik Adam sambil merentangkan tangannya untuk menggendong Kiya.
Meskipun tubuhnya masih sedikit panas, tapi Adam merasa sudah lebih baik. Hanya tinggal sedikit pusing. Dan salah satu obatnya adalah tidak membuka ponselnya.
Kiya mengangguk dan tertawa.
Adam langsung membawa Kiya keluar kamar dan memandikannya. Kemudian mengajak Kiya untuk shalat.
Entah, sudah berapa lama dia tidak menundukkan wajahnya di hadapan sang pencipta. Selama ini, dia tidak pernah tergerak hatinya, sekalipun melihat Aluna shalat setiap hari.
"Ya Allah, betapa sombongnya aku selama ini. Aku bahkan tidak pernah tunduk kepadamu. Aku begitu jauh darimu. Aku begitu hina, Ya Allah..."
Puas mencurahkan semua perasaannya diatas sajadah, Adam merasa lebih tenang.
"Anak Papa hebat," puji Adam saat melihat Kiya yang duduk dengan tenang di sebelahnya, bahkan Kiya tampak menatap wajah Adam lekat.
Kiya memang terbiasa ikut Aluna shalat. Dan mungkin pagi ini dia heran melihat sang ayah yang duduk disini, bahkan berdoa sambil menangis.
"Kiya mau makan apa?" tanya Adam.
"Mam-maaa," jawab Kiya.
"Biarlah Mama istirahat dulu, Nak. Mama capek. Kiya, papa buatkan sarapan ya?"
Kiya hanya mengangguk.
Adam ke dapur, pagi ini dia ingin hadir untuk keluarganya. Dia ingin melayani Aluna dan Kiya, selama ini Aluna yang selalu melayaninya.
Adam memasak nasi goreng, sementara Kiya duduk di meja makan sambil menikmati biskuitnya.
"Sarapan buat Kiya," ujar Adam membawa mangkuk yang berisi telur orek dicampur nasi. Dia tidak tahu, sarapan apa yang biasa Kiya makan. Ingin memberikan nasi goreng, takut salah.
Adam menyuapi Kiya sambil tersenyum, ada rasa bahagia bercampur haru saat Kiya membuka mulutnya menanti suapan darinya.
"Ternyata, hidupku selama ini sudah begitu sempurna. Mengapa aku malah tidak menyadarinya?" ujar Adam lemah.
"Seandainya sejak awal aku tegas, mungkin semua tidak akan seperti ini."
Di kamar, Aluna membuka matanya. Dia terkejut saat tidak lagi mendapati Kiya dan Adam disampingnya.
"Ya Allah, aku kesiangan." Aluna dengan cepat keluar kamar. Dan langkahnya terhenti saat melihat di meja makan, Adam sedang menyuapi Kiya.
Aluna berjalan mendekat. "Maaf, Mas. Aku kesiangan."
Adam menoleh, dia tersenyum ke arah Aluna. "Gapapa, kamu nyenyak sekali tidurnya. Jadi, aku bawa Kiya keluar."
"Ini kiya aku masakin telur orek. Dia boleh kan makannya? Minyaknya sedikit kok," sambung Adam.
"Kamu masak untuk Kiya? Kamu masih sakit, Mas. Kamu harusnya istirahat saja," ucap Aluna merasa bersalah.
"Aku sudah sembuh, kok. Aku juga sudah siapkan sarapan untuk kamu," jawab Adam yang membuat Aluna semakin bingung dengan sang suami.
"Aku sholat dulu, Mas," ujar Aluna akhirnya.
"Iya. Kami tunggu di meja makan ya."
"Iya, Mas." Aluna mencubit lengannya sendiri, memastikan kalau dia tidak sedang mengigau melihat Adam.
"Ada apa dengan Mas Adam?" tanya Aluna dalam hatinya.