Sebuah pernikahan tanpa cinta, membuat Rosalina harus menelan pil pahit, karena ia sama sekali tidak dihargai oleh suaminya.
Belum lagi ia harus mendapat desakan dari Ibu mertuanya, yang menginginkan agar dirinya cepat hamil.
Disaat itu pula, ia malah menemukan sebuah fakta, jika suaminya itu memiliki wanita idaman lain.
Yang membuat suaminya tidak pernah menyentuhnya sekalipun, bahkan diusia pernikahan mereka yang sudah berjalan satu tahun.
Akankah Rosalina sanggup mempertahankan rumah tangganya dengan sang suami, atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hilma Naura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Singa jinak.
Rosalina menunduk, kemudian menjawab dengan suara yang terdengar begitu lirih.
"Maaf Mbak… saya benar-benar tidak enak. Kehadiran saya di sini sepertinya membuat suasana menjadi kacau. Mas Raka jelas tidak suka melihat saya, saya juga tidak ingin menjadi beban untuk Ibu Anindya."
Mendengar perkataan Rosalina tersebut, Mbak Sri langsung mengibaskan tangannya, wajahnya juga dibuat-buat seolah merasa kesal.
"Lha, kamu itu kok gampang banget minder, Nduk? Denger ya, Mas Raka itu dari kecil memang bawaannya sudah dingin kaya es batu yang disimpen di kulkas dua pintu. Tapi kalo soal lawan Mamanya? Wah, percaya sama saya, Mas Raka itu nggak bakalan berani. Jadi kamu nggak usah takut, wong Ibu Anindya sendiri yang menyuruh kamu tinggal di sini."
Ucapan Mbak Sri itu membuat Rosalina terdiam. Namun hal itu justru membuat perempuan paruh baya tersebut mendekat, lalu menepuk pelan lengan Rosalina sambil tersenyum lebar.
"Kamu tahu nggak, Mas Raka itu di rumah ini bisa dibilang ibarat singa yang galak banget sama siapa aja. Tapi kalo udah sama Ibu Anindya, singanya bisa langsung jinak, dan mendadak bisa jadi seperti kucing imut yang cuma bisa nurut. Jadi tenang aja, Nduk. Kalo Ibu udah bilang A, ya nggak bakal bisa menjadi B. Karena Mas Raka itu nggak akan pernah bisa membantah!"
Rosalina sempat tersenyum kecil mendengar candaan Mbak Sri, meskipun saat itu hatinya masih dipenuhi oleh kegelisahan. Apalagi sampai saat itu, tatapan dingin Raka masih jelas terbayang, seolah menusuk ke relung hatinya.
Melihat Rosalina yang belum juga tenang, Mbak Sri malah mendesah panjang, lalu kembali berujar.
"Sudahlah, jangan kamu pikirin tatapannya Mas Raka itu. Tatapan dinginnya emang kelihatan ngeri, tapi sebenernya dia nggak seburuk itu. Saya yang kerja di sini aja udah kenyang sama sikapnya. Lagian, kalo cuma ditatap doang, nggak akan membuat perut kenyang tho? Karena yang akan membuat kuat itu ya makan, bukan mikirin wajah mas ganteng yang judesnya minta ampun."
Setelah berkata begitu, Mbak Sri pun beranjak ke meja kecil yang ada di dekat ranjang, lalu ia membuka sebuah nampan berisi sepiring nasi hangat lengkap dengan lauk sederhana dan juga segelas air putih. Aroma masakan rumahan langsung menyeruak, membuat perut Rosalina yang kosong sejak siang hari terasa perih menagih perhatian.
"Nah, ini lho… kamu makan dulu. Tadi Ibu Anindya yang nyuruh saya bawain makanan buatmu. Katanya kamu harus isi tenaga biar nggak pingsan lagi."
Rosalina menatap makanan itu dengan bingung, lalu menggeleng pelan.
"Saya… saya merasa malu, Mbak. Saya ini belum melakukan apa-apa, tapi sudah menerima kebaikan yang sebanyak ini."
Mbak Sri langsung mendengus dan pura-pura cemberut.
"Halah, malu-malu kucing! Kebaikan itu bukan buat ditolak, Nduk. Lagian, kalo kamu sampe pingsan lagi, saya nanti yang akan repot. Masa iya saya harus angkat kamu ke ranjang lagi? Bisa encok nanti pinggang saya"
Ucapan itu berhasil membuat Rosalina tersenyum tipis meski hatinya masih terasa berat. Ia menatap Mbak Sri, lalu akhirnya mengangguk dengan perlahan.
"Baiklah, Mbak. Saya akan coba makan… terima kasih banyak, ya?"
Sedangkan Mbak Sri langsung mengangkat alis, seolah puas dengan jawabannya.
"Nah, gitu to! Pintar. Kalau kamu sudah makan, nanti hati kamu juga akan ikut tenang. Dan percaya sama saya, lama-lama kamu bakal tau kalau Mas Raka itu nggak seseram tatapannya. Dingin-dingin gitu, tapi kalo disuruh Mamanya, dia bisa langsung tunduk. Hehe."
Rosalina akhirnya meraih sendok dengan tangan bergetar. Suapan pertama terasa hambar di mulutnya, tapi bukan karena masakannya yang tidak enak, melainkan karena hatinya masih diselimuti rasa asing dan keraguan. Tatapan Raka tadi seperti bayangan yang sulit ia hilangkan.
Namun meskipun begitu, di sampingnya Mbak Sri terus mengoceh ringan, seolah sedang mengalihkan suasana canggung dengan gurauan-gurauan sederhana tentang tingkah majikannya.
Hingga perlahan, hati Rosalina pun mulai sedikit menghangat, meski sorot mata dingin pria yang bernama Raka itu masih menempel kuat dalam ingatannya.
*****
Keesokan paginya, sinar matahari mulai menembus tirai besar ruang makan rumah mewah itu.
Aroma harum teh hangat dan roti panggang memenuhi udara. Bu Anindya duduk dengan anggun di kursi ujung meja makan panjang, sementara Raka duduk di sisi kirinya dengan wajah yang masih terlihat murung.
Raka menyantap sarapannya dalam diam, dan hanya sesekali terlihat meneguk air putih yang ada dihadapannya.
Ekspresinya masih tetap dingin, dan jelas sekali jika pikirannya masih terganggu dengan kehadiran gadis asing yang semalam terpaksa menginap di rumah mereka.
"Raka…" suara lembut Anindya berusaha memecah keheningan.
"Mama akan menyuruh Mbak Sri memanggil Rosalina. Tidak sopan rasanya kalau kita sarapan, tapi malah membiarkan dia sendirian di kamar."
Mendengar ucapan Mamanya itu, Raka spontan menoleh dengan wajah yang sedikit tidak percaya.
"Mama serius? Dia kan tamu yang bahkan kita nggak tau siapa. Buat apa sih Ma repot-repot seperti itu? Dia kan masih bisa makan dimana saja tanpa harus duduk dan sarapan bareng sama kita!"
Anindya langsung melotot kecil saat mendengar jawaban dari putranya itu.
"Kamu jangan membantah Mama, Raka! Tamu tetap tamu, dan tamu itu memang harus diperlakukan dengan baik. Titik."
Tanpa menunggu protes lebih lanjut dari Raka, Anindya segera menoleh ke arah Mbak Sri yang sedang mondar-mandir di dapur.
"Sri, tolong panggilkan Rosalina ya. Suruh dia ikut sarapan bersama kita."
"Baik, Bu!" sahut Mbak Sri sambil melangkah cepat menuju kamar tamu.
Sementara itu dikamar, Rosalina masih duduk di tepi ranjang, dengan wajah yang masih terlihat pucat, matanya juga terlihat begitu sayu. Namun saat pintu terdengar diketuk dari luar, ia langsung berdiri dan membukanya.
"Lho, Mbak Sri? Ada apa?" tanyanya dengan suara pelan.
Mbak Sri hanya tersenyum lebar saat menatapnya, kemudian ia pun mengatakan pada Rosalina tentang apa yang diperintahkan oleh majikannya.
"Ayo, Nduk. Ibu menyuruh saya untuk memanggil kamu, supaya kamu bisa ikut sarapan di meja makan."
Tapi Rosalina langsung menggeleng cepat mendengar hal itu. Dan ia pun langsung menolak dengan sopan
"Tidak usah, Mbak. Saya sudah merepotkan dari kemarin, masa sekarang harus ikut sarapan juga? Saya bisa makan di sini saja kalau memang harus."
Mbak Sri langsung berkacak pinggang, lalu mendengus.
"Eh, kamu ini lho… jangan bikin repot saya. Ibu Anindya udah menyuruh, berarti ya harus dilaksanakan. Masalah repot nggak repot itu urusan belakangan."
Rosalina kembali berusaha menolak, dengan wajah yang terlihat sungguh segan.
"Tapi Mbak, saya takut Mas Raka tidak suka. Kemarin saja tatapannya begitu dingin. Saya benar-benar tidak ingin menyinggung perasaan siapapun di rumah ini. Saya benar-benar tidak berani."
Tapi Mbak Sri malah terkekeh mendengar alasan itu, lalu ia dengan cepat meraih tangan Rosalina.
"Alah, dingin-dingin gitu paling cuma gaya doang! Udah, ayo ikut saya. Kalo kamu menolak lagi, maka saya yang akan repot karena dimarahi Ibu. Lagian, Mas Raka itu meski judes, tapi kalo udah soal keputusan yang Ibu buat, maka dia nggak akan bisa apa-apa."
Dengan sedikit paksaan, Mbak Sri pun menarik tangan Rosalina, membuat wanita berparas cantik itu hampir terseret, wajahnya juga ikut memerah karena malu.
"Mbak… pelan-pelan…" gumamnya, sambil mengikuti langkah Mbak Sri.
Namun Mbak Sri tetap saja berkeras dan menarik tangannya, agar Rosalina berjalan cepat.
"Sudah, jangan banyak alasan! Nanti makanannya malah keburu dingin." ujar Mbak Sri lagi
Beberapa menit kemudian, langkah keduanya terdengar memasuki ruang makan. Rosalina terlihat menunduk dalam-dalam. wajahnya jelas memperlihatkan rasa canggung yang teramat besar.
"Selamat pagi, Bu…" ucapnya lirih sambil menyentuh ujung bajunya.
Anindya langsung tersenyum lebar saat melihatnya.
"Selamat pagi juga, Nak. Ayo sini, duduk sama saya. kita sarapan bareng ya?"
Rosalina buru-buru menggeleng dengan suara yang masih terdengar ragu.
"Tidak usah, Bu. Saya… saya bisa sarapan di kamar saja. Saya malu kalau harus makan bersama di sini."
Mendengar hal itu, Anindya mendesah pelan. Lalu tiba-tiba saja ia bangkit dari kursinya. Dan dengan langkah mantap, ia sendiri yang menarik kursi kosong tepat di sampingnya.
"Duduk sini! Jangan sungkan. Kamu harus makan biar kuat. Kalau kamu menolak lagi, maka saya yang akan marah nanti." katanya dengan nada lembut, tapi terdengar tegas.
Rosalina langsung terperangah, dan tidak kuasa untuk menolak lagi. Dengan tubuh yang sedikit gemetar, ia pun perlahan duduk di kursi yang sudah disiapkan oleh Anindya.
Sementara itu diseberangnya, Raka hanya bisa menatap dengan wajah masam, lalu ia kembali berpura-pura fokus pada sarapannya.
Namun suasana tiba-tiba menjadi pecah, ketika Mbak Sri dengan nada setengah bercanda, melontarkan kalimat yang membuat meja makan itu mendadak heboh.
"Ih, Bu… ini loh kebetulan yang indah. Mas Raka sama Rosalina duduk bersebelahan. Cocok banget! Kalau saya lihat-lihat sih, wajah mereka tuh sama-sama manis, seperti pasangan pengantin baru aja gitu lho!"
Kata-kata itu meluncur begitu saja, membuat Raka yang sedang meneguk air putihnya langsung tersedak. Ia terbatuk sangat keras membuat wajahnya memerah, sehingga tangannya sibuk meraih serbet.
"Uhuk! Uhuk! Mbak Sri! Apa-apaan sih ngomong begitu?!" teriaknya di sela-sela batuk, yang membuat suasana seketika riuh.
Sementara itu, Rosalina menunduk semakin dalam, wajahnya merona merah padam akibat menahan malu.
Sedangkan Anindya justru terkikik geli melihat putranya begitu salah tingkah, sementara Mbak Sri langsung menepuk-nepuk punggung Raka sambil nyengir lebar.
"Lho, kok marah? Saya kan cuma bilang cocok. Wong beneran keliatan cocok kok, Mas…" katanya enteng, membuat Raka semakin gelagapan
Kini pria itu menatap marah kearah Mbak Sri. Dan dengan suara yang sedikit keras ia pun berucap sesuatu...
Bersambung...