Tak pernah terpikirkan sebelumnya jika Aruna harus menikah setelah kehilangan calon suaminya 1 tahun yang lalu. Ia dengan terpaksa menyetujui lamaran dari seorang pria yang ternyata sudah beristri. Entah apapun alasannya, bukan hanya Aruna, namun Aryan sendiri tak menerima akan perjodohan ini. Meski demikian, pernikahan tetap digelar atas restu orang tua kedua pihak dan Istri pertama Aryan.
Akankah pernikahan tanpa cinta itu bertahan lama? Dan alasan apa yang membuat Aruna harus terjebak menjadi Istri kedua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Trilia Igriss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26. Kebetulan yang disengaja
Setelah hampir 2 pekan Aryan tak pulang ke rumah Aruna, hari ini Ia kembali berkunjung dan menginap. Hal pertama yang Ia pastikan ialah keadaan Aruna saat ini. Ternyata Aruna memang baik-baik saja tanpa dirinya. Hanya saja, kecurigaan terhadap Rio mulai menyesakkan ulu hatinya. Sempat Ia berpikir jika ini perasaan cemburu, namun cepat-cepat Ia tepis agar tak menjadi sebuah pengharapan untuk ke depannya. Tapi, hatinya kembali sesak ketika mendapati Aruna tidak memakai ponsel pemberiannya.
"Kamu pakai ponsel siapa?" Tanya Aryan berhasil mengejutkan Aruna yang tengah fokus dengan ponsel baru di tangannya.
"Mas?" Pekiknya segera bangkit dari duduknya. Entah karena refleks atau memang takut, Aruna menyembunyikan ponsel itu di belakang tubuhnya dengan memasang wajah gugup. Kekerasan apa yang akan dialaminya sekarang? Itu, dan hanya itu pikiran Aruna mengenai Aryan yang Ia terka akan melakukan apa.
"Aku tanya, kamu pakai ponsel siapa? Kenapa dari saya gak kamu pakai?"
"Oh.. ini.. anu Mas.." karena terlalu gugup, jawabannya terbata dan seakan sulit untuk berucap.
"Kamu kenapa sih? Kenapa panik gitu?"
"Eng-enggak Mas... a-aku... maksudnya...."
"Coba tenang dulu! Aku gak marah kok. Aku cuma tanya dan mau tahu. Itu saja." Meski Aryan berucap dengan tenang dan tak mengintimidasi, namun Aruna tetap merasa takut dan khawatir karena kecurigaan Aryan terhadapnya.
"Ini... dari Oma, Mas. Mungkin" kata terakhir yang Ia ucapkan itu sedikit pelan. Ia benar-benar tak yakin dengan jawabannya. Entah kenapa, Ia merasa jika dirinya tengah berbohong padahal Ia berkata sejujur mungkin.
"Mungkin? Kenapa tak yakin? Apa ini dari Adnan?" Sontak saja, Aruna mendongak dan menggeleng cepat menyanggah dugaan Aryan.
"Bukan Mas. Serius. Ini bukan dari Mas Adnan. Kalau memang dari Mas Adnan, aku gak mungkin berani pakai."
"Terus kenapa kamu gak pakai pemberianku?"
'Deg!' Aruna tak langsung menjawab. Ia terdiam sejenak seraya merangkai kata-kata di kepalanya.
"Soalnya...."
"Masih trauma sama saya?" Kembali Aruna terdiam, namun kali ini Ia memalingkan wajahnya ke arah lain untuk menghindari kontak mata dengan Aryan. "Saya lapar. Mau makan masakan kamu." Imbuh Aryan seketika membuat Aruna semakin membeku. Apa maksud Aryan? Mengapa tiba-tiba ingin makan masakannya? Perasaan Aruna mendadak berkecamuk. Ia tak tahu harus senang atau sedih dengan permintaan Aryan tersebut.
"Aruna... kalau gak mau gapapa. Saya suruh bi Ima saja." Ujar Aryan kemudian. Aruna lagi-lagi menggeleng kasar menanggapi penuturan suaminya.
"Iya Mas. Mau makan apa?"
"Terserah kamu." Dan, jawaban ini yang tak ingin Aruna dengar. Kata 'terserah' baginya adalah kata yang sangat sulit diartikan.
"Tapi, Mas bakalan makan, kan?" Kali ini Aryan tak menjawab. Ia menatap datar wajah istrinya yang mendadak gugup dan salah tingkah. Aruna berlalu keluar dari kamar untuk membuatkan makan malam suaminya. Entah Ia akan ikut makan atau tidak, rasanya malam ini terasa tidak nyata.
...----------------...
"Bu... saya yakin, Pak Aryan pasti suka." Ujar Bi Ima secara tak langsung memuji masakan Aruna yang sudah tersaji di atas meja. Aruna menarik sebuah senyum yang begitu manis hingga Bi Ima merasa lega karena majikannya ini susah tidak terpuruk lagi.
"Bibi mau makan duluan? Takutnya Mas Aryan belum selesai mandinya. Bibi ambil aja lauknya, ya?!"
"Gak usah Bu... saya belum lapar. Lagi pula, ini Ibu buat khusus untuk suami Ibu."
"Enggak Bi... aku buat untuk semuanya kok. Sekalian Bibi cobain ya! Takutnya ada yang kurang bumbu atau kurang enak." Mendapati bujukan halus sang majikan, Bi Ima ragu-ragu mengangguk mengiyakan tawaran Aruna untuk makan lebih dulu. Apa tidak sopan jika Ia mendahului majikannya? Pikir Bi Ima tepat ketika Aruna mengambilkan beberapa lauk untuknya dan pelayan lain.
"Bu... itu terlalu banyak." Protes Bi Ima mengundang senyum di bibir Aruna.
"Mana ada banyak Bi? Memangnya Bibi makan selalu sedikit? Mumpung Mas Aryan belum turun." Ujarnya sedikit berbisik. Dan tak lama dari itu, terdengar suara langkah kaki mendekat ke ruang makan, dan Aruna membiarkan Bi Ima berlalu ke bagian kamar pembantu yang ada di sebelah rumah utama.
Setelah Aryan duduk, Aruna segera menyiapkan semua jenis masakan yang Ia sajikan di piring Aryan. Lelaki itu termangu sejenak karena ini baru kali pertama Ia dilayani makan malam oleh Aruna.
"Kamu sudah makan?" Tanya Aryan ketika Aruna memberikan makanan miliknya.
"Emm belum." Jawabnya dengan suara yang begitu pelan.
"Kenapa gak makan?"
"Nunggu Mas makan dulu." Jawabnya lagi. Kini Aruna menunduk sebelum Ia diminta duduk oleh suaminya. Dengan kode saja, Aruna mengerti jika Aryan menyuruhnya untuk tidak terus berdiri saja.
"Jadi, kalau saya gak ada, kamu gak pernah makan?" Lagi, Aruna terdiam mendapati pertanyaan yang tak bisa Ia jawab langsung. Melihat Istrinya yang tiba-tiba diam, Aryan hanya menghela nafas sejenak. "Ya udah. Gak usah dijawab. Saya tahu jawabannya kok. Lain kali, untuk kedepannya, ada atau gak ada saya di rumah, kamu harus makan. Apa yang akan saya katakan sama Oma kalau sampai dia tahu kamu malas makan cuma gara-gara saya gak ada di rumah." Imbuhnya menyadari kegugupan Aruna.
Suapan pertama Aryan pikir akan biasa saja, namun Ia mendadak terdiam dan merasai kembali masakan Aruna. Lezat, dan nyaris sama seperti masakan Gita. Apa mereka memiliki selera yang sama? Pikir Aryan menerka. Sementara itu, Aruna sedikit khawatir jika masakannya tak cocok di lidah Aryan.
"Enak." 1 kata yang terucap dari mulut Aryan, namun berjuta kebahagiaan yang dirasakan Aruna. Matanya mulai berkaca-kaca mendengar hal tersebut. Ia tak menyangka akan ada di titik dimana Ia mendapatkan pujian atas masakan yang Ia buat untuk suaminya. Aruna yang ikut penasaran, Ia melahap makanannya dan tanpa sadar Ia lebih lahap dari Aryan. Dan tanpa sadar pula, sebuah tangan menjulur mengarah ke pipinya dengan lembut membersihkan sisa makanan yang menempel di ujung bibir Aruna. Kedua pandangan itu bertemu, dan sama-sama mematung untuk beberapa detik. Mata yang tak asing, namun tak pernah terlihat saling jatuh cinta.
"Ma-maaf. Saya refleks. Tadi ada..."
"Gapapa. Aku yang kurang sopan makannya." Aryan tak bicara lagi, Ia tersenyum tipis mengakui jika Aruna memang terlihat takut kehabisan makanan. Tapi jika dipikir kembali, pantas saja Aruna sampai lahap begitu, bukankah setiap harinya Ia jarang makan?
...----------------...
Setelah makan malam selesai, Aruna tak langsung menyusul Aryan ke kamar. Ia memilih merapikan piring-piring kotor agar meringankan pekerjaan Bi Ima nantinya. Ditengah kesibukannya, suara ponsel berdering sehingga Ia harus menunda aktifitasnya. Alisnya mengernyit mendapati nomor tak dikenal memanggilnya. Siapa yang menghubunginya? Bukankah belum ada yang tahu dengan nomor barunya. Ragu Ia menjawab, dengan memastikan Aryan tak mendengar, Ia akhirnya mencoba mencaritahu siapa yang menghubunginya.
"Hallo." Sapanya.
"Hallo. Rey kau masih meeting?" Balas orang itu dari seberang. Aruna mengernyit dengan suara lelaki di seberang sana. Apa Adnan? Tapi suaranya bukan.
"Ini siapa?" Tanyanya lagi.
"Saya Rakha. Anda?"
"Salah sambung mungkin."
"Iya kah? Oh.. maaf kalau begitu. Kalau boleh tahu namanya siapa?"
"Saya Aruna."
"Sekali lagi maaf ya Aruna. Saya pikir teman saya, nomornya hampir sama."
"Tidak masalah. Kebetulan suami saya namanya juga Rey." Bersamaan dengan ucapannya kali ini, Aruna berpikir keras apa tujuannya memang pada suaminya? Tapi bukankah tak ada satu orang pun yang tahu nomor ini karena masih baru. Pikirannya kembali kacau setelah beberapa waktu sudah normal kembali. Dengan tiba-tiba sambungan telepon terputus begitu saja. Dan Aruna tak ambil pusing. Ia kembali melanjutkan aktifitasnya.
Sementara itu, Rio yang berhasil menghubungi Aruna pun bersorak penuh kemenangan. Raut wajah riangnya tak bisa Ia tutupi lagi. Selangkah demi selangkah, pelan tapi pasti Ia akan mendapatkan hati Aruna dna menunggu perceraian wanita itu dengan Aryan.
"Tak akan ada yang menyadari jika aku menggunakan nama belakangku." Ujarnya seraya terkekeh dengan ribuan rencana di kepalanya.
"Anda pembohong handal Pak." Entah pujian atau makian yang dilontarkan Sania untuknya, Aryan tak peduli. Ia akan melakukan segala cara untuk mendapatkan apa yang Ia mau. Termasuk Aruna yang sudah menjadi istri orang.
"Apa lagi rencana anda selanjutnya? Pak Bos?" Batin Sania yang benar-benar sudah lelah menyikapi perilaku bosmya itu. Namun, Ia sendiri penasaran akan apa yang akan dilakukan Rio setelah ini.
...-bersambung...
gimana ya thor aruna dg Adnan
biar nangis darah suami pecundang
masak dak berani lawan
dan aku lebih S7, Aruna dg Adnan drpd dg suami pecundang, suami banci
drpd mkn ati dg Aryan, sbg istri ke 2 pula
berlipat lipat ,
memikiran gk masuk akal sehat..