NovelToon NovelToon
Jadi Istri Om Duda!

Jadi Istri Om Duda!

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta pada Pandangan Pertama / Duda
Popularitas:9.1k
Nilai: 5
Nama Author: Galuh Dwi Fatimah

"Aku mau jadi Istri Om!" kalimat itu meluncur dari bibir cantik Riana Maheswari, gadis yang masih berusia 21 Tahun, jatuh pada pesona sahabat sang papa 'Bastian Dinantara'

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Galuh Dwi Fatimah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kangen

Kamar Riri tampak redup, hanya diterangi cahaya lampu meja yang lembut. Hujan tipis mengguyur di luar, menambah sepi malam itu. Sejak siang tadi, setelah kedatangan Bastian ke rumahnya, tak ada satu pesan pun masuk ke ponselnya. Padahal biasanya, sekadar pesan singkat seperti “Sudah makan?” atau “Kamu sedang apa, Ri?” selalu muncul di ponselnya.

Kini, Riri berbaring sambil menatap layar ponselnya. Jemarinya mengusap layar kosong berkali-kali, seolah dengan begitu pesan dari Bastian akan muncul tiba-tiba.

“Huh… Om ke mana sih?” gumamnya pelan, menarik napas berat.

Ia memeluk bantal gulingnya, menatap langit-langit. Ada perasaan aneh di dadanya — rindu yang tak tahu harus disampaikan ke mana.

“Kangen…” ucapnya lirih, hampir seperti bisikan yang hanya didengar dirinya sendiri.

Namun tepat saat itu, ponselnya bergetar pelan. Layar menyala, menampilkan nama yang membuat jantungnya berdebar cepat.

Bastian Menelepon...

“Om…” lirihnya, sebelum akhirnya ia menekan tombol hijau dengan cepat.

“Halo, Om!” sapanya dengan suara riang bercampur gugup.

Suara Bastian terdengar hangat di seberang sana, “Halo, Ri. Kamu belum tidur?”

“Belum, Om…” jawab Riri cepat, sambil menggigit bibir bawahnya. “Aku nungguin kabar dari Om.”

Terdengar tawa kecil dari ujung telepon. “Maaf ya, tadi saya sibuk banget. Ada meeting mendadak sama tim dari Singapura.”

“Oh…” hanya itu yang keluar dari mulut Riri, tapi dalam hatinya ia lega luar biasa.

“Kenapa diam?” tanya Bastian lembut.

“Enggak, cuma… ya seneng aja Om nelpon,” jawab Riri jujur.

Bastian tersenyum kecil di seberang sana, meski Riri tak bisa melihatnya. “Kamu itu, selalu aja bisa bikin saya gemas, Ri.”

“Om, aku boleh nanya sesuatu?” suara Riri menurun, terdengar hati-hati.

“Iya, boleh. Ada apa?”

“Aku…” Riri menelan ludah, menatap langit-langit lagi seolah mencari keberanian.

“Aku kangen…” katanya akhirnya, nyaris berbisik.

Hening sejenak di antara mereka. Hanya terdengar suara hujan dari kejauhan.

Bastian tidak langsung menjawab. Ia menatap jendela apartemennya yang basah oleh air hujan, merasa dadanya ikut hangat oleh kata sederhana itu.

“Riri…” suaranya pelan. “Kamu tahu gak, kamu bikin saya gak tenang kalau kamu kayak gitu.”

“Kenapa emangnya?” Riri membalas cepat, dengan nada manja.

“Karena saya juga…” Bastian berhenti sejenak, menimbang kata-katanya. “Saya juga kangen sama kamu, Riri.”

Pipi Riri langsung merona. Ia memeluk bantalnya makin erat. “Serius Om?”

“Iya. Tapi kamu jangan manja malam-malam gini, Saya takut gak bisa menahan diri.”

"Emang kenapa kalau aku manja? Kan aku cuma manja sama Om," ucap Riri semakin menggoda.

"Kalau aku gak boleh manja sama Om, aku manja sama yang lain aja, boleh?"

"Enggak." Jawab Bastian seketika.

"Lagipula aku gak mau manja sama yang lain, aku maunya manja sama Om aja."

"Riri, kamu tunggu sebentar ya, jangan dulu tidur." Ucap Bastian tiba-tiba.

"Lho, Kenapa om?" Riri keheranan sebab diminta menunggu tanpa penjelasan.

"Tunggu aja, oke." Sahut Bastian. dan Riri hanya bisa meng'iya'kan ucapan prianya itu.

Malam itu udara terasa lembab karena hujan sejak sore yang terus turun hingga malam hari. Di dalam kamarnya, Riri duduk di tepi ranjang, menatap layar ponselnya yang kini gelap setelah panggilan dari Bastian terputus.

“Tunggu aja,” begitu kata Bastian tadi.

Tunggu untuk apa? Iya pun tidak tahu pasti, Riri menatap jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul 22.10.

“Om tuh mau ngapain sih...” gumamnya pelan, diantara rasa bingung dalam dirinya.

Ia menatap pantulan dirinya di cermin meja rias. Rambutnya ia biarkan tergerai, piyama biru muda yang ia kenakan tampak sederhana, tapi entah kenapa malam itu ia merasa gugup.

 

Sementara itu, di jalanan ibu kota yang mulai sepi, Bastian melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Lampu-lampu jalan menari di kaca depan mobilnya, sementara pikirannya hanya terisi oleh satu nama, Riri.

“Dia nunggu gak ya?” ucapnya lirih.

Hatinya berdebar aneh, setiap sudutnya dipenuhi rasa rindu pada Riri. Malam itu, ia merasa sulit untuk menahan diri lagi.

Begitu sampai di depan rumah Riri, Bastian mematikan mesin mobilnya. Rumah itu gelap di bagian depan, hanya teras yang diterangi lampu temaram. Ia menatap jam tangannya, pukul 22.25.

Dengan langkah hati-hati, ia masuk ke halaman rumah Riri..

Ia mengambil ponsel di dalam sakunya, lalu mengetik pesan untuk dikirimkan kepada Riri.

Om Bastian : "Saya di depan rumah kamu sekarang."

Tak ada jawaban dari pesan itu. Tapi beberapa detik kemudian, tirai jendela kamar di lantai dua bergerak. Lalu suara pelan memanggil dari atas.

“Om?”

Bastian mendongak. Riri menatap ke bawah dengan mata bulat dan ekspresi kaget setengah tak percaya.

“Turun, Ri,” ucap Bastian, menatapnya lembut.

“Om ngapain ke sini malam-malam?” bisik Riri dari jendela.

“Tadi kamu bilang kangen sama saya kan.”

Nada suara Bastian dalam, hangat, tapi juga menekan sesuatu yang sulit dijelaskan.

Riri terdiam beberapa saat. Pipinya terasa panas.

“Tapi ada Mama sama Papa Om” jawabnya khawatir.

Bastian tersenyum kecil. “Saya gak lama. Saya cuma mau liat kamu sebentar.”

Riri menatapnya dalam, lalu dengan langkah pelan ia turun ke lantai bawah. Sesekali ia menoleh ke arah kamar orang tuanya yang sudah tertutup rapat. Setelah memastikan aman, ia membuka pintu depan dengan perlahan.

Ciiit— suara engsel pintu yang berdecit membuatnya refleks menutup mulut.

“Om...” Riri berbisik begitu keluar. “Om udah gila ya, datang jam segini.”

Bastian tertawa kecil. “Saya gila kan karena kamu, Ri. Kamu nyalahin saya?”

“Kok gara-gara aku?”

“Siapa yang tadi bilang kangen dan mau manja sama saya, hm?” jawab Bastian dengan nada menggoda.

Riri menunduk, jantungnya berdetak cepat. “Om... Aku emang bilang gitu, tapi aku gak nyangka kalau Om bakal datang kesini.”

Bastian menatapnya lama. Tatapan itu membuat Riri gugup, ada sesuatu di sana, lembut tapi juga dalam.

“Saya beneran cuma mau liat kamu, Ri,” katanya akhirnya.

“Tadi kamu yang bilang kangen, tapi sejujurnya... saya yang lebih kangen sama kamu.”

Riri menelan ludah, tak tahu harus menjawab apa. Udara malam terasa lebih dingin, tapi tubuhnya terasa hangat.

“Sekarang udah liat kan? Yaudah, kalau gitu sekarang om pulang.” Ujar Riri.

“Gitu aja?” tanya Bastian.

“Iya, kan cuma liat katanya.” Jawab Riri.

Namun sebelum Bastian sempat membalas, Riri tiba-tiba mendekatkan wajahnya ke arah Bastian, lalu meberikan ci-uman singkat di pipinya,

Cup..

“Makasih udah dateng, om.”

Ia tersenyum kecil — senyum yang membuat dada Bastian bergetar. Pria itu hanya bisa membalas dengan anggukan sebelum berbalik menuju mobilnya.

Saat Bastian membuka pintu mobil, Riri bersuara lagi, lebih lirih kali ini.

“Om...”

Bastian menoleh.

“Hati-hati di jalan, ya.”

1
nur adam
lnjut
Grindelwald1
Wah, mantap!
Galuh Dwi Fatimah: terimakasih!!
total 1 replies
Niki Fujoshi
Capek tapi puas baca cerita ini, thor! Terima kasih sudah membuatku senang.
Galuh Dwi Fatimah: Terimakasih kak, semoga harimu selalu menyenangkan
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!