Cewek naif itu sudah mati!
Pernah mencintai orang yang salah? Nainara tahu betul rasanya.
Kematian membuka matanya, cinta bisa berwajah iblis.
Namun takdir memberinya kesempatan kedua, kembali ke sepuluh tahun lalu.
Kali ini, ia tak akan menjadi gadis polos lagi. Ia akan menjadi Naina yang kuat, cerdas, dan mampu menulis ulang akhir hidupnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HaluBerkarya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25.
Naina meraih sebuah kertas kecil yang anak baru itu jatuhkan. Sebelum dia buka, Naina kembali melirik ke meja Jaevan, di mana pria itu sudah duduk santai, namun pandangannya tetap berarah ke Naina.
‘Buka!’ bibir Jaevan membentuk kata tanpa suara, cukup jelas untuk ditangkap Naina. Bergegas, gadis itu membuka kertas itu. Alisnya mengerut, tampak tidak mengerti maksud dari sepenggal kalimat tulisan tangan itu.
"Tidak semua yang kau anggap baik menunjukan wajah aslinya. Ada yang licin, licik dan tentu penuh misteri."
Beberapa kali Naina membaca tulisan itu, berusaha memahami arti dari kalimat tersebut, tapi tidak bisa dia jabarkan.
"Kamu kenapa, Sayang?" Zora yang sejak tadi memperhatikan perubahan raut wajah Naina akhirnya bertanya. Tatapannya jatuh pada kertas kecil dalam genggaman Naina yang buru-buru berusaha gadis itu hancurkan.
"Itu kertas apa?" tanya Zora, tangannya terulur meminta.
"Entah, coba kamu baca!" Naina menyerah, menyodorkan kertas itu pada sahabatnya. Zora lekas membaca, dan sama seperti Naina, alisnya juga berkerut bingung.
"Tidak semua hal yang kamu anggap baik menunjukan wajah aslinya… maksudnya gimana? Ini surat dari siapa?" tanya Zora penasaran.
Naina tidak menjawab, hanya matanya yang melirik sekilas ke meja belakang. Itu sudah cukup memberi jawaban pada Zora. Apalagi meski mereka pandangi, cowok itu tetap tidak beralih atau sekadar salah tingkah. Jaevan justru mempertahankan senyumnya. Senyum tipis yang entah kenapa terasa mengganggu, membuat udara di sekitar mereka seolah mengerut.
Ting!
Suara notifikasi ponsel Naina memotong keheningan. Spontan, dia meraih ponselnya. Ada pesan masuk dari nomor tak dikenal.
"Hewan ini kerap digambarkan sebagai hewan yang licik dan berbahaya. Ia pandai menyembunyikan jejak, bahkan ekornya sendiri."
Brak!
"Apa-apaan coba maksudnya!" tanpa sadar, Zora menggebrak meja. Suara keras itu membuat beberapa murid kaget, bahkan guru yang sudah mulai menulis di papan menoleh.
"Ada apa, Zora?" suara gurunya datar tapi tegas. Langkah sepatunya membawa tubuhnya ke arah meja mereka.
Sementara Naina bahkan tidak peduli. Tatapannya terpaku pada kertas yang sudah diremas di telapak tangan, dan genggaman ponsel yang terasa makin erat. Ada sesuatu yang membuat dadanya menegang, meski dia sendiri tidak tahu apa.
"Ti… tidak apa-apa, Pak." Zora buru-buru menyengir kikuk. Wajahnya memerah saat mendengar tawa dan sorakan beberapa murid lain.
"Huuuu, ngantuk pasti, Pak!" celetuk salah satu dari mereka, disusul riuh kelas.
"Diam! Zora, sebagai hukuman kamu berdiri sampai jam saya selesai." Titah guru itu membuat suasana kelas kembali hening. Zora mendengus pelan, lalu bangkit dengan malas.
Tatapan guru itu kemudian bergeser ke Naina. "Naina, kenapa pegang ponsel?"
Tersadar baru ketahuan, Naina tergagap, buru-buru menyembunyikan ponselnya ke dalam tas. Tapi semua gerak-geriknya jelas terlihat. Bahkan Julian yang duduk agak jauh ikut melirik, matanya mengunci penuh tanda tanya.
"Tidak perlu disimpan. Saya sita. Serahkan sekarang," perintah guru itu, tangannya terulur.
Dengan berat hati, Naina menyerahkan ponselnya. Jemarinya sempat menahan sesaat sebelum benar-benar lepas. Baru setelah itu, dia menunduk, pura-pura sibuk dengan buku catatannya.
...----------------...
Ekor mata Julian menangkap senyum Jaevan yang jelas ditujukan padanya. Seketika, tangannya mengepal kuat di bawah meja. Ruangan kembali hening, semua siswa berusaha fokus mendengarkan pelajaran.
Hingga akhirnya jam berganti. Wajah-wajah tegang perlahan mengendur seiring langkah guru killer itu meninggalkan kelas setelah mengembalikan ponsel Naina. Suasana berubah riuh lagi, napas lega terdengar di beberapa sudut, sementara sebagian lain terlihat santai menanti guru terakhir.
Julian memutar kursinya, kini berhadapan langsung dengan Naina.
“Kalian tadi kenapa?” tanyanya pelan, menatap wajah gadis itu lama.
“Anak baru itu aneh,” bisik Naina, sambil melirik Jaevan di kursi belakang. Julian mengikuti arah tatapannya, tapi kali ini Jaevan tampak sibuk dengan ponselnya, seolah tak menyadari kalau diperhatikan.
“Hm, aneh gimana maksudnya?” selidik Julian, wajahnya jelas menyimpan rasa ingin tahu.
“Kamu baca ini.” Naina menyerahkan kertas kecil yang tadi jatuh. Julian membacanya dengan saksama.
“Ini juga,” lanjut Naina, memberikan ponsel dengan pesan dari nomor asing itu.
“Shit!” umpat Julian spontan. Tangan kekarnya mengepal keras di bawah meja. Tatapannya berubah dingin, menusuk ke arah Jaevan yang justru membalas dengan senyum mengejek.
“Menurutmu maksudnya gimana? Lagian dia siapa sih, datang-datang bikin penasaran aja,” gerutu Naina, wajahnya masih dipenuhi tanda tanya.
Julian meraih kertas itu, lalu merobeknya hingga hancur tak bersisa. “Orang aneh. Nggak usah diladenin, cuma omong kosong!” ujarnya dingin, sebelum kembali membalikkan badan ke depan.
Naina hanya mengangguk singkat, berusaha mengubur rasa penasarannya dan fokus lagi pada pelajaran.
“Eh, kenapa Julian kelihatan marah?” bisik Zora pelan. Meski begitu, telinga tajam Julian tetap menangkap ucapan itu.
“Enggak marah kok,” jawab Naina, sama sekali tak menyadari perubahan raut wajah Julian.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...