Seharusnya Aluna tahu kalau semesta tak akan sudi membiarkan kebahagiaan singgah bahkan jika kebahagiaan terakhirnya adalah m*ti di bawah derasnya air hujan. la malah diberikan kesempatan untuk hidup kembali sebagai seorang gadis bangsawan yang akan di pe*ggal kep*lanya esok hari.
Sungguh lelucon konyol yang sangat ia benci.
Aluna sudah terbiasa dibenci. Sudah kesehariannya dimaki-maki. la sudah terlanjur m*ti rasa. Tapi, jika dipermainkan seperti ini untuk kesekian kali, memang manusia mana yang akan tahan?!
Lepaskan kemanusiaan dan akal sehat yang tersisa. Ini saatnya kita hancurkan para manusia kurang ajar dan takdir memuakkan yang tertoreh untuknya. Sudikah kamu mengikuti kisahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sandri Ratuloly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25
"Duke Blance sekarang sudah tamat, Nona Saintess." Aluna menoleh pada Clara yang baru saja masuk ke kamarnya. Aluna baru saja beristirahat setelah mengobati beberapa orang. Fisiknya masih belum mendukungnya untuk mengeluarkan banyak kekuatan suci.
"Hukumannya belum diputuskan, Clara. Dia belum tamat untuk sekarang." Aluna hanya bertemu Duke Blance satu kali di hari penobatannya sebagai Saintess. Selain itu, hanya memori Agatha yang membuatnya ingat perihal Sang Duke.
Bagaimana pria itu menghukumnya dengan kejam, membuat ibunya menderita rasa sakit tidak terkira, juga saat pria itu membuang anaknya di penjara gelap. Aluna juga tidak akan pernah lupa siapa yang berusaha menodai tubuhnya.
"Aku yakin dia akan dijatuhi hukuman ma-ti. Kau bisa tenang, Saintess. Raja tidak mungkin berani mengecewakan rakyatnya lagi." Amarah rakyat tengah memuncak saat ini. Ketika seorang bangsawan muncul di hadapan rakyat, gurat kekecewaan dan curiga pasti melintas di wajah mereka.
"Aku tidak yakin dia akan dihukum ma-ti." Takdirlah yang membuat Aluna ragu. Duke Blance tidak ditakdirkan ma-ti sedini ini. Dia tidak yakin bisa mengubah takdir kema-tian seseorang.
Jemari Aluna tanpa sadar meremas bajunya dengan begitu kuat. Satu pertanyaan melintas di benaknya. Jika takdir kema-tian Duke bisa diubah, apakah takdir kema-tiannya juga bisa diubah?
[Tidak mungkin! Bagaimana bisa Duke Blance hancur olehmu! Ini tidak boleh terjadi!] Sistem mulai berisik lagi. Ketakutan nampak jelas terdengar dalam suaranya.
"Hadapilah kenyataan ini, Dasar Layar datar Berisik. Lain kali tokoh kesayanganmu yang akan aku hancurkan." Bibir Aluna membentuk seringai. Dia tidak sabar menanti hari di mana tokoh utama hancur satu per satu dengan tangannya.
[Tidak boleh! Kau tidak boleh melakukan itu, Manusia! Jangan melawan takdir!]
Detik berikutnya, rasa sakit menjalar ke setiap inci seluruh tubuh Aluna. Dia segera berkata kepada Clara, "Tolong keluar dan jangan biarkan seorangpun masuk, Clara. Aku ingin istirahat lagi."
Clara tidak menyadari Aluna tengah menahan rasa sakit. Dia menuruti ucapan gadis itu. Tidak lupa menutup pintu agar tidak ada yang menganggu istirahat Aluna.
"Arghh." Dadanya sesak tidak karuan. Napasnya juga tidak beraturan. Rasanya seperti ratusan pisau tajam menusuk dirinya secara bersamaan.
Aluna menggigit bibirnya kuat. Menahan suaranya agar tidak ada yang mendengar lantas menyaksikan rasa sakitnya. Biarkan dia merasakan semua ini sendiri tanpa diketahui orang lain.
Ceklek!
"Aluna, apa kau sudah istirahat?" Eugene membeku di tempatnya. Dia melihat gadis itu menahan kesakitan lantas menutupi mulutnya. Lalu, darah keluar dari mulut gadis itu. Menetes pada seprei dan baju putihnya.
Perkataan Aluna kembali terngiang di kepalanya. "Aku akan ma-ti setelah sebulan." Kalimat itu mengikis kewarasan Eugene. Dia melangkah mendekati gadis itu. Bersimpuh di samping ranjang Aluna. Tangannya meraih jemari Aluna. Ia menyalurkan kekuatan sucinya. Berharap gadis itu akan sembuh dari lukanya.
"Aluna, apa yang terjadi? K-kenapa kekuatan suciku tidak bisa menyembuhkanmu?" Eugene tergagap. la menyalurkan lebih banyak kekuatan suci, tapi hasilnya percuma. Kekuatannya tidak berefek apa-apa saat ini.
[Dua minggu sudah berlalu dan aku pastikan kau akan ma-ti dua minggu lagi! Camkan ini manusia! Ini akibatnya karena kau melawan takdir!]
Aluna kesulitan untuk mengucapkan sepatah kata untuk menenangkan Eugene. Dia tahu rintihan sakitnya akan keluar jika dirinya membuka bibirnya. Aluna tidak ingin Eugene mendengar rintihannya. Dia tidak ingin Eugene semakin khawatir.
"Ak-aku akan membiarkan pendeta lain datang menyembuhkanmu." Eugene merasakan tangan Aluna mencekalnya. Gadis itu menggelengkan kepala. Ini percuma. Dia juga tidak ingin orang lain tahu kondisi tubuhnya.
"Aku baik-baik saja, Eugene. Jangan khawatir." Mustahil Eugene bisa menyingkirkan kekhawatirannya di saat gadis itu merintih kesakitan. Dia tidak berhenti batuk darah.
Eugene juga tidak yakin pendeta lain bisa membantu. Kekuatannya saja tidak berefek apapun pada gadis itu.
"Jangan pergi," bisikan lirih keluar dari belah bibir Aluna. Eugene segera merengkuh tubuh ringkih gadis itu. Pertahanannya runtuh. Hatinya ikut merasakan sakit yang teramat.
"Maaf. Maafkan aku. Aku tidak berguna. Maafkan aku, Aluna."
Eugene terus menggumamkan kata maaf tanpa menghentikan kekuatan sucinya terus mengalir pada Aluna. Dia tidak peduli kekuatan sucinya akan habis. Dia hanya ingin menyingkirkan rasa sakit atau paling tidak meringankan rasa sakit itu.
Ini bukan kesalahan Eugene. Pemuda itu tidak salah apa-apa. Aluna malah sangat bersyukur seseorang bersedia untuk mengkhawatirkan dirinya.
"Eugene, aku baik-baik saja." Kenapa gadis dalam dekapannya masih berusaha membuatnya tenang di saat dirinya tengah kesakitan? Eugene lagi-lagi menyalahkan dirinya. Kenapa Aluna harus merasakan rasa sakit ini?
"Diamlah, jangan berusaha menenangkanku lagi." Eugene merasakan matanya memanas. Apakah sungguh tidak ada yang bisa dia lakukan untuk meringankan rasa sakit Aluna?
"Eugene," panggil Aluna. Eugene yang mulanya menundukkan kepala perlahan mengangkat kepalanya. Aluna tertegun melihat netra penuh binar pemuda itu sekarang berkaca. Sudah lama sekali seseorang mau menangis untuknya. Sosok pertama dan terakhir ialah ibunya. Bertahun-tahun kemudian, yang dia dapatkan hanyalah makian.
Aluna mengelus pipi pemuda itu. Darahnya menodai Eugene. "Terima kasih."
Terima kasih telah ada di sampingnya saat ia kesakitan. Terima kasih telah mau mengkhawatirkan kondisinya.
Pandangan Aluna memburam lantas semuanya berubah gelap.
•••
"Aku hanya meminta Clara mengganti bajumu. Dia juga tidak akan mengatakan apapun kepada orang lain." Aluna mengangguk pelan. la menerima suapan bubur dari Eugene. Gadis itu tidak sanggup menatap mata Eugene. Dia tidak tahu bagaimana menjelaskan ini semua. Dua kali atau mungkin tiga kali Eugene mendapati dirinya yang tengah kesakitan.
"Kalau kau tidak ingin mengatakannya, itu tidak masalah. Tapi, biarkan aku mengundang dokter untuk memeriksa. Jika kekuatan suci tidak bisa, mungkin dokter bisa melakukannya."
Ini bukan penyakit. Dokter tidak akan menemukan penyebabnya. Tapi, Aluna tidak tega menolak permintaan Eugene.
Eugene yang melihat Aluna tidak menjawab menganggap itu sebagai bentuk persetujuan. "Jangan terluka lagi, Aluna. Aku tidak sanggup melihatmu kesakitan."
Pipi Aluna bersemu merah. Hangat meresap ke dalam dadanya. Ada hati yang diam-diam terpesona dengan tuturan pemuda bersurai pirang itu.
"Kenapa?" Apa karena mereka sudah menjadi teman? Atau ada alasan lain yang mendasari kekhawatiran Eugene? Aluna menanti jawaban dari Eugene.
"Apakah belum jelas?" Mata pemuda itu berkedip bingung. Selanjutnya, senyum cerah menghiasi wajah rupawan miliknya. "Aku menyukaimu. Memangnya kau belum tahu?"
Eugene telah lama menegaskan perasaannya. Rasa ini benar-benar nyata adanya. Jauh lebih besar Emily yang kemudian membuatnya bingung kenapa ia bisa menyukai gadis itu.
Aluna merasakan seluruh wajahnya panas. la menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Berusaha menyembunyikan rona merah itu dari Eugene yang sayangnya telah melihatnya dengan jelas.
Pemuda itu terkekeh pelan. Telapak tangannya mendarat pada puncak kepala Aluna. Mengelus surai lembut gadis itu.
Bukan hanya sikap dan kebaikan gadis itu yang membuatnya terpesona. Dia jatuh cinta karena ini Aluna. Bukan karena alasan rumit lainnya.