NovelToon NovelToon
Iparku

Iparku

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Beda Usia / Keluarga / Romansa / Sugar daddy
Popularitas:4.7k
Nilai: 5
Nama Author: Khozi Khozi

"mbak meli ,besar nanti adek mau sekolah dikota smaa mbak "ucap lita yang masih kelas 1 SMP
" iya dek kuliahnya dikota sama mbak "ucap meli yang sudah menikah dan tinggal dikota bersama suaminya roni.

apakah persetujuan meli dan niat baiknya yang ingin bersama adiknya membawa sebuah akhir kebahagiaan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khozi Khozi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

episode 25 permulaan

Dor! Dor! Dor!

Suara tembakan mendadak memecah keheningan malam, menghantam kaca jendela besar di lantai bawah rumah mewah milik Dias. Kaca berhamburan ke lantai, membangunkan seluruh penghuni rumah.

Dias terlonjak bangun dari tidurnya, begitu juga Rita yang langsung duduk dengan wajah pucat ketakutan.

“Astaga, suara apa itu? Siapa yang berani membuat keributan di rumah ini?” seru Dias gusar sambil segera bangkit dari ranjang.

Gista, putri mereka yang masih remaja, ikut terbangun. Dengan mata yang masih sayu, ia menggenggam lengan ayahnya.

“Ada apa ini, Yah?” tanyanya panik.

Dias segera memeluk anaknya. “Tidak apa-apa, sayang. Tenang dulu. Ayah di sini,” ucapnya lembut. Sejak kecil, Gista selalu dimanja. Semua permintaannya dituruti karena Dias dan Rita ingin putrinya hidup bahagia. Namun, mereka tak pernah menyadari bahwa dunia tidak selalu berpihak. Malam ini, bayangan kehancuran mulai menyelinap tanpa mereka sadari.

Dias melangkah cepat menuju ruang tengah dan memanggil salah satu penjaga rumahnya.

“Cari tahu sekarang juga! Siapa orang kurang ajar yang berani menembaki rumah saya!” suaranya menggelegar penuh amarah.

“Baik, Tuan!” jawab satpam itu tegas sebelum berlari ke halaman depan.

Belum sempat tenang, suara tembakan kembali terdengar. Kali ini lebih dekat, disertai jeritan keras yang menusuk telinga. Dias langsung berlari keluar dengan jantung berdebar, hanya untuk menemukan pemandangan mengerikan: dua satpamnya tergeletak di teras depan dengan darah membasahi pakaian mereka, peluru menembus dada.

“Sial!” teriak Dias, matanya merah menahan amarah sekaligus kecemasan. “Siapa yang berani membuat kekacauan seperti ini di rumah saya?!”

Rasa tidak aman langsung menyelimutinya. Ia bergegas masuk kembali, meraih ponsel, lalu menelpon bodyguard pribadi yang biasanya bertugas di luar kota.

“Segera ke rumahku sekarang juga. Bawa anak buahmu. Ada serangan. Jangan sampai seorang pun bisa mendekat!” perintahnya singkat, penuh tekanan.

Begitu menutup telepon, ia menoleh pada Rita yang wajahnya sudah pucat pasi.

“Dua satpam mati. Ada seseorang yang sengaja mencari masalah besar di rumah ini,” ucapnya dingin.

“Apa itu musuhmu, Mas?” tanya Rita gemetar, berusaha menahan rasa takut.

Dias menarik napas panjang, lalu menatap tajam. “Aku belum tahu siapa. Tapi kalau dia berani muncul di hadapanku… sumpah, akan segera kuhabisi.”

Kemudian ia mengusap kepala putrinya yang masih ketakutan. “Sayang, sekarang kamu lanjut tidur dulu, ya. Tidak akan ada apa-apa. Ayah akan pastikan rumah ini aman,” ucapnya sambil menuntun Gista kembali ke kamar. Ia menutup pintu kamar putrinya pelan, berusaha terlihat tenang meski dalam hati ia tahu, malam ini adalah awal dari ancaman besar yang mengintai keluarganya.

Dari dalam mobil hitam berlapis kaca gelap yang terparkir tak jauh dari rumah Dias, Roni duduk bersandar dengan tenang. Wajahnya tersembunyi di balik masker dan kacamata hitam, namun sorot matanya menusuk tajam, penuh dendam yang tak terbendung. Di sampingnya, seorang bodyguard setia mengawasi keadaan di luar.

Roni menyeringai tipis ketika mendengar suara tembakan yang memecah malam, lalu melihat dari kejauhan dua satpam Dias roboh bersimbah darah. Ia mengangguk puas, seolah itu hanya awal dari rencana panjangnya.

“Ini belum seberapa, Dias…” ucapnya lirih, suara beratnya terdengar dingin dan penuh ancaman. Jari-jarinya mengetuk perlahan permukaan kursi mobil, irama kecil yang menandakan kesabarannya akan segera habis.

Pandangan Roni lalu beralih ke arah jendela lantai atas. Bibirnya menyunggingkan senyum miring, kejam.

“Jadi itu anakmu?” gumamnya pelan, nyaris berbisik. “Hm… rupanya anak dan ayah sama saja. Lemah. Dan keduanya akan merasakan akibatnya.”

Bodyguard yang duduk di depan menoleh sekilas melalui kaca spion, menunggu perintah.

“Bos, apakah kita lanjutkan sekarang?” tanyanya hati-hati.

Roni mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk menunggu. “Belum. Biarkan dia merasakan ketakutan dulu. Aku ingin Dias tahu… bahwa tidak ada tempat aman bagi dia ataupun keluarganya. Semua ini baru permulaan.”

Ia kembali menyandarkan tubuhnya, matanya tak lepas dari rumah besar itu. Senyum licik masih terukir di wajahnya. tapi juga sebuah ancaman baru yang bisa menghancurkan seluruh dunia milik Dias, sedikit demi sedikit.

Pagi itu, Lita terbangun dengan rasa malas yang masih menempel di tubuhnya. Setelah berusaha mengumpulkan tenaga, ia akhirnya bangkit dari ranjang, melangkah menuju kamar mandi, dan mulai bersiap seperti biasanya. Rambutnya masih sedikit basah ketika ia duduk di tepi ranjang sambil mengenakan sepatu. Tepat pada saat itu, pintu kamar terbuka dan Vina masuk sambil membawa nampan berisi sarapan.

“Selamat pagi, Nona. Hari ini lebih baik Nona tidak berangkat kuliah dulu. Kondisi Nona masih belum sepenuhnya stabil,” ucap Vina dengan nada penuh perhatian.

Lita menghela napas panjang lalu mendengus pelan. “Lebay banget sih kamu. Aku udah sehat kok,” balasnya acuh tak acuh. Ia segera berdiri untuk meraih tasnya yang biasanya tergantung di kursi. Namun kali ini, tas itu tidak ada di tempatnya. Ia menoleh ke kanan dan kiri, wajahnya langsung menegang.

“Eh, tas aku kemana? Jangan-jangan ini ulah kamu, ya, Vin?” Lita menatapnya dengan alis mengernyit.

Vina tetap tenang, bahkan tersenyum kecil. “Tasnya saya simpan dulu, Nona. Sekarang yang penting Nona sarapan dulu,” katanya sambil menyodorkan sendok berisi bubur hangat ke depan mulut Lita. Dengan enggan, Lita akhirnya menuruti, membuka mulutnya, dan menerima suapan itu.

---

Sementara itu, di kampus, suasana pagi terasa biasa saja bagi sebagian besar mahasiswa, tetapi tidak untuk Gista. Wajahnya terlihat lebih pucat dari biasanya, matanya sayu dengan lingkaran hitam jelas terlihat akibat kurang tidur. Sahabat-sahabatnya segera menyadari perubahan itu.

“Lo kenapa, Gi? Kok keliatan parah banget?” tanya salah satu temannya dengan nada khawatir.

Gista menarik napas berat, lalu menunduk sejenak sebelum menjawab. “Semalam... ada orang yang coba nyelakain orang rumah. Kaca jendela rumah gue ditembak.” Suaranya bergetar ketika menceritakan hal itu.

Kedua sahabatnya sontak terkejut. “Serius?! Ngeri banget. Jangan-jangan itu musuh bokap lo?” ucap temannya dengan nada panik.

Gista hanya bisa menggeleng pelan, matanya berkaca-kaca. “Gue juga nggak tahu siapa. Tapi yang lebih parah… mereka juga nembak satpam rumah gue. Dia meninggal di tempat.”

Ucapan itu membuat kedua sahabatnya terdiam kaku. Wajah mereka berubah pucat, sulit mempercayai apa yang baru saja mereka dengar.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!