NovelToon NovelToon
Si PHYSICAL TOUCH

Si PHYSICAL TOUCH

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Beda Usia / Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Harem
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: gadisin

Edam Bhalendra mempunyai misi— menaklukkan pacar kecil yang di paksa menjadi pacarnya.

"Saya juga ingin menyentuh, Merzi." Katanya kala nona kecil yang menjadi kekasihnya terus menciumi lehernya.

"Ebha tahu jika Merzi tidak suka di sentuh." - Marjeta Ziti Oldrich si punya love language, yaitu : PHYSICAL TOUCH.

Dan itulah misi Ebha, sapaan semua orang padanya.

Misi menggenggam, mengelus, mencium, dan apapun itu yang berhubungan dengan keinginan menyentuh Merzi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gadisin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ebha

HAP!

Gadis itu langsung melompat ke depan ketika mobil yang dikendarai Ebha keluar gerbang. Ebha tak perlu terkejut karena itu sudah biasa.

"Ebha!"

"Ya, Non—"

"—Sayang. Kan hanya kita berdua sekarang." Koreksi Merzi mencondongkan badannya pada Ebha. Sikutnya bersandar di lengan Ebha.

"Ya– Sayang." Cicit Ebha.

Merzi terkikik dan kembali duduk normal. "Tidak ada."

Ebha mengangguk.

"Bagaimana tidur no— kamu tadi malam?"

"Seperti biasa. Nyenyak. Ebha?"

"Saya juga."

Hening menghampiri. Merzi menyetel lagu mengiring perjalanan mereka.

"Ayah bilang ayah sedang mencari sopir baru. Ebha tahu?"

Ebha menoleh sekilas dan mengangguk. "Tahu, Nona. Tuan sudah mengatakannya pada saya sebelum perjalanan bisnis."

"Nona lagi." Sungut Merzi. Bibirnya maju.

"Maksud saya Marjeta. Tuan Oldrich sudah mengatakannya beberapa hari yang lalu, Marjeta."

Merzi menyandarkan punggungnya ke kursi. "Merzi tidak butuh sopir. Bahkan Merzi kepikiran untuk meminta pada ayah agar Ebha mengantar dan menjemput Merzi seperti dulu."

"Apa yang tuan Oldrich lakukan untuk kebaikan kamu juga."

"Benar…." Gadis itu menghela napas kasar. "Tapi Merzi tidak membutuhkan sopir. Sudah ada Ebha dan untuk apa sopir lagi?"

"Mungkin untuk memudahkan saja."

"Apa selama ini Ebha merasa kesusahan bersama Merzi?"

Kening Ebha berkerut mendengar pertanyaan Merzi. Apakah wajahnya terlihat seperti orang yang enggan?

"Tentu tidak. Kenapa berpikiran seperti itu?"

Mengedikkan bahu, Merzi menjawab, "Tidak. Ebha bilang kan untuk memudahkan. Merzi pikir Ebha kesusahan."

Mendengar itu Ebha memberanikan diri meraih tangan Merzi untuk di genggam. Dia bisa merasakan sentakan dari sang empu tapi dia menggenggam lebih erat. "Usir pikiran itu. Selama saya bekerja menjadi pengawal kamu saya tidak pernah merasa kesusahan atau menyesal."

Merzi menatap tangannya dan wajah Ebha bergantian. Jantungnya berdetak tak karuan ditatap Ebha begitu intens.

"Bahkan sekarang saya punya tanggung jawab lain. Bukan hanya menjaga kamu. Tapi juga membuat kamu bahagia memiliki saya, Marjeta." Punggung tangan Merzi di kecup.

Sedangkan Merzi merasa hatinya berbunga-bunga. Cinta pertamanya begitu manis. Sejak Ebha menjadi bodyguard-nya, dia memang tidak pernah melirik laki-laki lain untuk menjadi kekasih di umur tujuh belas tahun yang sudah di rencanakannya sejak dulu. Tidak peduli asal dan bekerja lelaki ini, Merzi telah memilih. Beruntung pilihannya tepat.

"Sudah sampai. Mau turun sekarang?"

Suara Ebha menyadarkannya. Dia melihat ke depan. Benar. Mereka telah tiba di parkiran sekolahnya.

"Ah-yeah!" Tangannya masih dipegang Ebha. Merzi kembali menatap lelaki itu. Mungkin masih ada yang ingin Ebha katakan?

"Sebentar." Tahan Ebha.

Merzi tak bersuara. Menunggu Ebha melanjutkan kalimatnya.

"Tuan Oldrich mengetahui kejadian di Mall hari itu."

Mata Merzi terbelalak. Mulutnya terbuka ingin mengatakan sesuatu tapi ternyata Ebha lebih dulu berucap lagi.

"Tentang teman kamu- Wilson, saya yang memukul anak itu. Dan- tentang kita yang berciuman."

Semakin besar pelototan mata Merzi mendengar kalimat terakhir Ebha. Tapi kalimat lelaki itu berikutnya bukan hanya membuat matanya terbuka lebar tapi mulutnya juga.

"Karena itu juga untuk sementara kamu akan di jaga oleh pengawal sebelumnya, Marjeta. Dan saya akan di tugaskan di lain tempat untuk sementara waktu. Saya harap kamu menjaga kesehatan selama saya tidak ada, Nona."

*****************************************

Tidak menyangka jika waktu bahagianya dengan sang kekasih barunya akan secepat itu berlalu.

Sementara.Kata itu mengartikan waktu yang singkat. Tapi ketika menjalaninya tetap saja terasa lama dan panjang.

Hari itu Ebha masih terlihat di sekitarnya. Ada keinginan Merzi untuk bertanya lebih jauh. Seperti : Kenapa ayahnya membuat keputusan itu? Kan bisa saja dia dan Ebha membuat perjanjian jika itu adalah masalahnya. Atau biarpun itu, Merzi juga ingin bertanya, kemana Ebha akan ditugaskan? Berapa lama? Boleh tidak dia berkunjung ke tempat Ebha? Bagaimana jika dia merindukan lelaki itu? Dan pertanyaan lainnya.

Namun sayang semua pertanyaannya hanya bisa ditelan mentah tanpa jawaban. Dari mata pelajaran pertama hingga terakhir dia di sibukkan oleh tugas-tugas dari gurunya. Jam istirahat Ebha membawakan makanannya lalu lelaki itu pergi.

Hingga bel pulang sekolah berbunyi, dia menjadi siswa pertama yang keluar dari kelas setelah gurunya. Teman-temannya mengernyit bingung tapi Merzi abai. Menarik tangan Ebha menuju parkiran dan masuk ke dalam mobil. Mulutnya sudah terbuka ingin mengutarakan pertanyaan-pertanyaannya, tapi lagi-lagi tertahan. Dewi Fortuna tidak sedang berpihak pada gadis yang hampir menyaingi kecantikannya itu. Ayahnya menelepon Ebha.

Dengan sabar Merzi menunggu panggilan itu berakhir tapi pada akhirnya dia kalah oleh kantuk yang menyerang. Tertidur pulas disamping Ebha yang menyetir.

Dan tahu apa yang menjadi kutukan pertamanya di hari sialnya kemarin? Guru-gurunya dan bodyguard yang akan kembali bertugas menjadi pengawalnya beberapa hari ke depan.

Merzi terbangun ketika sang ibu membangunkannya. Siang berganti malam. Lelahnya hilang tapi belum tahu bahwa hati berbunga-bunganya beberapa jam lalu juga hilang- sementara.

Keesokan paginya ketika dia selesai sarapan lalu setelah itu berjalan menuju pelantaran rumah, di dekat mobil yang biasa di naikinya bersama Ebha berdiri dua lelaki dewasa. Gadis itu kenal dua pria tersebut. Kenal sekaligus benci. Dia berdecak melihat mereka dan memutar bola mata malas. Dua lelaki itu menunduk hormat pada Merzi dan tuan Oldrich Jay yang menyusul dari belakang.

"Tuan." Kata mereka serempak.

Tuan Oldrich Jay mengangguk takzim, berdiri disamping Merzi. Anaknya terlihat menoleh ke kanan dan ke kiri, seperti memeriksa sesuatu.

"Mencari Ebha?"

Pertanyaan ayahnya sontak membuat Merzi terkesiap. Tak menyadari kehadiran beliau. Dia menoleh pada sang ayah. "Ayah. Ayah mengatakan sesuatu?"

"Kamu mencari Ebha?" Ulang Tuan Oldrich Jay.

"Iya- eh maksud saya tidak, Ayah."

Tuan Oldrich Jay terkekeh singkat. "Ebha sudah pergi kemarin. Setelah mengantar kamu dia langsung bersiap meninggalkan kediaman."

"Kemarin? Kemana, Ayah?"

"Katanya tidak mencari Ebha."

"Aha-yeah. Maksud saya, seharusnya Ebha pamit pada saya, Yah."

"Dia ingin melakukannya. Tapi kamu tidur begitu pulas semalam. Mana ada yang tega membangunkan putri saya yang sedang kelelahan. Bukan begitu?"

Kepala Merzi bergerak keatas dan kebawah dengan pelan. "Seperti itu." Gumamnya.

Tuan Oldrich Jay menghela napas sambil merapikan jasnya, kembali berkata, "ya sudah. Sekarang berangkatlah. Kamu akan terlambat jika melamun di sini."

"I-iya, Ayah. Sampai jumpa."

Pintu mobil dibuka oleh salah satu pria dengan kaca mata hitam bertengger di hidungnya. Merzi ingat bahwa nama pria itu adalah Robin. Pria jelang empat puluh tahun, sudah menikah tapi belum memiliki anak. Yang satunya lagi bernama paman Finn. Seusia paman Lym dan paman Finn adalah paman Ebha.

Bersyukur setidaknya dia tidak di kawal oleh dua bodyguard kaku. Robin si tembok Cina yang selalu bertampang datar dan paman Finn yang kadang dingin kadang ramah. Hampir sama dengan Ebha.

"Senang bertemu anda kembali, Nona Merzi. Bagaimana kabar anda?"

Kan, sudah Merzi katakan. Belum apa-apa paman Finn kembali menyapanya dengan hangat. Jangan tanyakan Robin. Pria itu duduk kaku di depannya disamping paman Finn.

Dengan tersenyum Merzi menjawab, "baik, Paman. Seperti yang paman lihat. Bagaimana dengan paman dan bibi Kasih?"

Bibi Kasih adalah istri dari paman Finn.

Dan begitulah perjalanan Merzi menuju sekolah. Terisi oleh obrolan ringan bersama paman Finn.

Merzi begitu kesal pada Robin. Dia tidak senang saja jika orang sekelilingnya mengabaikan dirinya. Setidaknya katakan satu atau dua kata saja. Ini malah tidak bersuara sama sekali. Dia hanya mendengar suara Robin dirumah tadi.

Satu hal yang menjadi rahasianya bersama Ebha dan pastinya Tuhan, tentang Robin yang belum memiliki anak. Mungkin itu adalah doanya yang dikabulkan oleh malaikat. Hehe.

Semoga doa buruknya tidak berbalik padanya.

1
_senpai_kim
Gemes banget, deh!
Diana
Aduh, kelar baca cerita ini berasa kaya kelar perang. Keren banget! 👏🏼
ASH
Saya merasa seperti telah menjalani petualangan sendiri.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!