BIARKAN AKU JATUH CINTA
Ig @authormenia
Akbar diundang ke SMA dan bertemu dengan Ami yang muda dan cantik. Hatinya terasa kembali pada masa dia masih muda, bagaikan air dingin yang dituangkan air mendidih. Dia menemukan jiwa yang muda dan menarik, sehingga dia terjerumus dalam cinta yang melonjak.
Akbar menjalin hubungan cinta dengan Ami yang berumur belasan tahun.
Bagaimana hubungan dengan perbedaan usia 16 tahun akan berkembang?
Bagaimana seorang gadis yang memutuskan untuk menikah muda harus berjuang untuk mendapatkan persetujuan dari keluarganya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Awalnya Hampa Jadinya Kaget
Ibu Sekar merasa lega setelah mendapat kabar anak-anak sudah sampai dengan selamat di rumah Puput pukul sembilan malam. Kini bisa bersiap memulai tidur dengan tenang.
Rumah terasa sepi ditinggalkan semua anak-anaknya. Hanya ada Bi Ela yang menemani di rumah. Ada sopir dan sebagian karyawan yang menginap di mes. Tidak khawatir soal keamanan. CCTV terpasang lengkap di setiap penjuru. Namun satu yang kurang, kehilangan teman bicara. Biasanya ruang tengah menjadi tempat bersantai dan berbincang bersama Aul dan Ami sebelum tidur.
Sore tadi tanpa diduga kedatangan Haji Romli yang terkenal sebagai juragan domba. Duda yang baru ditinggalkan istri meninggal setahun yang lalu itu terang-terangan mengutarakan maksud ingin melamar. Dan juragan domba itu menjadi orang kesembilan yang ditolak Ibu Sekar dengan halus. Dengan alasan belum ada niat untuk menikah lagi.
Pagi menyapa. Sudah hampir seminggu Ibu Sekar tidak merawat taman bunga mawarnya. Apalagi ini akhir pekan, yang biasanya nanti mulai jam sepuluh sudah ramai pengunjung yang rata-rata membawa keluarga. Dan taman mawar selalu menjadi spot para pengunjung untuk berswafoto.
Mumpung belum jam buka, sambil berjemur di jam setengah delapan pagi yang cerah itu, Bu Sekar mulai memilih dan memetik daun-daun yang sudah menguning. Lalu lalang karyawan yang mulai kerja dengan membersihkan setiap gazebo, menjadi pemandangan dan tugas biasa setiap harinya. Ia larut sendiri dalam hobinya berkebun dan mengoleksi aneka warna bunga mawar.
"Oh bunga mawar lekaslah mengembang 🎶."
Bu Sekar mendadak menghentikan kegiatan memotong batang yang kering menggunakan gunting khusus, dengan rasa kaget. Suara pria yang bernyanyi itu begitu familiar. Ia menggeleng. "Ini mungkin halusinasi," ucapnya dalam hati.
"Ku ingin memetik dikau...."
Bu Sekar sontak memutar tubuh karena yakin suara itu ada di belakangnya. "Pak Bagja?!" Ucapnya dengan wajah terkesiap dan tatapan tak percaya.
Pak Bagja tersenyum dan mengangguk. "Apa kabar, Bu Sekar? Lama kita tak jumpa ya."
Bu Sekar menghela nafas panjang. Rasa tegang dan berdebar yang mendadak timbul, sedang berusaha untuk dinormalkan lagi. "Anda ini. Pergi tanpa pamit, datang tanpa ngasih kabar. Bikin saya kaget. Untung tidak jantungan." Ia mengelus dada sambil menatap sosok tegap yang berkulit lebih terang daripada dulu berkulit sawo matang.
Pak Bagja terkekeh. Posisi berdirinya tegak lurus dengan Bu Sekar. Hanya saja terhalang pagar bambu setinggi 60 cm. "Memangnya aku pergi kemana? Padahal aku gak kamana-mana," ujarnya mengelak.
"Jangan bohong. Anda pergi ke Jerman, kan?" Bu Sekar memicingkan mata.
"Wow ternyata ada yang merindukan aku, ya?!" Pak Bagja balas menatap dengan tersenyum simpul.
"Eh, bu - bukan begitu. Dulu saya tidak sengaja dengar gibahan ibu-ibu pas acara di gedung Bupati. Mereka terdengar bisik-bisik, katanya kecewa sang laksamana idaman emak-emak pergi ke Jerman." Ralat Bu Sekar dengan sedikit gugup. "Bukankah kita jadi berteman, tapi kok teman menghilang begitu saja sampai dua tahun lamanya." Sambung Bu Sekar mencebikkan bibir. Namun sang purnawirawan tetap tenang, mengulum senyum, dalam aura wibawa yang tidak luntur.
"Aku boleh masuk, nggak?" Pak Bagja belum menjawab introgasi Bu Sekar. Meski pintu pagar terbuka lebar, ia tetap menjaga kesopanan.
"Sebaiknya kita duduk di gazebo aja. Tamu besar harus saya jamu dengan baik." Bu Sekar tersenyum miring.
Pak Bagja tertawa. Ia bisa menangkap raut kesal belum pudar di wajah cantik Bu Sekar yang merona karena terpaan hangat sinar mentari. Ia masuk ke dalam area taman mini tanpa menunggu lagi izin.
"Aku mau di sini aja sambil membantu sang ratu mawar menyingkirkan batang yang kering dan terkena hama. Jangan sampai tangan halus sang ratu tertusuk duri. Maka aku yang gak rela kalau sampai itu terjadi." Pak Bagja menatap lembut dengan senyum dikulum.
"Anda punya bakat lain ternyata. Pandai berpujangga." Bu Sekar pun membuang muka ke arah berlawanan. Tidak kuat beradu tatap lama karena menimbulkan desiran yang tidak biasa.
Pak Bagja terkekeh. Ia meminta gunting yang dipegang Bu Sekar. "Bukankah kita teman, Bu Sekar? Please jangan formal terus panggilannya. Aku kamu aja ya!"
"Kalau teman gak akan pergi tanpa pamit, datang tanpa ngasih kabar." Keukeuh Bu Sekar. Ia memperhatikan Pak Bagja yang mulai memotong batang kering.
Pak Bagja menoleh sambil mengulum senyum. Kemudian kembali fokus menilik batang yang harus dibuang. "Jika ditanya soal hati, beneran gak kemana-mana. Hati aku tinggalkan di Ciamis. Jadi saat aku berlama-lama tinggal di Jerman, tidak ada satupun kenalan bule yang bisa singgah di hati." Ia tetap fokus dan tenang memilih batang yang selayaknya dibuang. Sementara wanita yang berdiri di sampingnya sedang merona pipi karena merasa kalimat penuh makna itu ditujukan padanya.
"Anakku yang bungsu Gina, memilih kuliah di Jerman. Sebagai seorang ayah, aku merasa khawatir melepas anak perempuan pergi jauh ke negeri di benua Eropa. Soalnya Gina dulu pernah ke Jerman sama keluarga hanya untuk liburan. Jadi sambil menikmati masa pensiun, ya sekalian aku temenin Gina memahami culture di sana. Sekaligus jadi bodyguard juga. Biar bisa mengawasi pergaulannya di sana." Jelas Pak Bagja menjawab rasa penasaran Bu Sekar.
"Kapan Pak Bagja tiba di Ciamis? Sama Gina juga? Pulang dalam rangka liburan atau gimana?" Cecar Bu Sekar yang diliputi rasa penasaran.
Pak Bagja terkekeh mendapat pertanyaan beruntun seperti itu. "Aku dan Gina sampai di rumah Ciamis tadi malam. Sebelumnya transit di rumah Jakarta, dua hari istirahat karena Gina mengalami jetlag. Pulang dalam rangka liburan kuliah selama tiga bulan."
"Kalau masih ada pertanyaan lain, ungkapin aja jangan sungkan." Pak Bagja memperhatikan Bu Sekar yang hanya manggut-manggut. Ia sudah selesai membuang semua batang kering dan mati. mengumpulkan di tepi pagar.
"Sudah cukup. Kita duduk di gazebo aja, Pak!" Ajak Bu Sekar yang lebih dulu keluar dari taman.
Kali ini Pak Bagja tidak membantah. Mengekori langkah Bu Sekar. Duduk berhadapan mengenakan alas bantal. Sejenak ia menyapukan pandangan ke berbagai sudut.
Sementara Bu Sekar melambaikan tangan memanggil salah seorang karyawan. Ia memesan kopi sesuai yang diminta sang tamu. Dan segelas teh untuknya sendiri.
"Tadi pas diantar karyawan ke sini, jujur aku terpukau. Rumah makan ini banyak kemajuan. Sekarang ada area gazebo ini bikin betah duduk berlama-lama." Pak Bagja menatap hangat Bu Sekar. Tulus memuji.
"Alhamdulillah. Terima kasih." Bu Sekar tersenyum dan mengangguk.
"Tapi ada satu yang tidak berubah." Pak Bagja tersenyum tipis.
"Apa?!" Bu Sekar menatap dengan sorot penuh keinginan tahuan.
"Kamu. Kamu gak berubah. Cantikmu gak pudar. Awet muda seperti berumur 30 an." Pak Bagja betah menatap kedua pipi yang kini merona.
"Ehmm. Bisa aja mujinya. Tapi untungnya saya udah kebal dengan pujian para pria. Karena pasti ujung-ujungnya ada maunya." Bu Sekar memutus pandangan dengan berpaling menatap mawar putih yang sedang mekar.
"Wah, masa sih? Kayaknya aku harus stay lagi di Ciamis untuk menjaga Ibu ratu mawar dari godaan kakek-kakek hidung belang." Pak Bagja memasang sikap siaga dengan duduk tegak.
"Termasuk kamu, kakek-kakek juga, kan?" Bu Sekar mengulum senyum.
"Oh tidak, bukan. Aku pria dewasa yang masih kuat. Berstatus punya satu cucu otewe dua cucu." Pak Bagja berkata yakin.
"Sama aja." Bu Sekar tertawa renyah. Ia tidak sadar jika tawanya itu menyenangkan pria yang duduk di hadapannya. Membuat Pak Bagja terpesona.
***
"Entah dimana....dirimu berada. Hampa terasa hidupku tanpa dirimu." Ami bernyanyi di depan cermin sambil menyisir rambut dan mengikatnya, sebelum mengenakan jilbab.
"Deuh nyanyinya dalam banget kayak lagi galau." Padma mengejek bestie nya itu. Ia sudah lebih dulu mandi pagi dan kebagian tugas merapihkan tempat tidur. Besok giliran Ami yang merapihkan.
Ami menghela nafas kasar. Ia memang galau. Ingin ngasih kabar kepada Akbar kalau sekarang sudah ada di Jakarta. Namun setelah dipikir-pikir rasanya tidak pantas perempuan lebih dulu mengabari. Kesannya cari perhatian. Nanti ketahuan kalau sebenarnya ia suka sama Panda nya itu.
"Dorrr. Malah bengong." Padma mengagetkan Ami hingga terjengit.
"Aduh, Munaroh. Jantungku hampir copot deh." Ami spontan mengusap-usap dadanya.
"Hihihi. Pagi-pagi tuh breakfast, bukan makan angin alias bengong. Kenapa sih, Mi? Mau curhat gak?" Padma menatap serius.
Ami mengangguk lemah. Ia duduk di tepi ranjang di samping Padma. "Aku mau curhat nih..."
"Iya ayo bilang. Aku kan bestie mu." Padma menepuk-nepuk bahu Ami. Memberi dukungan.
"Jadi gini....aku lagi mikir. Kenapa kambing berjenggot. Kamu tau gak jawaban ilmiahnya apa?" Ami menatap Padma dengan ekspresi bingung.
"Waduh, aku gak kepikiran juga. Itu pelajaran biologi ya?" Padma balik bertanya. Dan dijawab anggukkan oleh Ami dengan wajah lemas.
"Aha!" Ami menjentikkan dua jari dengan wajah berbinar. "Padma, aku baru aja dapat ilham. Jadi tau jawabannya."
"Apa - apa?" Padma menunggu dengan antusias.
"Karena kalau berkumis nanti dikira Pak Raden." Ami memeletkan lidah. Kemudian berkelit sambil tertawa saat Padma akan menimpuknya.
"AMIIII...AWAS YA!" Padma berlari mengejar Ami keluar kamar. Aksi kejar-kejaran sampai ke ruang tengah itu disaksikan Rasya yang baru turun tangga bersama Umma Puput. Membuat balita itu menyoraki sambil tergelak.
Saat sedang sarapan bersama, Panji yang menginap di rumah Om Krisna, datang untuk menjemput Aul. Jam sepuluh nanti sudah membuat janji akan bertemu desainer di butik Sundari cabang Jakarta.
"Om Panji, gabung sarapan yuk!" Puput menunjuk menu yang tersaji di meja.
"Udah sebelum kesini dipaksa Tante Ratna sarapan dulu, Teh. Panji mau apel aja. Yang, tolong ambilin!" Panji menyuruh Aul karena paling dekat jaraknya dengan wadah buah-buahan.
Ami dan Padma spontan saling pandang. Sama-sama cekikikan.
"Ada apa sih bisik-bisik berdua gitu?" Rama menaikkan satu alisnya. Kehadiran Ami dan Padma baru semalam tiba sudah membuat Rasya menahan ngantuk karena ingin segera bertemu. Dan begitu bertemu, rumah besar itu ramai dengan keceriaan dan kehebohan tawa.
"Biasa, Kak. Duo M suka baper kalau Aul dipanggil Ayang." Panji yang menjawab dengan santai. Karena duo M memilih diam menahan tawa.
Rama terkekeh. "Duo M artinya apa?" Ia merasa baru mendengar gelar untuk Ami dan Padma itu.
"Aa tau, Aa tau, Papa!" Rasya mengacungkan tangan karena ingin dia yang menjawab.
"Apa, Aa?" Rama memberi atensi pada si sulung untuk menjawab.
"Ate Padma, Munaloh. Ate Ami, Malimal. Hihihi." Rasya berjoget-joget di tempat duduknya sambil cekikikan.
"Hahaha. Aa tau dari siapa?" Tanya Rama yang tertawa karena merasa lucu.
Sebelum Rasya menjawab, semua mata dan telunjuk langsung mengarah pada Ami.
"Dali Ate Ami kalo vc." Rasya menjawab diiringi tertawa lepas karena Ami langsung melorotkan tubuh ke bawah meja.
Panji dan Aul keluar rumah jam sembilan. Akan berkendara santai menuju butik sekalian nanti akan mengajak Aul jalan-jalan untuk memilih barang seserahan lamaran.
Sementara Ami sedang menjadi lawan tanding Rasya yang ingin berlatih silat. Ia mendramatisir dengan pura-pura terjengkang saat balita aktif itu melakukan tendangan. Pura-pura mengaduh saat tangan mungil itu melayangkan pukulan. Alhasil membuat Rasya bersemangat berlatih. Semua adegan jurus dasar itu dibawah pengawasan Puput dan Rama yang menjadi penonton.
"Ami, ada telepon dari Panda!" Padma membawa ponsel Ami dari dalam kamar yang belum berhenti berbunyi.
"Ya Salam!" Ami terjengit antara kaget dan senang. Ia bergegas bangun saat baru saja pura-pura terjengkang. Mengambil alih ponsel yang masih berdering dengan raut bingung. Bingung akan situasi dan kondisi.
"Mi, kenapa gak diangkat?" Tanya heran Puput.
...****************...
Bayangkan saja visual Bu Sekar adalah Marini Zumarnis. Kalau visual Pak Bagja adalah mantan panglima TNI Andika Perkasa. Itu versi author ya 😁
Dialog Panji Aul dan desainer di skip. Tapi akan muncul di story Kartika. Maklum ya yg rumah onoh pocecif.