Su Runa hanya ingin hidup tenang, bekerja santai, dan rebahan damai di apartemen kecilnya. Tapi siapa sangka, setelah satu malam penuh deadline dan mie instan, hidupnya malah “di-upload” ke dunia kolosal sebagai… tokoh numpang lewat?!
Kini dengan nama Yun Ruona, ia mendapati dirinya bukan putri bangsawan, bukan tokoh utama, bahkan bukan penjahat kelas kakap—melainkan karakter sampingan yang kalau muncul, biasanya cuma jadi latar pemandangan.
Awalnya, hidupnya berjalan damai. Sistem hanya memberi satu misi: “Bertahan Hidup.” Tidak ada skenario aneh, tidak ada takdir tragis, tidak ada paksaan ikut alur novel. Ia tumbuh sebagai gadis biasa, menjalani kehidupan versinya sendiri—bebas dan santai.
…sampai takdir iseng mempertemukannya dengan seorang pria misterius. Sejak saat itu, hidup Yun Ruona yang tenang berubah jadi drama tak terduga, penuh salah paham kocak dan situasi yang bikin geleng-geleng kepala.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Najwa Aaliyah Thoati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24: Jiwa yang Hilang, Takdir Tulis Ulang
Sore menjelang di Yunshan. Langit berwarna keemasan pucat, seperti kain sutra yang digulung perlahan oleh matahari yang hendak turun. Cahaya itu menembus sela-sela tirai bambu di ruang kerja Su Yulan, menimbulkan bayangan lembut di dinding, menyerupai pola daun yang menari pelan.
Udara di ruangan itu beraroma teh melati yang baru diseduh dan kertas tinta yang mulai mengering. Di luar jendela, suara burung kecil bergema dari arah kolam, bersahutan dengan desir angin yang menggerakkan lonceng perunggu kecil di sudut atap — suara yang menenangkan, tapi juga sepi.
Su Yulan duduk sendirian di balik meja kayu cendana yang penuh lembaran catatan. Cahaya senja menyorot wajahnya, membuat kilau lembut di rambut hitamnya yang sebagian telah terurai dari sanggul. Di hadapannya, lentera kecil berayun ringan, seolah ikut bernapas bersama waktu yang melambat.
Pena di tangannya bergerak pelan, menulis di atas kertas halus yang memantulkan kilau jingga dari luar. Gerakannya tidak tergesa; setiap goresan seperti sebuah renungan yang baru saja menemukan bentuknya. Ia tidak sedang menulis surat untuk siapa pun, tidak pula catatan resmi untuk rumah tangga Yun.
Tulisan itu hanya untuk dirinya sendiri — tempat menyembunyikan kata yang tak pernah sanggup diucapkan dengan suara.
> Ada hal-hal yang tak bisa kulupakan, bahkan ketika waktu telah menjadi kabut. Mungkin karena sebagian dari kabut itu masih hidup di dalam diriku.
Ia berhenti menulis. Jemarinya menyentuh leher, merasakan denyut nadi halus di bawah kulitnya — detak yang terasa lembut tapi nyata, seperti ada sesuatu yang ikut bergetar dari masa yang jauh.
Di luar, angin sore menyusup masuk melalui celah tirai, membawa aroma bunga Ziwei yang tumbuh di taman belakang. Aroma itu samar namun tajam, seperti kenangan yang menolak pergi. Su Yulan memejamkan mata sejenak, membiarkan wangi itu menyusup hingga ke dadanya.
Dan tanpa ia sadari, pikirannya mulai hanyut. Aroma itu menariknya perlahan, menembus lapisan waktu dan sunyi, kembali ke masa yang telah lama ia kubur —
ke hari pertama setelah ia resmi menjadi istri Yun Haoran.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hari itu, langit cerah tapi dingin. Kabut turun di kaki pegunungan barat, arah menuju Yunshan, menyelimuti jalan setapak yang kelak akan menjadi langkah pertama mereka.
Su Yulan baru saja selesai mengenakan pakaian perjalanan — jubah tipis warna ungu pucat dengan bordiran motif awan di lengan. Ia duduk diam di dalam kereta, wajahnya setenang permukaan air, tapi hatinya tak sepenuhnya tenang.
Pernikahan mereka baru berlangsung sehari. Ia menikah bukan karena cinta, tapi karena titah langit.
Orang-orang menyebutnya “pernikahan yang diberkati.” Namun di balik restu itu, ada sesuatu yang tidak bisa diucapkan dengan kata-kata — sebuah kehilangan yang belum sempat ia tangisi sepenuhnya.
Beberapa tahun lalu, Su Yulan mengandung anak untuk pertama kali. Semua orang di rumah Su bergembira. Tabib istana bahkan berkata bayi itu membawa aura kuat — tanda restu dari langit.
Yun Haoran, meski sibuk dengan urusan istana, sempat pulang untuk menemaninya beberapa hari. Namun kebahagiaan itu tidak bertahan lama.
Pada malam ketujuh bulan kesembilan tahun 461, sebelum hujan besar turun, Su Yulan merasakan sakit yang luar biasa di perutnya. Bayi itu lahir terlalu cepat. Dan saat tangis seharusnya memenuhi ruangan, yang terdengar hanya keheningan.
“Dia perempuan,” kata tabib lirih, menunduk dalam. “Tapi ... ia tak sempat menghirup dunia.”
Su Yulan hanya diam. Ia ingin berteriak, tapi suaranya tertahan di dada.
Ia memandang bayi mungil di pelukan bidan — begitu tenang, begitu damai, seolah hanya tertidur.
Yun Haoran menggenggam tangannya erat. “Langit pasti punya maksud,” katanya pelan, tapi suaranya gemetar.
“Kalau benar langit punya maksud,” jawab Su Yulan waktu itu, “mengapa rasanya seperti ia baru saja mengambil separuh jiwaku?”
Hari-hari berikutnya terasa buram. Ia dikurung dalam kabin kecil untuk pemulihan, baginya begitu. Padahal Yun Haoran tidak pernah mengurungnya. Ia hanya ingin Su Yulan bisa segera pulih dan semangat lagi. Jikalau ia ingin keluar, Yun Haoran akan jaga dan temani. Namun ia tak pernah meminta keluar.
Setiap malam, ia bermimpi mendengar suara tangis bayi dari kejauhan, tapi saat membuka mata — hening.
Su Yulan sempat berpikir mungkin itu halusinasi. Namun suatu malam, ia mendengar bisikan lembut di antara hembusan angin di jendela: “Aku akan kembali, Niangqin.”
Ia terbangun dengan air mata di pipinya. Dan anehnya, sejak malam itu, rasa kehilangan di dadanya mulai berkurang — bukan lenyap, tapi berubah menjadi sesuatu yang lembut, seperti pelukan yang belum selesai.
Beberapa bulan setelah pemakaman bayi pertamanya, hidup di kediaman sementara yang disediakan istana terasa hampa.
Setiap sudut ruangan di 守天苑 (Shǒu Tiān Yuàn) — Kediaman Penjagaan Langit — masih menyimpan gema yang tak ingin pergi.
Angin yang bertiup di malam hari membawa wangi dupa dan dingin yang menembus tulang. Yun Haoran jarang bicara, hanya menjaga agar lentera di kamar istrinya tidak padam setiap malam.
Musim terus berganti, dan ketika kabut pertama turun di lembah itu, datang surat bersegel naga perak.
Bukan titah baru, melainkan panggilan peneguhan berkah — perintah agar keluarga Yun segera melanjutkan garis langit mereka di wilayah barat Yunshan, tempat “akar keberkahan” akan ditanam kembali.
Bagi banyak orang, kabar itu adalah kehormatan besar.
Namun bagi Su Yulan, ia terasa seperti undangan sunyi dari langit — sebuah panggilan untuk menapaki kembali takdir yang pernah patah di tengah jalan.
Beberapa minggu kemudian, mereka berangkat menuju Yunshan.
Kereta bergerak perlahan menyusuri jalan berbatu di antara hutan pinus yang diselimuti kabut lembah.
Saat rombongan berhenti untuk beristirahat, Su Yulan turun sendirian dan berjalan ke tepi hutan.
Kabut menggantung rendah, dingin namun jernih.
Di antara akar-akar pohon yang basah, sesuatu menarik perhatiannya — bunga kecil berwarna ungu lembut tumbuh di sela batu.
Bunga Ziwei. Padahal belum musimnya.
Ia berlutut perlahan. Di antara desir angin yang menyentuh pipinya, terdengar bisikan lembut, halus seperti napas yang memanggil dari jauh:
“Aku di sini, Niangqin.”
Air matanya mengalir tanpa ia sadari — bukan karena sedih, melainkan karena keyakinan yang tiba-tiba tumbuh di dalam dadanya.
Sejak saat itu, Su Yulan tahu: jiwa kecil yang ia tangisi tidak benar-benar pergi.
Langit hanya menundanya — untuk menulis ulang takdir pada waktu yang lebih lembut.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Tahun berganti, dan Su Yulan kembali hamil. Pada bulan tanggal 28 bulan 8 tahun 463 lahirlah Yun Zhen. Tidak ada hal yang istimewa saat hamil Yun Zhen, hanya rasa haru atas anak pertama yang berhasil lahir selamat. Lalu beberapa tahun kemudian Su Yulan kembali hamil.
Kali ini, kehamilan berjalan lancar. Tapi di setiap malam sebelum tidur, ia selalu berbicara lembut pada bayi dalam kandungannya.
“Kalau kau mendengar suara Niangqin, jangan takut. Dunia ini besar, tapi hatiku cukup luas untuk menampungmu.”
> “Aku sudah pernah ke sana, Niangqin,” suara samar menjawab dalam mimpinya. “Sekarang, izinkan aku lahir dengan benar.”
Dan saat Yun Ruona lahir ke dunia — dengan tangisan pertama yang nyaring dan mata jernih yang memantulkan cahaya, Su Yulan tahu: Itu dia.
Anak yang dulu tak sempat hidup kini kembali, menjemput takdir yang sempat tertunda.
✨ Bersambung ✨
Tentang reinkarnasi jadi bayi, trus tetiba ada sistem. Tapi sistemnya bukan membantu si FL punya kehidupan lebih baik. Lebih ke sistem yang menghubungkan perasaan atau ikatan hubungan gitu. Ini sistem yang baru sih.
Dari judulnya Panduan Tokoh Numpang Lewat. sempet di sebutkan bentar di bab 1 & 4 tentang novel dan ingatan FL. Tapi masih belum di temukan. Ini sangat pas, berarti tokoh numpang lewat itu beneran lewat aja di buku tanpa ada yang kenal dan sadar akan keberadaannya.
Sepertinya dari 24 bab ini masih pembuka cerita. belum masuk ke intinya. Mungkin semakin ke tengah, akan semakin terbuka alur-alur tersembunyi lainnya.
Good job Author. Aku suka gaya pikirmu. Lanjutkan! aku dukung .... /Joyful//Determined//Applaud//Rose//Heart//Good/
bikin nagih deh. ditunggu bab berikutnya, ya!
/Good/
dengan berkat dukungan dan cinta kalian, aku bisa tetap ada di sini dan tetap melanjutkan kisah ini, meski gak mudah.
makasih semuanya! love U All ....
/Rose//Heart//Pray/
Kutunggu dewasamu, Nana!
alurnya mulus bgt. gak kerasa kepaksa alurnya, kayak lagi naik rollercoaster!
pokok sukak bgt!!!!
semangat mamathor!
/Drool//Angry//Determined/