Vina sangat terobsesi diterima menjadi pemeran wanita utama di casting sebuah drama. Dia juga seorang penggemar garis keras dari seorang aktor. Suatu hari saat melakukan casting, ia ditolak tanpa di tes dan parahnya lagi, orang yang menolaknya adalah si idola. Merasa terhina, Vina pun berubah menjadi pembenci sang aktor. Belum juga mulai menabur benih kebencian, ia justru terpaksa menikah secara kontrak dengan sang Aktor.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rumi Midah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tujuh tahun berlalu
Tujuh tahun berlalu, kini Vina dan putranya tinggal di sebuah kota yang terkenal dengan tugu khatulistiwa dan Aloe Vera-nya. Di fase awal kehidupannya menjadi orang tua tunggal, semuanya terasa sulit. Namun, seiring berjalannya waktu, Vina akhirnya terbiasa.
Sepulang bekerja di toko sembako, Vina menjemput anaknya yang kini telah duduk di bangku kelas dua SD. Wanita cantik yang nampak Anggun itu, menunggu di kursi tunggu yang berada di dekat kelas anaknya.
Tak lama bel yang menandakan jika sekolah hari ini telah selesai pun berbunyi. Seorang anak kecil lelaki tampan keluar dari kelas itu.
"Vano ... kamu ini tampan sekali." Seorang ibu-ibu memberikan sebatang coklat pada anak lelaki tampan itu, sama seperti hari-hari sebelumnya.
Setelah mengambil coklat dari tangan ibu teman sekelasnya dan berterima kasih, anak kecil tampan bernama Vano langsung menghampiri Vina.
"Mama." Vano memeluk Vina. Ibu-ibu yang memberikan coklat pada bocah itu langsung menghampiri Vina. Ia membawa serta anak perempuannya yang bertubuh agak gempal.
"Beruntung sekali Bu Vina mendapatkan anak setampan Vano," ujar ibu itu, " saya sangat berharap sekali Alena bisa menikah dengan Vano."
Anak perempuan bernama Alena nampak tersenyum malu-malu, sedangkan Vano, ia memberengutkan wajahnya tak suka. Namun, Vano yang diajarkan untuk menjaga sikap, hanya diam saja.
"Saya juga berharap memiliki menantu manis dan imut seperti Alena." Vano langsung memukul paha ibunya.
"Mama!" ucap Vano pelan dengan nada marah. Vina hanya terkikik dalam hati.
Ibunya Alena pun pamit pulang karena belum memasak untuk makan siang keluarganya di rumah. Sepeninggalan ibunya Alena, Vano mengomeli ibunya.
"Mama jangan jodohin aku sama si gendut itu, ya, Vano enggak suka, paham?! Alena itu jelek dan nakal, Mama."
"Hush, nggak boleh gitu Vano, nanti kalau kamu jadi suka sama Alena, gimana?" goda Vina.
"Ih, Enggak! Pokoknya Vano nggak bakalan suka sama Alena!"
"Iya-iya." Vina memandang pintu kelas, "oh ya, Metanya mana, Sayang."
Vano menggedikan bahunya. "Dia suruh aku keluar duluan."
Tak lama Meta keluar sambil menelpon. "Iya, Pah." Bocah cantik dengan kuncir rambut satu itu mendekati Vina. "Tante, ini papa mau bicara."
Vina mengambil telepon itu. "Halo, Pak Satria."
"Oh halo Bu Vina, begini boleh tidak, saya titip Meta seperti biasa? Nanti malam sekitar jam tujuh saya jemput."
Vina terkekeh kecil. "Baiklah, Pak."
"Syukurlah, terima kasih ya, Bu Vina."
"Iya, Pak." Setelah sambungan diputus, Vina mengembalikan ponsel milik Meta.
"Apa aku dititipkan lagi sama Tante?" tanya Meta dengan ekspresi bersemangat.
"Iya."
"Yeay." Meta langsung mengajak Vano berjalan dulu, sedangkan Vina mengekor di belakang kedua anak berseragam SD itu.
"Vano, hari ini aku bawa Barbie. Nanti kita main boneka lagi, ya ...?"
Vano memberengutkan wajahnya. "Tapi aku 'kan lelaki, masa main boneka terus, sih!" katanya murung.
"Nggak apa-apa, hari ini aku bawa si Ken pacarnya Barbie. Nanti kita bikin mereka berdua menikah."
Vano menggeleng. "Nggak mau ah Meta," ujarnya dengan suara dan nada khas anak kecil. Tak lama bocah itu tersenyum. "Mm, bagaimana kalau kita main mobil-mobilan. Nanti kita lomba.
"Tapi aku 'kan perempuan, masa main mobil-mobilan, sih."
"Aha, gimana kalau bonekanya kita naikin di atas mobil terus kita balapan," ucap Vano antusias.
"Tapi bagaimana caranya?"
"Tenang, 'kan ada Vano, anaknya Mama Vina yang cerdas." Vina yang berjalan di belakang mereka hanya terkekeh kecil. Wanita itu mendesah, semakin lama Vano memiliki sedikit banyak sifat ayah kandungnya—Arka.
****
Serelah Tujuh tahun berlalu, Arka kembali menjejakkan kakinya di bandara internasional Soekarno Hatta . Aktor yang baru saja memenangkan piala Oscar dengan kategori Aktor tebaik di film, kini terlihat matang di umurnya yang ke tiga puluh tujuh tahun. Setelah tinggal di Amerika cukup lama, Arka merasakan kerinduan terhadap tanah kelahirannya.
Berjalan sambil menyeret koper polo hitam, banyak pasang mata, terutama kaum hawa yang memandang Arka penuh rasa kagum. Bahkan ada beberapa orang yang nekat mengajak Arka berswa foto bersama.
Keluar dari gedung, Arka langsung ditawari oleh beberapa supir taksi. Namun, Arka dengan sopan menolak karena supir Bayu—kakak Arka— telah di dalam perjalan menuju Bandara.
Tidak lama sebuah mobil Ford hitam berhenti. Keluar seorang lelaki ceking berseragam supir. Lelaki itu menghampiri Arka.
"Pak Arka, saya adalah supir pribadinya Mas Bayu."
"Bapak kok tahu nama saya Arka, kita 'kan belum kenalan."
"Siapa, sih yang tidak kenal sama orang terkenal seperti Bapak." Mendengar penuturan supir Bayu Arka hanya tersenyum.
Sebelum masuk ke mobil, Arka terlebih dahulu memberikan kopernya pada supir Bayu untuk disimpan ke bagasi. Awalnya Arka khawatir apa Bapak tersebut kuat, mengingat tubuhnya yang ceking. Namun, ternyata Bapak tersebut kuat juga.
****
Arka yang duduk di kursi belakang mengamati ibu kota dari jendela mobil yang sengaja ia turunkan. Tujuh tahun berlalu, Jakarta banyak berubah, kecuali patung selamat datang yang menjadi ciri khasnya Jakarta selain Monas.
Berjalan cukup jauh. Ketika melihat rumah makan Padang yang dulu sering ia datangi bersama Vina, Arka menyuruh supir Bayu berhenti. Ia ingin makan nasi padang, sekaligus mengingat kenangan indah bersama seseorang yang masih lekat di pikiran dan bertahta di hatinya.
Mengajak sekalian sang supir. Ketika masuk ke restoran itu, memory indanya bersama Vina langsung terputar. Ia menghela napas. Dadanya seketika terasa sesak. Lelaki itu duduk di kursi yang biasa ia dan Vina duduki saat makan di rumah padang ini. Kenangan indah yang tergambar jelas, membuat kesedihan Arka menyeruak.
Tujuh tahun yang lalu, Arka sempat menikahi Anna dan tinggal di Amerika, ia berpikir akan memulai lembaran kehidupan yang baru. Namun, pernikahan keduanya hanya mampu bertahan enam bulan saja.
Anna berselingkuh dengan tetangga mereka di Amerika. Alasan Anna waktu itu cukup jelas, ia butuh cinta dan kasih sayang penuh dari seorang pria, sedangkan Arka, dia tidak bisa memenuhi itu.
Bahkan untuk memenuhi hasrat seorang insan, Arka jarang mau melakukannya. Jika pun akhirnya berhubungan, nama Vina lah yang selalu disebutkan Arka.
Rasa cinta Arka yang telah berhenti di Vina pun membuatnya merasa tidak keberatan dengan itu. Ia juga turut bahagia atas pernikahan Anna dan selingkuhannya. Hidup Anna dan suaminya tampak harmonis apalagi setelahnya mereka memiliki tiga anak.
Harusnya Tuhan membuat Anna tidak bahagia karena berkat keegoisannya dululah, dua insan yang saling mencintai terpaksa berpisah.