"Izinkan aku menikah dengan Zian Demi anak ini." Talita mengusap perutnya yang masih rata, yang tersembunyi di balik baju ketat. "Ini yang aku maksud kerja sama itu. Yumna."
"Jadi ini ceritanya, pelakor sedang minta izin pada istri sah untuk mengambil suaminya," sarkas Yumna dengan nada pedas. Jangan lupakan tatapan tajamnya, yang sudah tak bisa diumpamakan dengan benda yang paling tajam sekali pun. "Sekalipun kau benar hamil anak Zian, PD amat akan mendapatkan izinku."
"Karena aku tau, kau tak akan membahayakan posisi Zian di perusahaan." Talita menampakkan senyum penuh percaya diri.
"Jika aku bicara, bahwa kau dan Zian sebenarnya adalah suami istri. Habis kalian." Talita memberikan ancaman yang sepertinya tak main-main.
Yumna tersenyum sinis.
"Jadi, aku sedang diancam?"
"Oh tidak. Aku justru sedang memberikan penawaran yang seimbang." Talita menampilkan senyum menang,
Dan itu terlihat sangat menyebalkan.
Yumna menatap dalam. Tampak sedang mempertimbangkan suatu hal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon najwa aini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
"Ngapain kalian?"
Kehadiran Zian yang tak terduga sama sekali, membuat Dira tersentak dan sontak berdiri. Wajahnya nampak kikuk dengan rasa tak nyaman yang meraja di hati.
"Aga, nona majikanmu lagi ngerajuk ya? Minta mainan apa dia, Bro?"
Aga menanggapi pertanyaan Zian dengan tawa ringan, sekedar menutupi rasa gugup yang tiba-tiba bersarang.
"Ziannn."
Dira kian merasa malu digoda demikian oleh Zian.
"Noh ada mobil, napa dianggurin, malah hujan-hujanan begini." Zian tergelak, belum beranjak dari mode mengerjai Dira.
"Kamu sendiri kenapa malah turun dari mobil, dan hujan-hujanan?" balas Dira.
Zian memang menghampiri mereka dengan menembus hujan. Tanpa payung yang bisa dijadikan tempat berlindung.
"Gue kira tadi lagi ada syuting Drakor di sini. Ternyata elu yang lagi ngedrama." Zian menaik-turunkan alisnya pada Dira sambil tertawa renyah.
"Aku gak lagi drama, Zian."
"Lah terus itu apa? Dah sana buruan pulang! Aga bisa masuk angin itu hujan-hujanan. Gak bisa anterin elu lagi kemana-mana." Usai berkata demikian Zian segera berbalik hendak kembali ke mobil.
Dasar Zian. Usai memangkas adegan manis legit, malah main pergi begitu saja.
"Zian tunggu!" Dira mencegah langkah lelaki tampan itu.
"Apa?"
"Aku lagi sedih."
"Sini gue kekepin," canda Zian. Kebiasaan dia. Ngajak bercanda orang yang memang benar-benar sedih. Harusnya itu benar-benar berniat untuk memeluk untuk memberi rasa tenang.
"Aku serius, Zian."
"Kalau mau cerita jangan di sini. Tubuh gue gak kebal hujan dan angin," kata Zian mulai dengan raut wajah serius. Padahal saat itu hujan sudah mulai reda. Tapi, Zian hanya ingin Dira segera pulang saja. Karena kurang baik kalau pada saat begini masih berada di luar rumah--meski bersama dengan orang yang dipercayai, seperti Aga.
"Sana pulang. Nyampek rumah, lu boleh curhat ke gue semalaman."
"Gak bakal ditinggal tidur?" Raut wajah Dira mulai terlihat cerah melihat Zian.
"Ya, maaf kalau nanti gue ketiduran," Zian tergelak santai.
"Dasar." Dira memberengut kesal. Kesal, tapi sekaligus gemas dengan ulah sang sahabat tampan.
Berkat bujukan Zian, Dira pun beranjak hendak menuju mobil untuk pulang. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar suara derit rem yang memekakkan telinga. Disusul munculnya sebuah mobil yang berhenti mendadak tepat di belakang mobil Zian dan Dira.
"Ayah." Dira langsung tahu siapa pemilik mobil itu. Perasaannya langsung berdesir tak nyaman. Desir yang kian menjadi saat melihat benar-benar pak Firman yang turun dari mobil Land-cruiser hitam itu.
"Ayah." Dira langsung pucat. Terasa lunglai beberapa persendian tubuhnya. Bahkan cuaca dingin selepas hujan terasa menjadi panas, dan titik-titik air hujan yang tersisa, terlihat seakan bara.
Raut wajah Dira menampilkan rasa putus asa, seakan terdakwa yang siap dibantai kapan saja. Padahal Firman tak menampakkan raut wajah angker, atau pun amarah. Tatapannya datar menyapu wajah putri tercinta, meski sempat terbersit senyuman singkat sebelum ia bicara.
"Pulang, Dira. Ibumu menunggu di rumah."
"A-Ayah aku--" Dira meraup napas sebanyak mungkin, mengumpulkan keberanian yang masih berserakan untuk berkumpul ke satu tempat yang utuh. Ia harus bicara, harus berani mengatakan yang sebenarnya.
"A-Ayah, aku tidak ingin dijodohkan."
Meski di awal kalimatnya sempat terdengar gugup, pada akhirnya kata-kata itu meluncur deras tanpa hambatan. Menyisakan suara napasnya yang terasa berat, sekaligus lega di saat yang bersamaan.
Firman tak terlihat terkejut, seperti ia sudah tahu kalau sang putri akan menolak rencananya. "Apa kau sudah menyukai seseorang?"
Pertanyaan Firman justru mengungkap kalimat berikutnya yang akan diucapkan oleh Dira, namun lidah masih terasa kelu dan berat untuk menyampaikannya.
Dira mengangguk. Benar kata Aga, bahwa ia harus jujur. Apa pun konsekuensi yang harus ia tanggung nanti dengan kejujurannya, itu urusan belakangan.
"Kalau begitu perkenalkan dia pada ayah." Tepat seperti dugaan Dira, Firman memang meminta demikian.
"Untuk apa, Ayah?"
"Untuk tau, apakah dia baik atau tidak untuk putri Ayah."
"A-ayah. Di-dia--" kegugupan Dira membuat Firman mengalihkan pandangan pada Aga, yang segera menunduk saat tatap mata pria baya itu menyentuh wajahnya.
"Atau, jika pemuda itu ada di sini sekarang, ayah akan dengan senang hati mengenalnya." Usai berucap demikian Firman merotasi pandangan ke arah Zian yang hendak masuk ke dalam mobilnya.
Awalnya Zian ingin langsung masuk mobil, dan melanjutkan perjalanan pulang yang tertunda. Namun, kehadiran Firman yang begitu dramatis dengan mobil mewah yang tancap rem mendadak, Zian pun mengurungkan langkah dan memerhatikan semuanya. Saat tahu kalau yang datang adalah ayahnya Dira, lelaki itu
Meneruskan niatnya untuk pulang.
"Apa dia?" Firman menatap Zian dengan seksama.
"Dia?" Dira mengikuti arah pandangan ayahnya.
"Dia, pemuda yang kau sukai?"
tanya Firman tanpa mengalihkan pandangan dari Zian.
"Eh." Dira terkejut. "Dia Zian, Ayah."
Maksud Dira adalah memberitahukan siapa pemuda itu. Tapi, bagi Firman itu adalah bentuk jawaban dari pertanyaannya.
Firman mengangguk lalu melangkah ke arah Zian yang sudah masuk ke mobil, dan hendak menutup pintunya.
"Tunggu, Anak muda!"
"Oh saya, Pak?"
"Iya, bapak ingin bicara denganmu."
Zian mengangguk, dan kembali keluar dari
Mobilnya.
"Aku ayahnya Dira." Firman berinisiatif menyalami Zian lebih dulu. Lelaki tampan itu menerimanya seraya mengangguk hormat.
"Saya Zian."
Firman menatap Zian lebih lama. Tatapan menilai. Meski rasa risih menghampiri Zian dengan cara Firman melihatnya. Namun, pemuda itu menyunggingkan senyuman.
"Banyak hal, yang ingin kutanyakan. Tapi, rasanya tidak etis jika berbicara hal yang sepenting itu di jalan. Jadi, aku menunggumu di rumah, Anak muda. Bersama Dira."
"Ada hal apa, Pak?" tanya Zian tak paham. Ia tahu kalau diundang untuk bertandang. Tapi, terasa ada maksud yang lebih besar dari hanya sekedar kunjungan.
"Kita bicarakan semuanya lebih serius, tentang hubungan kalian. Kamu, dan Dira."
"Hubungan apa? Saya sahabatnya Dira, Pak." Ucapan Zian yang tegas itu membuat Firman menoleh pada Dira sesaat, dan kembali menatap Zian.
"Sahabat?" Pertanyaan Firman hanya terdengar seperti gumaman.
"Iya." Jawaban singkat Zian menegaskan kalau Firman tak salah dengar.
"Dira." Firman menatap putrinya tajam. "kau sedang menyukai laki-laki yang hanya menganggapmu sebagai sahabat, atau kau sedang membohongi ayah sekarang?"
"A-Ayah, Jangan salah paham dulu." Dira segera menghampiri dan berdiri dekat dengan Zian.
"Ada apa ini, Dira?" Zian bertanya lirih pada sahabatnya itu. Pertanyaan yang hanya dijawab Dira dengan anggukan kecil, lalu kembali fokuskan pembicaraan dengan ayahnya.
"Aku dan Zian belum membicarakan hubungan yang lebih serius, Ayah.
Nanti kalau kami sudah membicarakan hal ini lebih serius, kami akan menemui, Ayah." Dira menyematkan senyum manis. Mengabaikan tatap mata menelisik dari Zian yang berdiri di dekatnya.
"Karena aku sudah menyukai Zian. Ayah gak perlu lagi menjodohkanku lagi dengan siapa pun. Aku ingin hidup dengan pilihanku sendiri," kata Dira lagi dengan tatap mata penuh harap.
Jauh di relung di hatinya, ia merasa takjub, dari mana bisa memperoleh keberanian seperti ini, bahkan sampai menyeret nama Zian Ali Faradis.
Kayaknya setelah ini aku harus bersiap untuk dijadikan babi guling oleh Zian. Batin Dira dengan raut wajah khawatir, yang disembunyikan dengan senyum. Senyum yang dipaksakan.
Firman menghela napas pelan, menatap Aga sebentar. Lalu pandangannya kembali berlabuh pada Zian dan Dira bergantian."Secepatnya aku menunggu kabar baik dari kalian."
"Insyaallah, Ayah. Sekarang, Ayah pulang saja dulu. Aku akan pulang bersama Aga."
Firman mengangguk, melangkah ke arah Aga. Menepuk pundaknya. "Bawa Dira pulang dengan selamat!"
"Baik, Pak."
"Aku menunggumu di rumah, Anak muda. Secepatnya." Firman mengucapkan itu pada Zian. Setelah mendapat anggukan, lelaki baya itu membawa tubuhnya masuk ke dalam mobil yang kemudian melaju pelan.
Dira menarik napasnya berkali-kali. Rasanya seperti telah lepas dari jerat yang menyesakkan diri. Namun, baru juga merasa lega, terdengar Zian berdehem.
"Ehemm. Jadi sekarang elu ngasih gue peran sebagai pacar bohongan?"
"Ee, Zi-Zian itu.. itu--" Maka guguplah Dira. Terbata, tak segera mampu mengucapkan kata yang utuh untuk bisa dipahami secara sempurna.
"Napa gak briefing gue sebelumnya, Dira?"
Pertanyaan Zian kali ini terdengar dengan nada bercanda. Bahkan nampak senyum yang terpahat di wajah tampan lelaki itu membuat kegugupan Dira perlahan sirna.
"Zian itu ... Ah aku minta maaf. Itu hanya agar ayah tak berniat menjodohkan aku lagi."
"Hanya dengan itu caranya ngasih tau beliau?"
"Iya." Dira mengangguk pasti.
"Bukan karena elu beneran suka ama gue?" Zian memasang tampan menggoda, dikombinasi senyuman manis yang tiada duanya.
Dira langsung tercekat dan terdiam, seperti tersedak biji rambutan. Kata sanggahan tak segera bisa diucapkan.
Aku kasih vote biar calonnya Zian tambah semangat