Nindya adalah wanita empatik dan gigih yang berjuang membesarkan anaknya seorang diri. Kehidupannya yang sederhana berubah ketika ia bertemu Andrew, pria karismatik, mapan, dan penuh rahasia. Dari luar, Andrew tampak sempurna, namun di balik pesonanya tersimpan kebohongan dan janji palsu yang bertahan bertahun-tahun.
Selama lima tahun pernikahan, Nindya percaya ia adalah satu-satunya dalam hidup Andrew, hingga kenyataan pahit terungkap. Andrew tetap terhubung dengan Michelle, wanita yang telah hadir lebih dulu dalam hidupnya, serta anak mereka yang lahir sebelum Andrew bertemu Nindya.
Terjebak dalam kebohongan dan manipulasi Andrew, Nindya harus menghadapi keputusan tersulit dalam hidupnya: menerima kenyataan atau melepaskan cinta yang selama ini dianggap nyata. “Istri Bayangan” adalah kisah nyata tentang pengkhianatan, cinta, dan keberanian untuk bangkit dari kepalsuan yang terselubung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seroja 86, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
“Alasan!” suara Mamanyanya meninggi.
Hening beberapa detik. Andrew menatap bayangan dirinya di kaca jendela, merasa seperti dua orang berbeda yang saling bertarung. Satu ingin lepas dari masa lalu, satu lagi terikat pada janji yang tak bisa dihapus begitu saja.
“Aku mengerti Ma,tapi Mama juga harus ngerti,.”ucapnya akhirnya.
Telepon terputus dengan nada kecewa yang masih tergantung di telinganya.
Andrew terdiam, menatap lantai. Kata-kata Mamannya menancap tajam, mengingatkannya pada janji-janjinya di masa lalu.
Ia ingin menjawab tegas, tapi lidahnya kelu. Bayangan Michelle yang sedang menunggu untuk melahirkan anak kedua mereka pun berkelebat, membuat hatinya semakin kalut.
Setelah panggilan itu berakhir, Andrew menunduk, wajahnya tertutup kedua telapak tangan. Rasa damai yang tadi ia dapatkan seolah terkoyak.
Ia sadar, perjalanan barunya tidak akan mudah. Di satu sisi ada Nindya, yang kini telah menjadi alasan terbesarnya untuk bertahan dan berjuang. Di sisi lain, ada ikatan lama yang belum selesai—ikatan yang terus menghantuinya.
Belum sempat ia meletakkan ponsel, pesan lain masuk. Dari Michelle.
"Andrew, kapan kamu datang bulan ini aku melahirkan".
Andrew menutup mata rapat-rapat kata-kata Michelle menusuk. Ada rasa bersalah, ada rasa marah pada dirinya sendiri. Di sisi lain, wajah Nindya muncul jelas dalam ingatannya—suaranya yang lembut, tatapannya yang tulus.
Ia merasa tertarik ke dua kutub yang berlawanan. Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak menjadi mualaf, Andrew merasa imannya sedang diuji.
Malam itu, Andrew terduduk lama di tepi ranjangnya. Tubuhnya lelah, tapi pikirannya jauh dari kata tenang. Kata-kata ibunya masih tentang janji-janji yang dulu ia buat.
Ia menunduk, menatap telapak tangannya sendiri. Baru beberapa jam lalu ia begitu yakin, begitu mantap setelah menunaikan sholat Subuh pertamanya.
Ada ketenangan yang meresap, seakan hidup memberinya arah baru. Namun kini, semua itu kembali goyah.
"Apakah aku bisa tetap berdiri di jalanku?" gumamnya lirih, nyaris tak terdengar.
Andrew memejamkan mata. Ia tahu jalan yang dipilihnya bukan sekadar tentang cinta pada Nindya, melainkan tentang keberanian menghadapi konsekuensi. Sebuah keberanian yang malam itu terasa begitu mahal.
Hening menemani, hanya suara detak jam yang terdengar. Dan di dalam keheningan itulah, Andrew akhirnya menarik napas panjang, berbisik lirih dalam doanya yang masih terbata.
“Ya Allah… beri aku petunjuk.” Hari hari Andrew menjadi lebih berwarna setelah ia memeluk keyakinan baru
Ia menukan ketenangan sekaligus kekuatan yang tidk pernah ia temui sebelumnya, segalanya menjadi lebih terukur dan terarah entah ini sugesti atau apa .
Keesokan harinya ia berniat menemui Nindya untuk berbicara tentang hubungan mereka,
Andrew menatap sosok Nindya yang sudah menunggunya di kafe kecil dekat kantor.
Wajah itu tampak lelah, namun tetap memancarkan keteguhan yang membuat hatinya bergetar. Nindya mengangkat pandangan, sedikit ragu, seakan bersiap menghadapi jawaban yang mungkin tak sesuai harapannya.
Andrew menarik kursi dan duduk di hadapannya. Untuk sesaat ia hanya diam, berusaha menenangkan degup jantungnya. “Nindya…” suaranya dalam, penuh keyakinan, “Aku tidak mau menundanya lagi.”
Nindya terdiam jemarinya menggenggam gagang cangkir kopi di tangannya.
“Maksudmu?” tanyanya pelan, nyaris berbisik.
Andrew mencondongkan tubuh, menatap lurus ke matanya.
“Mari kita menikah.,aku ingin kita menjadi keluarga yang utuh.”Ucap Andrew tanpa ragu
Mata Nindya berkaca kaca ada rasa hangat yang menjalar, bercampur dengan ketakutan yang selama ini membelenggunya. Ia tahu keputusan Andrew bukan keputusan ringan.
“Andrew… apa kamu benar-benar yakin?”
Andrew mengangguk mantap.
“Aku yakin dengan apa yang aku putuskan”
Kata-kata itu membuat dada Nindya sesak. Ia hanya bisa menunduk, menahan air mata. Untuk pertama kalinya, ia merasa jalan yang selama ini tampak buntu perlahan membuka celah.
“Andrew… kalau kita memang serius, kapan orang tua mu menemui orang tuaku?” tanyanya pelan. Ada harap sekaligus cemas dalam suaranya.
Andrew terdiam sesaat, meneguk kopinya. Senyumnya masih terpasang, tapi matanya jelas menyimpan kegelisahan.
“Nind, bukankah pernikahan itu sebenarnya cukup antara kita berdua?laki-laki tidak perlu wali.”
Nindya menatap Andrew tak percaya.
“Tidak salah.. tapi bagiku, pernikahan bukan hanya menyatukan dua kepala, tapi juga dua keluarga Ndrew.”
Andrew cepat-cepat mengalihkan pandangan, seolah enggan menatap mata Nindya terlalu lama.
Percakapan itu menggantung, meninggalkan ruang kosong dalam hati Nindya. Sesampainya di rumah, ia akhirnya menceritakan kegelisahannya pada orang tuanya.
Ayahnya mendengarkan dengan wajah serius. “Nindya, pertanyaan Ayah kenapa orang tuanya tidak bisa menemui Ayah dan Ibu?.”
Ibu Nindya menimpali dengan lembut,
“Nak, sebaiknya kamu pikirkan lagi ada yang janggal disini ibu rasa.”
Nindya tercekat. Kata-kata itu menusuk hatinya. Ia ingin mempercayai Andrew sepenuhnya, tapi di sisi lain, keraguannya makin tumbuh. Malam itu, ia terbaring dengan pikiran kacau apa Andrew menyembunyikan sesuatu?
Andrew duduk sendirian di balkon apartemennya malam itu. Angin laut Batam berembus lembut, tapi dadanya terasa sesak. Ia menyalakan sebatang rokok, dan asapnya membubung, seperti kekacauan yang tak pernah bisa ia rapikan.
Sekilas wajah polos Nindya, penuh harap, berkelebat di benaknya. Hatinya tercekat Ia tahu, semakin lama ia menunda, semakin besae kemungkinan Nindya tidak bisa ia dapatkan
Andrew meneguk kopinya yang sudah dingin. Ia merasa terhimpit. Di satu sisi, Nindya—wanita yang membuatnya kembali merasa hidup, yang memberi arti pada kesepiannya.
Di sisi lain, Michelle dan anak anaknya—sebuah ikatan yang tidak pernah benar-benar ia lepaskan, betapapun rapuhnya.
Ia menunduk
“Ternyata aku hanyalah seorang pecundang.” Gumamnya lirih
Nindya pantas mendapatkan kejujuran, tapi bagaimana bisa ia memberikannya? ada Ikatan Janji yang terjalin antara dirinya dan Michelle.
Andrew memejamkan mata, mencoba meredam gejolak batinnya. Ia sadar betul, cepat atau lambat Nindya akan tahu apa yang ia sembunyikan.
Dan saat hari itu tiba, ia harus memilih tetap bersama atau melepaskan Nindya
Dalam hatinya, Andrew tahu, ia sedang berjalan di atas bara api. salah langkah habislah semua yang ia bangun.
Nindya, dan Michelle.dia menempatkan dua orang wanita yang tulus mencintainya itu dalam pusaran manipulasinya.
Waktu berjalan tanpa mengenal jeda ,seolah berpacu dengan semua kepalsuan yang ia ciptakan.
Setelah melalui perdebatan yang sengit ia berhasil meyakinkan Nindya , gadis itu akhirnya tidak lagi mengungkit ketidakhadiran orang tuanya dari pihaknya.
Hari itu akhirnya tiba suasana rumah orang tua Nindya terasa berbeda. Udara seolah lebih berat, penuh dengan tanda tanya.
Nindya sudah terlebih dahulu memberi tahu mereka bahwa Andrew akan datang, ditemani oleh Johan dan seorang ustadz yang selama ini membimbingnya.
Andrew duduk di kursi ruang tamu dengan sikap tegang namun berusaha tenang. Johan yang duduk di sampingnya memberi isyarat agar ia rileks, sementara Pak Ustadz Hasan duduk disisi yang lain menjadi perwakilan dari pihak Andrew
Ayah Nindya menatap Andrew dengan sorot mata tajam namun bijak.
"Pekenalkan saya Hasan mewakili keluarga Andrew, kami datang dengan niat baik ingin meminang putri bapak yang bernama Nindya Swardhani. Ucap Pak Ustadz