Dyah Galuh Pitaloka yang sering dipanggil Galuh, tanpa sengaja menemukan sebuah buku mantra kuno di perpustakaan sekolah. Dia dan kedua temannya yang bernama Rian dan Dewa mengamalkan bacaan mantra itu untuk memikat hati orang yang mereka sukai dan tolak bala untuk orang yang mereka benci.
Namun, kejadian tak terduga dilakukan oleh Galuh, dia malah membaca mantra cinta pemikat hati kepada Ageng Bagja Wisesa, tetangga sekaligus rivalnya sejak kecil. Siapa sangka malam harinya Bagja datang melamar dan diterima baik oleh keluarga Galuh.
Apakah mantra itu benaran manjur dan bertahan lama? Bagaimana kisah rumah tangga guru olahraga yang dikenal preman kampung bersama dokter yang kalem?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Tangan Bagja begitu cekatan saat memasak. Jemarinya lincah mengaduk ayam kecap yang kuahnya perlahan mengental, memunculkan aroma manis gurih yang begitu menggoda. Wajahnya serius, alisnya sedikit berkerut, seakan memasak bukan sekadar kegiatan rumah tangga, melainkan seni yang menuntut ketelitian.
Sementara itu, Galuh berdiri di sampingnya sambil mengawasi. Pekerjaannya menanak nasi, mencuci lalapan, dan membuat sambal sudah selesai. Kini dia hanya menjadi penonton yang menunggu dengan sabar—atau lebih tepatnya dengan rasa lapar yang sulit ditahan.
"Itu sudah matang?" tanya Galuh sambil menelan ludah. Matanya tak beranjak dari ayam kecap yang berwarna cokelat pekat, berkilau terkena cahaya lampu dapur. Kuahnya mendidih, gelembung-gelembung kecil naik ke permukaan dan pecah satu per satu.
"Sebentar lagi," jawab Bagja sambil mengaduk perlahan, suaranya tenang, tapi membuat Galuh semakin tidak sabar.
Kruuuuk.
Perut Galuh tiba-tiba berbunyi keras. Ia spontan memegang perutnya dengan wajah merah padam, sementara Bagja menoleh, lalu tersenyum geli.
"Kamu lapar sekali, ya?" tanyanya, menahan tawa.
"Jelaslah! Aku belum makan sejak siang. Capek beres-beres rumah, mana ada tenaga," jawab Galuh, bibirnya mengerucut kesal.
"Kasihan sekali istriku ini." Bagja tertawa pelan, lalu mengusap pucuk kepala Galuh dengan lembut. Sentuhannya membuat hati Galuh hangat, meski wajahnya tetap pura-pura kesal. "Sana duduk dulu, aku pindahkan dulu ayamnya ke wadah."
Mendengar itu, Galuh langsung tersenyum lebar. Harapannya segera terwujud. Dia benar-benar kelaparan. Tadi siang, satu-satunya yang masuk ke perutnya hanyalah batagor dari tukang dagang keliling. Wajar kalau perutnya sekarang terasa melilit.
Beberapa menit kemudian, mereka sudah duduk di meja makan. Aroma ayam kecap semakin kuat, bercampur dengan wangi sambal buatan Galuh dan kesegaran lalapan. Galuh langsung melahap makanannya dengan penuh semangat. Suapan pertama saja sudah membuatnya mendesah puas.
“Hmm... enak banget,” gumamnya, tidak malu-malu.
Bagja hanya terkekeh melihat istrinya makan dengan lahap. “Pelan-pelan, nanti keselek.”
Tapi Galuh tak peduli. Tiga potong ayam kecap langsung habis di piringnya, ditambah dua kali nambah nasi. Sesekali dia menyendok sambal, lalu menyobek lalapan segar. Nikmat sekali.
Sementara itu, Bagja hanya makan dengan tenang. Dia sesekali menatap Galuh yang sedang asyik mengunyah, senyum kecil tak lepas dari wajahnya. Dalam hati, ia merasa bahagia. Momen sederhana seperti ini membuat rumah kecil mereka terasa lengkap.
Setelah perut kenyang, Galuh menyandarkan tubuhnya ke kursi. Nafasnya sedikit berat karena kekenyangan. “Aa, masakanmu selalu bikin aku lupa diri.”
“Kalau begitu, jangan pernah coba masak sendiri, nanti aku kalah,” jawab Bagja menggoda.
Galuh tertawa lemah, tangannya mengusap perut yang sudah penuh. “Ya, itu sudah jelas.”
Hening sejenak. Hanya suara sendok yang beradu dengan piring ketika Bagja merapikan sisa makanan. Kemudian Galuh berkata, “Kita ke rumah Ibu sebelum magrib atau setelah salat magrib?”
“Sebelum magrib saja. Masih ada waktu empat puluh menit sebelum azan,” jawab Bagja sambil membereskan meja.
Galuh mengangguk. Mereka memang sudah berencana untuk menginap di rumah Pak Wira malam ini. Ada pembicaraan penting mengenai acara syukuran rumah baru mereka.
“Aa, mandi dulu. Biar aku yang cuci piring,” ucap Galuh ketika melihat Bagja hendak menuangkan sabun ke wadah.
Namun Bagja malah tersenyum nakal. “Kita mandi bersama, yuk!” Kedua alisnya naik turun, membuat Galuh melotot.
“Enggak mau. Sana cepat mandi!” titah Galuh sambil mendorong bahu suaminya.
Bagja hanya terkekeh, lalu berjalan menuju kamar mandi. Sementara itu, Galuh langsung bergerak cepat. Dengan kecepatan super, ia mencuci semua bekas masakan dan makan barusan. Hatinya lega ketika selesai tepat bersamaan dengan pintu kamar mandi terbuka. Begitu Bagja keluar, giliran Galuh masuk untuk membersihkan dirinya.
Sore itu, mereka tiba di rumah Pak Wira. Suasana rumah terasa hangat dan penuh kebersamaan. Bau khas teh manis dari dapur menyambut hidung mereka. Mereka duduk di ruang tengah, bercengkerama sambil menunggu azan magrib.
Pak Wira membuka percakapan dengan suara mantap. “Acara syukuran diadakan hari Minggu saja, nanti. Waktunya ba’da magrib. Kalau ba’da Ashar, takutnya orang masih lelah pulang kerja, atau masih dalam perjalanan.”
Bagja mengangguk setuju. “Iya, Pak. Ba’da magrib lebih pas.”
Galuh duduk di samping Bagja, sesekali menyanggupi. Ia membayangkan rumah barunya nanti akan dipenuhi kerabat, tetangga, dan sahabat yang datang mendoakan. Ada rasa bangga sekaligus canggung karena ini pertama kalinya ia benar-benar menjadi nyonya rumah.
Dari luar, terdengar suara hiruk-pikuk alun-alun. Malam ini adalah malam terakhir hiburan rakyat diadakan. Warga masih berbondong-bondong datang. Dentuman musik dangdut samar-samar terdengar dari kejauhan, bercampur dengan suara tawa anak-anak yang bermain kembang api.
“Dulu, kalau musim panen, Pak Dhika sering adakan wayang golek,” kata Pak Wira sambil tersenyum mengenang. “Dia senang berbagi kebahagiaan dengan warga.”
Galuh mendengarkan sambil tersenyum kecil. Kehidupan di kampung ini memang sederhana, tapi hangat. Tidak ada yang benar-benar merasa sendirian, karena semua saling mendukung.
Tiba-tiba, Bu Kania yang sedari tadi diam, menoleh ke arah Galuh. “Galuh, apa berencana langsung punya anak, atau KB dulu?”
Pertanyaan itu membuat suasana mendadak hening. Galuh tercekat, wajahnya berubah merah. Bagja spontan menoleh, matanya membesar sedikit.
Galuh membuka mulut, tapi tak langsung menjawab. Pertanyaan itu sederhana, tapi menyentuh hal besar yang sejak awal belum benar-benar mereka bicarakan.
maubitu jujur mau itu ngobrol mau itu nanya atau marah kan buka mulut toh 🤭
kalo mingkem alias diem bae mah bubar pasti 😂😂