Zayn Alvaro, pewaris tunggal berusia 28 tahun, tampan, kaya raya, dan dingin bak batu. Sejak kecil ia hidup tanpa kasih sayang orang tua, hanya ditemani kesepian dan harta yang tak ada habisnya. Cinta? Ia pernah hampir percaya—tapi gadis yang disayanginya ternyata ular berbisa.
Hingga suatu hari, asistennya datang dengan tawaran tak terduga: seorang gadis desa lugu yang bersedia menikah dengan Zayn… demi mahar yang tak terhingga. Gadis polos itu menerima, bukan karena cinta, melainkan karena uang yang dijanjikan.
Bagi Zayn, ini hanya soal perjanjian: ia butuh istri untuk melengkapi hidup, bukan untuk mengisi hati. Tapi semakin hari, kehadiran gadis sederhana itu mulai mengguncang tembok dingin di dalam dirinya.
Mampukah pernikahan yang lahir dari “pesanan” berubah menjadi cinta yang sesungguhnya? Ataukah keduanya akan tetap terjebak dalam ikatan tanpa hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Resleting gaun yang macet (21+)
Setelah tiba di rumah, Zayn sama sekali tidak membiarkan Alisha bergerak sendirian. Tangannya tak lepas dari pinggang ramping sang istri, seolah takut ada bahaya yang tiba-tiba datang menyergap. Arvin, yang berjalan di belakang mereka, hanya bisa menggeleng kecil, sembari tersenyum samar. Ia sudah lama mengikuti tuannya, tahu betul betapa dinginnya Zayn selama ini terhadap perempuan. Namun malam ini, sikap itu runtuh begitu saja—hanya untuk seorang wanita bernama Alisha.
"Tuan jatuh cinta... pada istri yang dulu katanya hanya sebatas status." batin Arvin, senyumnya tak bisa disembunyikan.
Sesampainya di kamar, suasana berubah lebih sunyi. Alisha berdiri di depan cermin, mencoba melepaskan gaun malamnya. Jarinya gemetar, resleting yang terletak di bagian punggung tak juga mau turun. Ia menggigit bibir, menahan ragu, menatap pantulan dirinya di cermin. Pandangannya sekilas beralih ke Zayn, namun ia tak berani meminta tolong.
Zayn yang baru melepas jasnya, langsung menangkap kegugupan istrinya. Dengan langkah mantap ia menghampiri, lalu berhenti tepat di belakang Alisha. Tatapannya menelusuri bayangan tubuh istrinya di cermin. Perlahan, tangannya terulur, menyentuh resleting gaun yang membandel itu. Satu tarikan lembut membuat gaun perlahan melonggar, memperlihatkan punggung mulus Alisha.
Alisha terdiam, jantungnya berdegup kencang. Wajahnya memerah, sementara tatapannya masih terpaku pada cermin. Zayn sendiri terperangkap dalam sensasi yang tak bisa ia cegah. Hasrat lelaki dalam dirinya bangkit, ditambah dengan kelembutan wajah istrinya yang tampak rapuh.
“Alisha…” bisiknya lirih, seolah setengah merayu, setengah menahan diri.
Alisha menunduk, tak kuasa menjawab. Namun tubuhnya bergetar ketika Zayn perlahan meraih bahunya, lalu membalikkan tubuh sang istri agar menghadap padanya. Kedua mata mereka bertemu—dan dalam tatapan itu, tembok yang selama ini kokoh perlahan runtuh.
Zayn menunduk, bibirnya menyentuh bibir Alisha dengan lembut. Ciuman itu penuh keraguan pada awalnya, seakan meminta izin. Namun ketika Alisha tidak menolak, genggaman Zayn menguat, membawa istrinya ke dalam buaian hasrat yang lebih dalam. Zayn menggiring Alisha ke ranjang, lalu merebahkan merebahkan tubuhnya, mengukungnya.
Zayn terus menyesap bibir Alisha yang sepertinya akan menjadi candu baginya. Tak lama ia melepas pagutan itu, menatap wajah cantik yang tersipu malu di bawahnya.
Jantung Alisha berdebar aneh, mulutnya ingin menolak namun reaksi tubuhnya seolah mengizinkan Zayn untuk melakukan lebih.
Alisha memalingkan wajah saat pandangan Zayn fokus pada tubuh bagian bawahnya yang hanya terbalut kain segitiga tipis berwarna hitam, sangat kontras dengan kulit putihnya.
Perlahan tangan Zayn menyentuh bagian itu, hal pertama dalam hidupnya yang ia lakukan. Meski hidup bergelimang harta dan di kelilingi wanita cantik, namun Zayn tak pernah melakukan hal seperti itu, ia hanya akan melakukan dengan istrinya, seperti malam ini.
Alisha memejamkan matanya saat tangan Zayn mengusap lembut area kewanitaannya.
"Boleh?" suara Zayn terdengar berat, sorot matanya di penuhi kabut gairah.
Alisha mengangguk samar, ia tak berani menatap Zayn.
Perlahan tangan Zayn melepaskan satu-satunya kain yang menutupi aset berharga istrinya itu.
Matanya nyaris tak berkedip begitu kain itu terlepas, wajah Alisha memerah, "Zayn, jangan di lihat seperti itu,"
Zayn tersenyum, "Aku menyukainya. Boleh ku lakukan?"
"Lakukanlah," entah mendapat keberanian dari mana Alisha tiba-tiba berkata seperti itu.
Zayn melakukan 'pemanasan' terlebih dahulu, agar istrinya tidak kaget, tidak terlalu sakit lebih tepatnya. Namun yang namanya malam pertama tetaplah menyakitkan bagi setiap gadis.
"Zayn, sakiiiitt..." rintih Alisha, disertai air mata yang mengalir di sudut matanya.
"Aku akan melakukannya pelan-pelan," ucap Zayn menenangkan Alisha, jemarinya menghapus air mata yang membasahi sebagian wajah istrinya.
Alisha nyaris berteriak saat Zayn berhasil menerobos miliknya, namun hal itu tak terjadi, Zayn membungkam mulut istrinya dengan bibirnya. Ia meredam jeritan itu dengan lumatan yang lembut namun menuntut.
Perlahan tangis itu mereda, kesakitan itu tersamarkan dengan perasaan yang Alisha sendiri sulit untuk menjelaskannya. Tubuh Alisha malam itu milik Zayn seutuhnya. Tak ada penolakan, tak ada keterpaksaan.
Malam itu menjadi saksi penyatuan pertama mereka. Alisha sempat menangis, tubuhnya bergetar karena pertahanan yang selama ini ia jaga akhirnya runtuh—oleh suaminya sendiri. Sakit, perih, bercampur dengan rasa asing yang membuatnya terkejut. Tapi dalam dekapan Zayn, tangisan itu perlahan mereda. Kelembutan pria itu menenangkannya, membisikkan bahwa ia tidak sendiri.
Alisha menyadari, meski air matanya jatuh, hatinya tidak menyesali apa pun. Sebab yang menembus pertahanannya bukan sembarang pria, melainkan lelaki yang kini resmi menjadi suaminya. Lelaki yang tanpa ia sadari, perlahan menumbuhkan perasaan yang hangat di hatinya.
Zayn sendiri tahu, malam itu mengubah segalanya. Istri yang dulu ia anggap hanya sekadar status, kini telah ia miliki sepenuhnya—bukan hanya tubuhnya, tapi juga hatinya. Dan ia berjanji dalam hati, tidak akan pernah membiarkan wanita itu merasa sendirian lagi.
.....
Malam itu menjadi saksi perubahan besar dalam hidup mereka berdua.
Di kamar mewah yang kini terasa begitu hangat, Zayn dan Alisha terbaring dalam diam setelah semua yang terjadi. Nafas mereka masih tersengal, menyisakan jejak dari keintiman yang baru saja mereka lalui.
Alisha menatap langit-langit kamar, matanya masih berair. Ada rasa sakit, ada perih, tapi di balik itu semua, hatinya dipenuhi perasaan yang sulit ia uraikan. Tangannya yang kecil meremas selimut, tubuhnya bergetar bukan lagi karena takut, melainkan karena campuran antara lega dan pasrah.
Zayn di sisinya, masih menatap wajah istrinya dengan sorot mata berbeda—lebih dalam, lebih lembut, sekaligus penuh proteksi. Ia menyibak rambut Alisha yang berantakan, lalu mengecup keningnya dengan lembut. "Maafkan aku… jika aku terlalu memaksa,” suaranya berat, namun lirih, penuh penyesalan.
Alisha menoleh perlahan, menatap suaminya dengan mata berkaca. Bibirnya bergetar sebelum akhirnya ia berucap pelan, “Aku… aku tidak menyesal, Zayn.” Suaranya serak, namun tulus.
Zayn terdiam, hatinya diguncang. Istrinya yang dulu hanya akan ia anggap sebagai status belaka, kini justru mampu membuatnya merasakan sesuatu yang selama ini ia hindari—keterikatan.
Tangannya menggenggam jemari Alisha, meremasnya lembut, seolah ingin memastikan ia akan selalu ada di sana.
“Mulai sekarang, kau tidak perlu takut apa pun,” ucap Zayn dengan nada tegas. “Selama aku di sini, aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu, bahkan jika aku harus mempertaruhkan segalanya.”
Alisha terdiam, dadanya terasa sesak. Ancaman Lucas masih terngiang, bayang-bayang pria itu membuatnya cemas. Namun tatapan Zayn malam itu, begitu kokoh, seolah membangun benteng di sekelilingnya.
Senyum tipis akhirnya merekah di bibir Alisha. Ia memejamkan mata, membiarkan dirinya larut dalam dekapan Zayn. Malam itu, untuk pertama kalinya ia merasa benar-benar terlindungi, meski dalam perjalanan menuju kenyataan yang tidak mudah.
Di luar kamar, Arvin yang baru saja lewat di koridor tersenyum kecil. Ia mendengar samar-samar suara lembut tuannya menenangkan sang nyonya. Hatinya hangat—ia tahu, Zayn benar-benar jatuh cinta, meski tuannya itu mungkin belum sepenuhnya menyadari.
Dan malam itu pun menjadi awal, bukan sekadar penyatuan tubuh, tapi penyatuan jiwa yang perlahan tumbuh di antara mereka.