Aku mengenalnya sejak kuliah. Kami bertiga—aku, dia, dan sahabatku—selalu bersama.
Aku pikir, setelah menikah dengannya, segalanya akan indah.
Tapi yang tak pernah kuduga, luka terdalamku justru datang dari dua orang yang paling kucintai: suamiku... dan sahabatku sendiri.
Ketika rahasia perselingkuhan itu terbongkar, aku dihadapkan pada kenyataan yang lebih menyakitkan—bahwa aku sedang mengandung anaknya.
Antara bertahan demi anak, atau pergi membawa kehormatan yang tersisa.
Ini bukan kisah cinta. Ini kisah tentang dikhianati, bangkit, dan mencintai diri sendiri...
"Suamiku di Ranjang Sahabatku" — Luka yang datang dari rumah sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizki Gustiasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Maaf yang tak terucap..
Langit mendung menggantung rendah, seperti ikut menahan sesak yang sejak pagi mengendap di dada Nayla. Angin sore membawa aroma hujan yang belum turun, menyapu halaman kecil kontrakan tempat Nayla tinggal bersama pamannya.
Ketukan di pintu pelan, nyaris tak terdengar. Nayla, yang tengah duduk di lantai dengan tangan mengusap lembut perutnya yang mulai membulat, menoleh pelan. Tidak ada raut curiga, hanya raut lelah yang sudah lama tinggal di wajahnya.
Saat pintu dibuka, sosok itu berdiri di ambang. Raka.
Kaku.
Gugup.
Menyimpan sesuatu yang sejak awal Nayla bisa tebak takkan menyenangkan.
Nayla menghela napas, tapi tetap membuka pintu lebih lebar.
“Kamu sehat?” tanya Raka lirih.
“Masuk aja,” ujar Nayla datar, lalu berjalan kembali ke dalam tanpa menunggu jawaban.
Raka masuk dengan langkah berat, seolah setiap jejaknya mengusik luka lama. Matanya sempat melirik perut Nayla yang tak lagi bisa disembunyikan. Ada denyutan rasa bersalah yang tak bisa ditutupi.
“Dokter bilang semuanya baik-baik aja,” kata Nayla mendahului.
Raka duduk di kursi, sementara Nayla tetap di tempatnya—di lantai, di dekat jendela, seperti tak ingin terlalu dekat.
Hening.
“Maaf,” kata Raka akhirnya.
Nayla tidak menjawab.
“Aku... aku datang bukan untuk membuka luka lama, Nay.”
Kepala Nayla terangkat, menatapnya lurus. "Tapi kamu tetap datang."
Raka menunduk. "Tania… dia ingin minta maaf. Bolehkah dia datang ke sini? Bukan untuk memaksa apa-apa, cuma untuk... meminta maaf langsung padamu."
Nayla menatapnya cukup lama. Lalu tertawa—pendek dan getir.
“Lucu, ya. Setelah semua ini, kalian pikir permintaan maaf bisa menyembuhkan semuanya?”
“Bukan begitu…”
“Aku gak butuh permintaan maaf, Raka. Aku butuh harga diriku dikembalikan. Aku butuh malam-malam panjang yang kulewati dengan air mata dikembalikan. Kamu bisa?”
Raka menunduk, membisu.
“Kalau kamu datang untuk memastikan aku dan bayi ini baik-baik saja, aku hargai itu. Tapi kalau kamu datang untuk Tania, pulanglah. Aku bukan tempat kalian mencari pengampunan yang nyaman.”
Perut Nayla bergerak pelan. Ia mengelusnya dengan lembut.
“Aku gak butuh kamu atau dia dalam hidupku lagi.”
Raka menatap Nayla. Ada luka di sana. Tapi yang paling menyakitkan adalah karena luka itu bukan miliknya. Itu milik Nayla. Dan dia bagian dari alasan luka itu ada.
Raka berdiri pelan. “Kalau kamu berubah pikiran...”
“Aku gak akan,” potong Nayla cepat. “Tolong jaga kalimat itu di kepalamu.”
Raka akhirnya melangkah mundur. Keluar dari pintu dengan perasaan hampa.
---
Raka membuka pintu rumah perlahan. Tatapannya kosong, langkahnya berat. Setelah kunjungannya ke kontrakan Nayla, banyak yang berputar di kepalanya. Ia tak yakin ini keputusan tepat—tapi ia tak sanggup membiarkan luka Nayla tetap terbuka tanpa penyelesaian.
"Sayang, darimana aja?" suara Tania terdengar dari ruang tengah. Ia baru saja keluar dari kamar, masih mengenakan piyama elegan, rambutnya digelung malas. Senyumnya menyambut seperti biasa, seolah tak pernah terjadi apa-apa.
Raka menatapnya sekilas. "Keluar sebentar," jawabnya pendek, berjalan melewati Tania menuju dapur.
Tania mengerutkan kening. "Lho, tumben kamu dingin banget?"
Raka membuka kulkas, mengambil air minum, meneguknya habis, lalu bersandar di dinding. Ia menghela napas panjang. Tania berjalan mendekat, menyentuh lengannya.
"Kamu kenapa, sih?"
Raka memutar tubuh, menatap Tania lurus. Tatapannya tajam, tapi ada kesedihan samar di matanya.
"Aku dari kontrakan Nayla," katanya akhirnya.
Tania diam. Wajahnya menegang sesaat.
"Aku... ngomong banyak sama dia," lanjut Raka. "Tentang semuanya. Tentang kamu. Tentang bayi yang dikandungnya."
Tania mundur selangkah, mulai merasa tak nyaman. "Terus... kamu ngomong apa?"
Raka melipat tangan di depan dada. "Aku bilang... kamu pengen minta maaf."
"Apa?" suara Tania meninggi, kaget. "Kamu bilang APA?!"
"Aku bilang kamu pengen minta maaf. Pengen datang langsung. Karena kamu juga nggak bisa hidup dengan beban ini terus."
Tania terdiam. Wajahnya memerah, antara marah dan panik. "Kamu gila? Aku nggak pernah bilang begitu! Kenapa kamu bilang ke Nayla yang nggak-nggak?!"
Raka mendekat. Kali ini suaranya lebih pelan, tapi menusuk.
"Karena kamu harus minta maaf, Tan."
Tania menggeleng cepat. "Itu bukan urusanmu! Aku punya alasan kenapa aku—"
"Kau hancurkan hidup dia," potong Raka, tajam. "Kau rebut hidup yang bahkan tidak seharusnya jadi milikmu. Dan sekarang kau tinggal diam di rumah ini, pura-pura nggak ada yang terjadi?"
Tania mulai menangis, marah, tak percaya. "Kamu memaksaku datang ke sana?! Setelah semua ini? Kamu pikir Nayla bakal nerima aku?"
"Kalau dia gak nerima, bukan urusanmu. Yang penting kamu datang. Minta maaf. Terserah dia mau memaafkan atau tidak," ujar Raka mantap.
Tania melangkah ke belakang, bersandar ke sofa, wajahnya pucat. "Jadi kamu... kamu setting ini semua? Kamu paksa aku supaya—"
"Supaya kamu berani tanggung jawab atas luka yang kita buat," kata Raka lirih. "Kita bukan korban di sini, Tan."
Tania menangis. Tapi Raka tak lagi mendekat. Ia berjalan ke balkon, membuka pintu dan berdiri di sana. Membiarkan udara malam menampar wajahnya. Di balik diamnya, ia tahu ini langkah yang berani... tapi benar.
Karena kalau luka tidak pernah dibicarakan, takkan pernah sembuh.
Dan Tania harus tahu rasanya datang langsung ke tempat yang ia bakar sendiri, dan melihat puingnya.