Xandrian Elvaro, pria berusia 30 tahun, dikenal sebagai pewaris dingin dan kejam dari keluarga Elvaro Group. Sepeninggal ayahnya, ia dihadapkan pada permintaan terakhir yang mengejutkan: menikahi adik tirinya sendiri, Nadiara Elvano, demi menyelamatkan reputasi keluarga dari skandal berdarah.
Nadiara, 20 tahun, gadis rapuh yang terpaksa kembali dari London karena surat wasiat itu. Ia menyimpan luka masa lalu bukan hanya karena ditinggal ibunya, tetapi karena Xandrian sendiri pernah menolaknya mentah-mentah saat ia masih remaja.
Pernikahan mereka dingin, dipenuhi benteng emosi yang rapuh. Tapi kebersamaan memaksa mereka membuka luka demi luka, hingga ketertarikan tak terbendung meledak dalam hubungan yang salah namun mengikat. Ketika cinta mulai tumbuh dari keterpaksaan, rahasia kelam masa lalu mulai terkuak termasuk kenyataan bahwa Nadiara bukan hanya adik tiri biasa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lina Hwang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Leo Membalas Dendam
Kebahagiaan mereka tak berlangsung lama. Di balik layar, saat Xandrian dan Nadiara baru saja mulai menghirup udara kebebasan Leo Wirawan mulai bergerak. Mantan sahabat Xandrian itu, lelaki yang pernah mencintai Nadiara hingga ke titik obsesif, tidak tinggal diam. Ia menyimpan dendam, dalam, gelap, dan beracun.
Baginya, ini bukan sekadar soal cinta yang ditolak. Ini penghinaan. Ia merasa dikhianati. Terutama oleh Xandrian seseorang yang dulu ia anggap seperti saudara sendiri. Kini, pria itu telah merenggut segalanya cinta, reputasi, dan bahkan sebagian pangsa bisnis yang dulu mereka rintis bersama. Leo tidak bisa menerima itu. Ia menolak kalah.
Duduk di ruang kantornya yang modern namun terasa dingin, Leo menatap layar komputernya dengan sorot mata tajam. Di hadapannya, tersusun rapi dokumen, foto, bahkan cuplikan video yang sudah ia kumpulkan selama berbulan-bulan. Sebagian besar rekaman itu diambil secara diam-diam, saat Xandrian dan Nadiara masih menjaga hubungan mereka dari publik.
Ia menyusun rencana balas dendamnya dengan presisi. Lewat koneksi medianya, Leo mulai menyebarkan informasi yang disusun secara manipulatif. Ia tidak perlu berbohong secara terang-terangancukup menggiring opini. Ia tahu cara kerja dunia. Cukup satu kalimat ambigu, satu foto dengan narasi provokatif, dan masyarakat akan membuat simpulan sendiri.
Berita itu meledak di media sosial. Dalam hitungan jam, nama Xandrian dan Nadiara menjadi trending topic nasional. Judul-judul clickbait muncul di mana-mana
“Romansa Terlarang Pewaris Elvaro: Fakta di Balik Pernikahan Saudara Tiri”
“Pernikahan Saudara Kandung Tiri? Skandal Elvaro Group yang Mengejutkan”
“Netizen Murka: Hubungan Tidak Etis di Balik Kekayaan Keluarga Elvaro”
Komentar mengalir deras dan kebanyakan penuh kebencian.
“Jijik banget. Udah tahu saudara tiri, masih aja nekat.”
“Uang bisa beli segalanya, termasuk moral.”
“Kasihan keluarga mereka, aib banget!”
Kantor pusat Elvaro Group diserbu wartawan. Pagar utama harus diperkuat, dan keamanan ditambah dua kali lipat. Beberapa sponsor yang selama ini bekerja sama dengan Elvaro menyatakan ‘meninjau ulang kontrak’. Investor mulai ragu, saham perusahaan sempat turun tajam dalam sehari.
Lebih buruk lagi ancaman mulai mengarah pada Nadiara. Email masuk setiap jam, pesan DM memenuhi akun pribadinya.
“Perusak keluarga!”
“Kamu wanita tak tahu malu!”
“Kamu pantas dibakar di neraka!”
Nadiara mulai takut keluar rumah. Bahkan ke supermarket terdekat pun ia harus memakai hoodie, masker, dan kacamata hitam. Tapi tetap saja, ada mata-mata yang memotret dan menyebarkan keberadaannya.
“Ini terlalu kejam…” ucap Nadiara suatu malam, saat ia duduk di lantai kamar, memeluk lutut dan menyembunyikan wajah di balik tangannya. “Aku tak tahan lagi.”
Xandrian langsung menghampiri, meraih wajahnya yang basah air mata. Ia menatap dalam-dalam, memaksanya menatap balik.
“Kamu tak salah. Kita tidak salah.”
“Aku tak peduli lagi dengan diriku,” bisik Nadiara, suaranya gemetar.
“Tapi kalau kamu sampai kehilangan semua ini karena aku…”
“Bukan karena kamu” jawab Xandrian tegas.
“Karena mereka tak sanggup melihat kita bahagia.”
Rahang Xandrian mengeras. Ia tahu siapa dalangnya. Dan dia tidak akan diam saja. Ia sudah melewati terlalu banyak hal untuk kembali bersembunyi sekarang.
Hari berikutnya, Xandrian mengadakan konferensi pers. Ia berdiri di panggung kecil, di depan puluhan kamera dan ratusan wartawan. Wajahnya tenang, meski matanya menyimpan badai. Di belakangnya, berdiri para direksi Elvaro yang memilih setia.
“Aku tahu apa yang kalian pikirkan” kata Xandrian memulai. Suaranya bulat, jelas, tanpa ragu. “Tapi izinkan aku berbicara bukan sebagai pewaris Elvaro. Aku berbicara sebagai seorang pria yang mencintai seorang wanita.”
Ruangan hening.
“Ya, kami pernah tinggal di rumah yang sama. Tapi kami tidak tumbuh sebagai saudara. Tidak ada hubungan darah. Kami tidak memalsukan apa pun. Kami hanya jatuh cinta. Dan hari ini, kami adalah dua orang dewasa yang memilih satu sama lain bukan karena paksaan, bukan karena darah, tapi karena cinta.”
Beberapa wartawan terdiam. Beberapa lainnya mulai menunduk, tak lagi sesemangat sebelumnya.
Namun, publik tetap terbagi. Sebagian mulai bersimpati. Banyak yang menulis, “Kalau bukan sedarah, kenapa tidak?” Tapi suara kebencian tetap lebih nyaring. Dunia memang lebih suka menuding daripada memahami.
Dan Leo tidak berhenti di situ.
Melihat Xandrian tampil percaya diri, ia merasa semakin terhina. Ia mulai bermain lebih kotor. Ia mulai menyuap mantan karyawan Elvaro yang dulu diberhentikan karena kasus fraud. Ia mulai menanamkan cerita-cerita palsu, tentang korupsi, manipulasi pajak, dan konflik internal yang dibuat-buat. Ia mengarahkan semua perhatian publik pada ‘kebusukan sistem’ di balik nama Elvaro.
Satu malam, saat Xandrian baru pulang dari kantor, seseorang mengikutinya. Mobil hitam tak dikenal muncul di spionnya, membuntuti sejak simpang lampu merah. Dan ketika ia menoleh, seseorang di dalam mobil itu menunjuk ke arah Xandrian sambil menyeringai.
“Leo sudah terlalu jauh,” gumam Xandrian, menggenggam stir erat. Bukan hanya nama yang ingin dihancurkan Leo nyawa pun bisa jadi target berikutnya.
Di rumah, Nadiara menyambutnya dengan wajah cemas. “Aku mimpi buruk. Aku mimpi kamu jatuh.”
Xandrian menatap matanya. “Mimpi itu mungkin bukan hanya mimpi.”
Mereka berpelukan erat malam itu, tubuh mereka saling mencari kehangatan di tengah dinginnya ancaman yang tak terlihat. Dunia di luar sana mungkin sedang terbakar karena fitnah dan kebencian. Tapi di dalam rumah kecil mereka, dua hati masih bertekad untuk bertahan.
Namun mereka tahu, badai sesungguhnya belum berlalu.
Leo belum selesai.
Dan perang ini baru saja dimulai.