NovelToon NovelToon
Bukan Cinderella Sekolah: Deal Sinting Sang Pangeran Sekolah

Bukan Cinderella Sekolah: Deal Sinting Sang Pangeran Sekolah

Status: sedang berlangsung
Genre:Si Mujur / Diam-Diam Cinta / Idola sekolah / Cinta Murni
Popularitas:110
Nilai: 5
Nama Author: Dagelan

Kayyisa nggak pernah mimpi jadi Cinderella.
Dia cuma siswi biasa yang kerja sambilan, berjuang buat bayar SPP, dan hidup di sekolah penuh anak sultan.

Sampai Cakra Adinata Putra — pangeran sekolah paling populer — tiba-tiba datang dengan tawaran absurd:
“Jadi pacar pura-pura gue. Sebulan aja. Gue bayar.”

Awalnya cuma kesepakatan sinting. Tapi makin lama, batas antara pura-pura dan perasaan nyata mulai kabur.

Dan di balik senyum sempurna Darel, Reva pelan-pelan menemukan luka yang bahkan cinta pun sulit menyembuhkan.
Karena ini bukan dongeng tentang sepatu kaca.

Ini kisah tentang dua dunia yang bertabrakan… dan satu hati yang diam-diam jatuh di tempat yang salah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dagelan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22: Masuk ke Orbit Cakra

 

Hubungan pura-pura seharusnya bikin canggung. Seharusnya bikin tegang. Seharusnya bikin aku overthinking tiap lima menit—"apa lo lihat gue ngobrol sama cowok lain?" atau "apa cara gue tersenyum terlalu konyol?".

Tapi entah kenapa… setelah tiga kali ikut kelas tambahan bareng Cakra, yang terasa justru satu hal.

Aku mulai kebiasaan.

Kebiasaan lihat dia nongol tiba-tiba kayak hantu yang lucu.

Kebiasaan dia manggil namaku dengan nada seenaknya—kadang "Kay", kadang "Kayyisa", yang bikin jantungku berdebar beda tiap kali.

Kebiasaan dia ngeluh kalau aku lupa bawa minum—"lo mau dehydrasi di kelas ya?"

Kebiasaan ngerasain tatapan guru yang bingung kenapa "anak beasiswa" tiba-tiba duduk bareng "anak emas sekolah" yang selalu dapat nilai A.

Dan itu… bikin deg-degan nggak jelas. Seperti ada burung kecil yang terbang di dada tapi nggak tahu mau ke mana.

Begitu bel pulang berbunyi, aku buru-buru nyelipin buku ke tas—jari ku gemetar karena tergesa-gesa. Hari ini harus ke kafe lebih awal—shift soreku ditukar sama Kak Ines. Dia mau ke kondangan, aku mau uang tambahan buat beli buku pelajaran. Dunia adil, kan? Dapat uang tambahan dengan bayaran capek.

“Nggak usah buru-buru begitu, Kayyisa.”

Aku menoleh, jantungku langsung loncat. Dia berdiri nyender ke kursi kemudi, dasi longgar, kemeja digulung sampai siku—tangan yang berotot terlihat jelas. Tampang capek tapi tetap ganteng—jenis ganteng yang bikin emosi dan pengen melemparkan buku paket ke kepalanya agar dia berhenti bikin gue gugup.

“Gue kerja,” jawabku datar, coba keliatan cuek. “Kalau telat, gaji gue dipotong. Lo mau tanggung jawab?”

“Gue anter.”

“Lo pikir hidup gue cuma nurutin lo?” Aku melotot, tapi hatiku beneran senang mendengarnya. “Gue masih mampu naik angkot, tahu. Lebih murah dan sehat!”

“Tapi…” Cakra menyeringai—senyum yang bikin mata dia menyipit—“…lo nggak nolak juga kalau gue anter.”

Sial. Sial banget. Karena benar, aku nggak pernah nolak. Bahkan kadang aku sengaja keluar lambat buat nunggu dia.

Turun dari mobil di depan kafe, aku udah siap lari masuk sebelum dia ngajak apa-apa lagi. Tapi tangan Cakra tiba-tiba nangkep tali tasku—pelan, nggak tarik.

“Sa.”

“Apa lagi? Gue telat! Supervisor gue udah ngeliat dari dalam!”

“Besok… makan bareng habis kelas tambahan, ya?”

Aku memiringkan kepala, bingung. “Buat apa? Gue biasa bawa makan sendiri.”

“Karena…” Dia ragu sebentar, matanya turun ke lantai sebentar, “…lo kelihatan nggak makan siang tiga hari terakhir. Pas istirahat lo cuma makan permen yang ada di tas.”

Sialan. Dia memperhatiin hal sekecil itu? Kenapa sih dia tiba-tiba punya radar kemiskinan yang super akurat?

“Aku hemat,” jawabku defensif, malu banget dia tau. “Uang beli makan siang gue simpan buat lain.”

“Lo pucet.”

“Gue emang pucet. Warna kulit gue begitu, mungkin.”

“Lo lemes. Pas jalan kemarin lo hampir tersandung tali sepatu.”

“Gue emang hemat energi! Biar bisa kerja sore!”

Cakra ngelus pelipis, seolah kesal tapi juga lucu. “Ya Allah, Kayyisa… lo beneran bikin gue pusing.”

“Terserah. Besok gue bawa nasi goreng dari rumah.”

“Gue juga bawa. Kita barter.”

“Buat apa barter? Makanan gue pasti kalah mewah dari makanan lo yang kayak dari restoran.”

“Justru itu lucu.” Dia senyum lagi—senyum yang bikin suhu udara naik 3 derajat, sampe pipiku panas. “Gue mau nyobain hidup normal. Lo mau nyobain hidup enak. Fair, kan?”

Aku memutar bola mata, tapi senyum kecil nggak bisa ditahan. “Idih, kata siapa kontrak kita bukan acara pertukaran budaya, Cakra.”

“Mulai besok jadi iya,” jawabnya santai, seolah itu keputusan final.

Lalu dia pergi. Begitu saja. Meninggalkan aku yang berdiri sendirian di depan kafe—entah kenapa merasa ada ruang kosong beberapa detik setelah punggungnya hilang di tikungan jalan.

Kafe Senja sore itu penuh seperti biasa—pelanggan berdatangan sambil bawa cerita dan kebutuhan akan kopi. Aku pakai celemek, kuncir rambut pake jepit bintang yang dia beliin, siap tempur.

“Kay meja dua pesen ayam goreng!”

“Yisa, kope latte satu, kurang gula!”

“Itu blendernya macet lagi—tolong cek!”

"Lo kelihatan capek! Minum dulu ya—eh tapi tolong ambilin kue buat meja lima duluan!”

Aku? Menjadi mesin kerja yang tidak berhenti. Bergerak dari satu meja ke meja lain, ngambil pesanan, ngasih minuman—semua dengan cepat agar tidak salah.

Sampai bel pintu berdenting. Kling!

Dan tubuhku refleks menegang. Astaga. Jangan bilang dia datang lagi. Kemarin aja dia sempat nongol pas jam sepi cuma buat ngecek apakah aku makan—aku hampir mati saking malu dan keselnya karena rekan kerja ku mulai ngobrol-ngobrol.

Aku menoleh perlahan-lahan. Dan—oh sial.

Cakra masuk, nyelipin tangan ke saku hoodie-nya, rambut acak-acakan karena angin, tampang lelah tapi… tatapannya langsung nemu aku di tengah kerumunan.

“Shift sore banget?” tanyanya santai, seolah dia cuma kebetulan kesini.

“Lo ngapain kesini?” bisikku panik, nyoba buat dia pergi cepet. “Ini tempat kerja, bukan tempat wisata yang bisa lo kunjungi kapan saja!”

“Gue mau ngerjain PR kelas tambahan.” Dia ngangkat tasnya yang tebal. “Sambil ditemenin kopi favorit gue.”

“Lo punya 27 pilihan kafe fancy di Jakarta yang ada sofa empuk dan AC dingin—kenapa Kafe Senja yang sempit dan panas?”

Dia melirikku, mata dia sedikit menyipit. “Karena di 27 tempat itu, nggak ada lo.”

Hening. Aku membeku. Tangan ku yang lagi pegang cangkir langsung kaku.

Aku tahu dia cuma main pujian. Aku tahu dia cuma ngelucu. Aku tahu tujuan kita cuma pura-pura.

Tapi dada aku… Ya ampun, apa sih ini? Kenapa terasa hangat banget? Seperti ada kompor yang menyala di dalamnya.

“Udah sana duduk,” gerutuku, menunjuk ke pojokan paling pinggir. “Kalau supervisor gue liat, gue dibilang bawa pacar ke tempat kerja dan dipotong gaji!”

“Kan pura-pura pacaran,” katanya sambil ngedip jail.

“Pura-pura kerjalah,” balasku sambil melotot, lebih bercanda lagi. Tapi langkah ku udah mengarah ke kasir buat pesan kopinya.

Dia tertawa. Lembut. Capek. Tapi tulus. Dan suara tawanya itu bikin aku nyaman.

Selama satu jam ke depan, aku lihat sisi dirinya yang… nggak pernah kulihat di sekolah.

Cakra yang beneran fokus ngerjain PR—mata dia terkonsentrasi, jari dia cepat ngetik di iPad. Cakra yang minum kopi yang harganya berbeda dari yang dia bawa diawal datang kesini tapi mukanya puas.

Cakra yang nanya hal-hal kecil tentang kegiatan aku—“lo kerja sampe jam berapa?”

“lo suka kerja di sini?”—kayak dia beneran pengin tahu, bukan cuma buat ngisi waktu.

Dan aku, bodohnya… Aku nyaman. Seperti kita bukan cuma pacar pura-pura, tapi teman yang sudah kenal lama.

Saat aku menyerahkan pesanan terakhir kopi susu hangat buat dia, dia menatapku lama. “Lo capek?”

“Nggak, gue pekerja keras,” jawabku sok bangga, meskipun punggungku beneran sakit.

“Lo manusia.” Suaranya pelan, penuh perhatian. “Manusia butuh istirahat.”

“Dan lo alien?” Aku coba bercanda buat santai.

Dia tertawa pelan. “Mungkin. Jadi lo bisa istirahat sejenak buat ngobrol sama alien.”

Kami terdiam sebentar. Hanya suara latar belakang kafe yang terdengar.

Lalu dia berkata, lirih, jujur sampai bikin aku terkejut.

“Sa… makasih ya. Lo… bikin hari gue nggak se-sesak biasanya. Di rumah atau sekolah, semuanya terasa kaku. Tapi sama lo… santai.”

Aku menggigit bibir agar tidak menangis. Oh tidak. Ini buruk. Ini sangat, sangat buruk. "Emang kerasa, semua dunia lo begitu Cak?"

Karena hubungan pura-pura seharusnya tidak terasa… hangat seperti ini. Pura-pura seharusnya tetap dingin. Tetap jauh. Tetap aman.

Tapi bersamanya, jarak itu mulai… menipis. Seperti awan yang perlahan menghilang, ngungkapkan langit yang cerah. Dan tanpa sadar, perlahan…

Aku mulai masuk ke orbitnya.

Sementara dia—entah kenapa—membiarkan aku masuk.

"Iya."

✨ Bersambung…

1
Yohana
Gila seru abis!
∠?oq╄uetry┆
Gak sabar nih nunggu kelanjutannya, semangat thor!
Biasaaja_kata: Makasih banyak ya! 😍 Senang banget masih ada yang nungguin kelanjutannya. Lagi aku garap nih, semoga gak kalah seru dari sebelumnya 💪✨
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!