Hai.. aku balik nulis lagi setelah menghilang hampir 4 tahun. semoga kalian bisa menemukan serta bisa menerima kehadiran karya ini ya...
Rania dan Miko, bukan pasangan masalalu. Mereka saling membenci. Rania memiliki sifat jahat di masa lalu. Namanya di blacklist hingga jatuh sejatuh-jatuhnya, dibuang ke tempat asing, lahirkan anak kembar hingga menikah dengan orang yang salah, siksaan mental dan fisik ia terima selama 4 tahun. Menganggap semua itu Karma, akhirnya memilih bercerai dan hidup baru dengan putra-putrinya. Putranya direbut ibu Miko tanpa mengetahui keberadaan cucu perempuan, hingga berpisah bertahun-tahun. Si kembar, Alan-Chesna tak sengaja bertemu di SMA yang sama.
Gimana kisah lengkapnya?
Selamat membaca yaa...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Begitu langkah Chesna menjauh dan menghilang di balik rak buku, Alan menutup matanya rapat-rapat. Jemarinya meremas kuat sampul buku yang tadi ia gunakan sebagai tameng. Dadanya bergemuruh tak terkendali.
Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya lolos, menetes pelan di sudut mata. Ia buru-buru mengusapnya, menunduk agar tidak ada yang melihat. “Chesna…” gumamnya nyaris tanpa suara. Hanya dirinya sendiri yang bisa mendengar.
Hatinya berperang hebat. Ada bagian dirinya yang ingin bangkit, berlari mengejar, memeluk kembarannya, lalu mengakui semuanya. Ia begitu merindukan suara itu, wajah itu, tatapan penuh keteguhan yang sama persis dengan miliknya. Selama ini ia hanya bisa membayangkan, kini benar-benar melihatnya dari jarak sedekat itu.
Namun, di sisi lain, rasa takut mencengkeram erat. Bagaimana kalau Papa tahu aku sembunyikan rahasia sebesar ini? Bagaimana kalau semuanya terbongkar, dan Chesna juga direnggut dari mama, sama sepertiku dulu? Pikiran itu menghantamnya berkali-kali, membuatnya tak berani mengambil langkah.
Alan menangis dalam diam, pundaknya bergetar kecil. Tapi di balik tangis itu, ada secercah bahagia yang tak bisa ia sangkal, bahagia karena mengetahui bahwa Chesna sehat, baik-baik saja bahkan cukup kuat untuk berdiri di sekolah bergengsi ini. Ia tidak hilang, tidak lenyap. Ia ada di sini, hanya beberapa langkah darinya.
“Syukurlah…” bisiknya, suara serak tertahan tangis. “Syukurlah kamu ada di sini, Chesna. Walau aku nggak bisa nyebut kamu siapa sebenarnya… aku lega.”
Alan menutup wajah dengan kedua tangannya. Dalam hati ia berjanji, meski harus berpura-pura asing, ia akan menjaga agar kembarannya tetap bisa bertahan di dunia yang keras ini. Dan, jika waktunya tiba, ia ingin bisa berkata dengan jujur, Aku ini kakakmu.
___
Pintu toilet perempuan berderit pelan ketika Chesna masuk. Ia segera memilih bilik paling pojok, menutup pintu rapat-rapat. Bahunya jatuh lemas, tasnya ia letakkan di lantai begitu saja.
Begitu duduk di kloset dengan wajah menunduk, air matanya tumpah tanpa bisa lagi ia bendung. Kedua tangannya menutupi wajah, suaranya pecah dalam isakan tertahan.
“Alan… Kenapa kamu lupa sama aku?” bisiknya lirih di antara tangis.
Dadanya terasa sesak, seolah dunia yang ia genggam selama ini runtuh seketika. Bayangan kembarannya yang dulu selalu menggenggam tangannya, yang selalu jadi penopang dalam setiap ketakutan masa kecil, kini berdiri di hadapannya, tapi seolah orang asing.
Chesna menggigit bibir kuat-kuat hingga nyaris berdarah, mencoba menghentikan gemetar di tubuhnya. “Baiklah. Mungkin dunia yang kamu tinggali saat ini terlalu nyaman, sampai membuatmu lupa dengan kehidupan sederhana kita.”
Tangannya gemetar ketika ia merogoh ponsel dari saku rok, berniat menuliskan sesuatu pada ibunya. Tapi jemarinya berhenti di layar yang buram karena air mata. Ia tak sanggup menuliskan kabar ini. Bagaimana jika benar Alan sudah melupakannya? Apa sanggup ia membuat mamanya kecewa dengan kenyataan pahit itu?
Seketika ia menundukkan kepala lebih dalam, wajahnya menempel di lutut. Tangisnya kian deras. Ruangan sunyi itu hanya berisi suara isakan seorang gadis yang hatinya remuk oleh kenyataan pahit.
Namun, di balik luka itu, ada secercah keyakinan kecil di hatinya, ia tidak salah lihat. Itu Alan. Dan kalau Alan bisa berpura-pura tidak mengenalnya, berarti ada sesuatu yang jauh lebih besar tersembunyi di balik sikapnya.
Dengan mata sembab dan napas tersengal, Chesna mengangkat wajahnya, menatap bayangannya sendiri di cermin kecil bilik toilet. “Aku akan cari tahu… aku nggak akan tinggal diam.”
___
Chesna mengusap wajahnya berkali-kali dengan tisu, berusaha menghapus jejak air mata yang masih membasahi pipinya. Ia menarik napas panjang, mencoba menegakkan punggungnya sebelum membuka pintu toilet.
Begitu keluar, langkahnya langsung terhenti. Tepat di depan pintu, Gideon berdiri bersedekap dengan tatapan tajam bercampur heran. Pandangan mata cowok itu jatuh pada wajah Chesna yang jelas-jelas sembab meski sudah berusaha ditutupi.
Mata Chesna membesar. “Kamu…?” suaranya tercekat.
Gideon tidak bergeming, hanya mengangkat dagu sedikit. “Kamu nangis.” Kalimatnya terdengar lebih seperti tuduhan ketimbang kepedulian.
Chesna buru-buru mengusap wajahnya lagi dengan punggung tangan. “Ng… nggak. Kamu salah lihat,” jawabnya cepat, mencoba melewati cowok itu.
Namun Gideon geser sedikit, menghalangi jalannya. “Aku lihat sendiri, Chesna. Dari perpustakaan… sampai kamu lari ke sini. Kamu pikir aku nggak tahu?”
Jantung Chesna berdebar keras. Dadanya serasa dicekik. Jadi… Gideon memang mengikuti dari tadi? Matanya bergetar menatap Gideon yang kini berdiri begitu dekat.
“Kenapa kamu ngikutin aku? Kita bahkan nggak kenal dekat,” suara Chesna bergetar, antara bingung dan marah.
Gideon sempat terdiam. Ada sesuatu di matanya, percampuran rasa ingin tahu, emosi, dan sesuatu yang sulit diterjemahkan. “Aku cuma… penasaran,” katanya singkat.
“Penasaran?” Chesna mengernyit, hatinya semakin tidak tenang. “Kamu nggak punya hak buat ikut campur urusan aku. Kita bahkan nggak pernah ngobrol, jadi jangan sok tahu.”
Kata-kata itu menusuk, membuat Gideon terdiam beberapa detik. Bibirnya terkatup rapat, tapi sorot matanya tetap tak lepas dari wajah Chesna.
Akhirnya, Chesna melangkah cepat melewatinya. Suaranya pelan tapi tegas saat berujar, “Aku nggak butuh orang asing ngikutin aku kayak gini.”
Gideon hanya menatap punggung gadis itu yang semakin menjauh. Ada rasa jengkel karena ditolak, tapi juga rasa penasaran yang justru semakin membesar dalam dirinya.
___
Pagi itu aula sekolah penuh dengan suasana formal. Spanduk besar bertuliskan “Apresiasi Donatur dan Mitra Sekolah” terbentang di dinding. Para guru sibuk menyambut tamu-tamu penting, termasuk seorang tokoh yang menjadi pusat perhatian, Miko, pria berwibawa dengan setelan jas rapi, berdiri di depan podium dengan senyum terkendali.
Chesna yang baru saja keluar dari ruang administrasi menghentikan langkahnya. Matanya melebar tak percaya. Itu… Om Miko? batinnya. Ia teringat jelas wajah lelaki itu, yang pernah tak sengaja bertemu beberapa kali.
Rasa penasaran mendorong Chesna untuk mendekat. Ia menunggu di pinggir aula, mencari celah untuk menyapanya. Bibirnya sudah terbuka sedikit, hampir berujar, Om Miko…
Namun langkahnya membeku ketika sebuah suara lain terdengar jelas.
“Papa!”
Chesna menoleh cepat. Seorang remaja dengan wajah yang begitu familiar berlari kecil menghampiri Miko. Alan.
Darah Chesna seakan berhenti mengalir. Napasnya tertahan. Kedua tangannya refleks mencengkeram erat tali tas ranselnya.
Miko menoleh dengan senyum hangat yang jarang ia perlihatkan di depan banyak orang. “Alan, kamu sudah datang rupanya.” Tangannya menepuk pundak putranya penuh kebanggaan.
Chesna berdiri terpaku. Matanya bergantian menatap Alan dan Miko. Panggilan “Papa” itu terus terngiang di telinganya, menusuk seperti belati. "Jadi… Alan… putranya om Miko?”
Kakinya terasa lemas. Ingin sekali ia menyela, berteriak, atau sekadar memastikan kebenaran. Tapi suaranya terkunci di tenggorokan.
“Papa, ayo aku temani keliling sekolah.” ucap Alan polos dengan tatapan berbinar.
Miko tersenyum tipis. “Boleh. Tunjukkan aku ruang-ruang favoritmu.”
Keduanya berjalan beriringan, terlihat akrab, benar-benar dua sosok ayah dan anak yang begitu serasi.
Dari kejauhan, Chesna hanya bisa menatap punggung mereka menjauh. Dunia di sekelilingnya serasa berputar. Hatinya berteriak, antara marah, hancur, dan syok. Kenapa… Alan bisa punya papa? Kenapa aku tidak tahu? Kenapa semua ini terasa seperti rahasia besar yang disembunyikan dariku?
___
Besumbang….