NovelToon NovelToon
Istri Rahasia Guru Baru

Istri Rahasia Guru Baru

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Perjodohan / Cinta Seiring Waktu / Idola sekolah / Pernikahan rahasia
Popularitas:4.3k
Nilai: 5
Nama Author: ijah hodijah

Gara-gara fitnah hamil, Emily Zara Azalea—siswi SMA paling bar-bar—harus nikah diam-diam dengan guru baru di sekolah, Haidar Zidan Alfarizqi. Ganteng, kalem, tapi nyebelin kalau lagi sok cool.

Di sekolah manggil “Pak”, di rumah manggil “Mas”.
Pernikahan mereka penuh drama, rahasia, dan... perasaan yang tumbuh diam-diam.

Tapi apa cinta bisa bertahan kalau masa lalu dari keduanya datang lagi dan semua rahasia terancam terbongkar?


Baca selengkapnya hanya di NovelToon

IG: Ijahkhadijah92

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jebakan

Emily mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dindingnya lembab, bau apek menusuk hidung. Lampu remang-remang di sudut ruangan hanya berkedip lemah, menambah kesan menyeramkan.

Awalnya, ia menerima pesan dari Haidar yang mengajaknya bertemu setelah pulang kantor. Lokasi yang tertera membuatnya mengernyit, sebuah alamat yang tak pernah ia dengar, jauh dari pusat kota. Mungkin dia sedang survei proyek, pikirnya. Dia berpikir positif saja karena yang akan ditemuinya suaminya.

Beberapa hari ini hubungan keduanya semakin dekat. Haidar yang terus meyakinkan dan memberikan bumbu-bumbu cinta setiap hari membuat Emily perlahan luluh. Panggilan 'Mas' pada Haidar juga sudah tidak canggung lagi dan mulai terbuasa dengan adanya Haidar di sampingnya.

Namun, begitu sampai, yang ia temukan hanyalah rumah tua yang nyaris roboh, catnya mengelupas, dan halaman dipenuhi rumput liar.

Emily melangkah masuk dengan ragu, memanggil Haidar. Tapi belum sempat ia menoleh, pintu di belakangnya menutup keras, membuatnya terlonjak.

“Mas Haidar! Tolong! Kenapa kamu bohong!” suaranya bergetar, separuh marah, separuh takut.

Ia yakin betul Haidar tak mungkin memilih tempat seperti ini untuk bertemu. Tapi kalau bukan dia, lalu siapa yang mengirim pesan itu? Dan bagaimana mungkin ia bisa terjebak begitu saja tanpa sadar?

Di kejauhan, terdengar bunyi gesekan… seperti langkah kaki yang menyeret di lantai.

Emily menahan napas. Langkah kaki itu terdengar semakin dekat, meski dari arah yang tak terlihat. Ruangan itu ternyata memiliki lorong di sisi kiri, gelap pekat seperti perut bumi.

“Siapa di sana?!” serunya, berusaha terdengar tegas, tapi suaranya justru pecah.

Tiba-tiba, sebuah bayangan melintas cepat di ujung lorong. Emily mundur, punggungnya membentur dinding yang dingin dan basah.

Bukan Mas Haidar… ini bukan Mas Haidar… batinnya berulang-ulang.

Lalu sebuah suara serak terdengar, pelan tapi cukup jelas. “Kamu datang… akhirnya.”

Emily membeku. Ia mencoba mencari sumber suara itu, namun justru pintu yang tadi tertutup kini terdengar seperti dikunci dari luar.

“Siapa kamu?!”

Bayangan itu bergerak lagi, kali ini sedikit keluar dari lorong. Seseorang berdiri di sana—tingginya hampir setara Haidar, tapi wajahnya tak terlihat jelas. Di tangannya, ada sesuatu yang memantulkan cahaya lampu redup.

“Pesan itu… bukan dari Haidar,” ujar sosok itu, suaranya semakin mendekat.

Jantung Emily berdegup kencang. Untuk pertama kalinya, ia sadar… ini bukan sekadar jebakan, ini adalah ancaman yang entah bagaimana berkaitan dengan keluarganya.

Emily mundur pelan-pelan sambil mengatur napas. Ia menatap sekeliling, mencari celah untuk keluar. Di sudut ruangan, ada jendela kecil setinggi dada orang dewasa, sebagian kacanya pecah.

"Kalau aku bisa dorong kursi itu… mungkin aku bisa keluar." gumamnya.

Perlahan ia melangkah, pura-pura tidak panik, meski sosok di lorong itu terus menatapnya. Tapi baru tiga langkah, suara langkah berat terdengar semakin dekat. Emily langsung berlari ke arah kursi, menyeretnya ke jendela.

“Berhenti!” suara itu menggema.

Emily tidak mengindahkan. Ia naik ke kursi, mencoba meraih jendela, tapi tiba-tiba dari bawah kursi terdengar bunyi kreekk… kursi itu goyah, membuatnya hampir terjatuh.

Saat matanya menunduk, ia melihat sesuatu di lantai—sebuah kalung dengan liontin berbentuk huruf R.

Emily mengenali itu. Kalung itu milik Razka, abangnya.

Kenapa kalung ini ada di sini? pikirnya dengan gemetar.

Seketika, semua rencana kabur terhenti. Kalung itu membuat pikirannya kacau—apakah Razka pernah berada di sini? Apakah ini berarti orang yang menjebaknya juga punya urusan dengan keluarganya.

Sosok di lorong kini semakin dekat, dan Emily tahu… ia tak punya waktu banyak.

Emily meraih kalung itu dan menggenggamnya erat. Detik berikutnya, sosok di lorong mulai berlari ke arahnya. Emily spontan melompat turun dari kursi, nyaris terjatuh, lalu berlari ke arah pintu lain di ujung ruangan.

Pintu itu terkunci. Emily panik, mencoba memutar kenop sekuat tenaga. “Buka… buka!” desisnya.

Suara langkah itu makin dekat. Emily nekat menendang pintu—sekali, dua kali—hingga engselnya goyah. Dengan dorongan terakhir, pintu terbuka menghantam dinding, dan ia langsung keluar ke lorong sempit yang bau lembap.

“Berhenti!” teriak suara itu lagi.

Emily tidak menoleh. Ia berlari menyusuri lorong, kakinya terpeleset beberapa kali karena lantai licin. Di ujung lorong, ia melihat cahaya tipis dari pintu kayu yang tidak tertutup rapat. Dengan sisa tenaga, ia mendorong pintu itu dan berhasil keluar ke halaman belakang rumah tua itu.

Udara malam menyambutnya, dingin menusuk. Emily berlari melewati rerumputan liar, menembus pagar kayu yang lapuk dan menaiki motornya dengan tangan yang gemetar. Di tangannya, kalung milik Razka tetap ia genggam erat.

Saat ia sudah cukup jauh, Emily menoleh ke belakang. Sosok itu berdiri di ambang pintu, tidak mengejar lagi, hanya menatap dengan tatapan yang membuat bulu kuduknya berdiri.

Emily tahu, ini belum selesai. Tapi setidaknya malam ini… ia selamat, dan ia punya bukti yang bisa membuka rahasia besar.

Emily melajukan motornya dengan cepat meninggalkan rumah tua itu. Napasnya memburu, keringat dingin bercampur air hujan membasahi wajahnya. Ya, hujan turun mendadak saat itu, ia menghentikan motornya di sebuah toko yang sudah tutup.

Tangannya bergetar saat merogoh ponsel dari dalam tas, lalu dengan jari yang hampir tak terkendali ia menekan nama Rakha di daftar panggilan. Ia akan menghubungi ayahnya untuk meminta peetolongan.

Sambungan terhubung.

“Ayah… Ayah…” suara Emily bergetar, seperti menahan tangis.

“Emily? Kenapa? Suara kamu kok—” Rakha menghentikan ucapannya, nadanya berubah waspada. “Kamu di mana sekarang?”

“A-aku… di jalan pulang… tadi ada yang ngajak ketemu, katanya Mas Haidar… tapi—” Emily menelan ludah, pandangannya sesekali menoleh ke belakang, memastikan tak ada yang mengikutinya. “Tempatnya kayak rumah tua, pintunya tiba-tiba nutup sendiri… aku takut, Ayah.” Selama hidupnya belum pernah mengalami hal seperti ini, Emily benar-benar ketakutan.

Rakha berdiri dari kursinya, langkahnya mondar-mandir di ruang tamu rumahnya. “Dengar ayah, jangan berhenti jalan. Cari tempat ramai. Kirim lokasi kamu ke ayah sekarang.”

Jantung Rakha berdetak tidak karuan, bagaimana bisa Emily sampai teledor.

“Sudah… aku… gemetar banget ayah…”

Rakha mengembuskan napas panjang, mencoba menenangkan suaranya meski dadanya berdegup kencang. “Tenang. Ayah sebentar lagi nyusul. Jangan angkat telepon selain dari ayah. Mengerti?”

Emily mengangguk walau Rakha tak bisa melihatnya. “I-iya…”

Rakha langsung meraih kunci mobilnya. Dalam kepalanya, satu hal pasti: ini bukan kebetulan, dan dia harus menemukan siapa yang berani menakut-nakuti anaknya. Dia menghubungi Haidar untuk memberitahu keadaan Emily.

Tapi berkali-kali Rakha memanggil nomor Haidar, nomornya mati dan tidak bisa terhubung. Akhirnya Raka memutuskan untuk menyusul Emily secepatnya. Dia tidak ingin Emily ketakutan sendirian di sana.

***

Rakha melajukan mobilnya secepat mungkin, menembus jalanan yang licin diguyur hujan. Matanya sesekali melirik peta di layar ponsel yang menampilkan lokasi yang dikirim Emily.

Begitu sampai di area yang dituju, ia menemukan Emily berdiri di bawah atap toko yang sudah tutup, tubuhnya gemetar, wajahnya pucat.

“Emily!” Rakha keluar dari mobil dan segera memeluk Emily erat-erat. “Kamu kenapa gak tunggu di rumah? Kenapa malah bertemu orang asing?”

“Itu… aku pikir Mas Haidar, Ayah… pesannya persis seperti dia,” suara Emily pecah, air matanya mulai jatuh.

Rakha melepaskan pelukan, menatap Emily sambil memegang kedua bahunya. “Kamu yakin itu nomor Nak Haidar?”

Emily mengangguk, lalu mengeluarkan ponsel dan menunjukkan pesan yang dimaksud. Rakha melihatnya, dan rahangnya langsung mengeras. “Ini bukan nomornya. Ini nomor yang sengaja dibuat mirip.”

Ia memandang ke arah jalan gelap di ujung sana, tempat rumah tua itu berdiri samar-samar. “Kamu tunggu di mobil. Ayah mau cek sesuatu.”

Emily buru-buru memegang lengannya. “Ayah, jangan… itu serem… kayak ada yang ngikutin aku dari dalam.”

Rakha menatap Emily, lalu menarik napas panjang. “Justru itu yang mau ayah pastikan.”

Tanpa menunggu jawaban, ia berjalan cepat menuju rumah tua itu, sementara Emily hanya bisa menatap punggungnya dengan dada berdebar, merasa seolah sesuatu yang berbahaya sedang menunggu di dalam kegelapan.

***

Rakha berdiri di depan pintu rumah tua itu. Udara di sekitarnya terasa lembab dan dingin, seolah bangunan ini menyimpan napas masa lalu yang belum mau lepas. Ia menekan daun pintu perlahan—anehnya, pintu tidak terkunci.

Begitu masuk, aroma apek bercampur bau kayu lapuk langsung menyergap. Lantai kayu berderit setiap kali ia melangkah, dan sinar lampu jalan dari luar hanya mampu menembus lewat celah-celah papan, membuat ruangan itu dipenuhi bayangan bergerak.

Matanya menyapu sekeliling. Tidak ada siapa pun… tapi perasaan diawasi begitu kuat.

Tiba-tiba, suara langkah pelan terdengar dari lantai atas. Krek… krek…

Rakha menegakkan tubuh, pandangannya menajam. “Siapa di atas?!” serunya.

Tidak ada jawaban—hanya langkah yang berhenti mendadak.

Ia menapaki tangga yang sudah rapuh, setiap anak tangga seperti mengeluh di bawah berat tubuhnya. Begitu sampai di atas, ia melihat sebuah lorong sempit dengan pintu-pintu tertutup di kanan kiri.

Dari salah satu pintu di ujung lorong, terdengar suara gesekan seperti benda logam yang diseret di lantai.

Rakha mendekat, tangannya bersiap mendorong pintu. Namun, sebelum ia sempat menyentuhnya, pintu itu terbuka sendiri—perlahan, seolah ada seseorang di baliknya.

Di dalamnya, hanya ada sebuah kursi reyot… dan di kursi itu, terikat sebuah boneka lusuh, di lehernya tergantung kertas bertuliskan:

“SEKARANG GILIRAN KAMU.”

Rakha menatap kertas itu lama, rahangnya mengeras. Ia baru akan mengambilnya ketika suara ponselnya berdering—Emily menelepon, napasnya terdengar panik.

“Ayah! Ada orang di sekitar mobil… dia memakai masker hitam!”

Bersambung

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!