Disarankan membaca Harumi dan After office terlebih dahulu, agar paham alur dan tokoh cerita.
Buket bunga yang tak sengaja Ari tangkap di pernikahan Mia, dia berikan begitu saja pada perempuan ber-dress batik tak jauh darinya. Hal kecil itu tak menyangka akan berpengaruh pada hidupnya tiga tahun kemudian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hermawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Beri Aku Kekuatan
Sandi memanyunkan bibirnya, dia tengah merajuk dengan sikap Ari yang seenaknya. Lelaki itu melanggar aturan yang dia tetapkan.
Sedari awal mereka memutuskan untuk bersama, Sandi meminta agar keduanya tak banyak melakukan kontak fisik berlebihan. Hanya sebatas peluk dan paling jauh hanya cium bibir. Tapi semalam?
Hampir saja pertahanan terakhir jebol, kalau saja ponsel Ari tidak berdering. Mantan rekan kerja di kementerian, meneleponnya dan bertanya soal pekerjaan penting.
Benar-benar hal berbahaya satu kamar dengan lelaki yang sudah matang itu. Lelaki yang katanya sedang tinggi-tingginya hasrat untuk berhubungan biologis. Apalagi Ari mengaku sudah lama sekali tidak melakukannya.
Ari juga mengaku selama ini jika hasrat itu muncul. Dia menyibukkan diri dengan olahraga keras, agar pikirannya teralihkan. Tapi karena sekarang sudah menemukan tambatan hati, keinginan menyalurkan hasratnya begitu besar.
Sejak dekat dengan Sandi, pikiran kotor di kepalanya bermunculan terus-menerus. Bahkan beberapa kali dia harus bermain solo, agar kepalanya tak pening lagi.
"Kamu minta cium apa gimana? Manyun terus." Kata Ari sambil menahan tawa.
Sandi memicingkan matanya. "Nggak ada lagi acara kita tidur satu kamar, ya! Bahaya banget." Sahutnya ketus.
Mereka sedang dalam perjalanan menuju kota kelahiran Sandi, dengan menaiki taksi online.
"Biar nggak bahaya, makanya nanti aku ketemu bapak kamu buat sekalian minta anak sulungnya. Aku mau nikahi." Ujar Ari santai, tujuan utamanya dia ikut serta pulang kampung ke tempat kekasihnya adalah untuk ini.
Ari pikir, Sandi adalah sosok perempuan yang tepat untuk dirinya. Obrolan nyambung, menjadi syarat wajib mencari seorang istri. Karena menikah bukan hanya soal perasaan dan finansial tapi juga komunikasi yang baik antar pasangan.
Ari juga berpikir, mereka berdua adalah pasangan sekufu atau setara. Dalam hal pendidikan dan mungkin latar belakang keluarga. Sedikit banyak Sandi sudah menceritakan soal keluarganya.
Ari tak mau lagi menjalin kasih terlalu lama, dia tak mau membuang waktu menjaga jodoh orang. Jadi begitu bertemu perempuan yang cocok, dia ingin segera menyuntingnya.
Ada satu hal yang membuat Ari begitu kekeh untuk segera mengeksekusi rencananya. Apalagi kalau bukan feeling nya. Seperti ada bisikan dalam benaknya, jika Sandi adalah jodohnya.
"Tidak semudah itu, aku nggak mau terburu-buru. Kita perlu waktu untuk menyelami karakter masing-masing." Sandi menolak secara halus. "Menikah itu bukan melulu soal cinta dan nafsu."
"Aku tau itu. Tapi aku yakin aku bisa jadi suami dan ayah yang baik untuk keluarga kecilku." Kata Ari yakin. "Selama menganggur aku sering membaca artikel atau buku tentang seni berumah tangga. Aku juga sudah matang secara emosional dan finansial. Jadi mau apalagi? Toh jodohku sudah ada." Tuturnya percaya diri.
"Mas ... Ishh ..." Sandi mendesis. "Aku masih mau fokus kerja." Dia beralasan.
"Kamu kerja aja, aku nggak larang kok!"
"Tapi pasti ujung-ujungnya bakal disuruh resign, kalau udah nikah."
"Tapi aku lihat Mbak Indah, nggak tuh! Beliau masih bekerja meski sudah punya anak dua." Ari jadi teringat kemarin sore.
Sandi bungkam, apa yang dikatakan Ari memang benar. Indah adalah senior di tempatnya bekerja, yang sudah bekerja lebih dari sepuluh tahun di kantor. Indah adalah ibu bekerja dengan dua anak. Sementara suami Indah memilih bekerja dari rumah sambil menjaga dua buah hati mereka. Walau begitu suami Indah memiliki penghasilan beberapa kali lipat dari gaji yang diterima Indah tiap bulan.
"Aku jadi terinspirasi dengan Mbak Indah. Aku akan bersikap sama dengan suami beliau, aku akan mengurus anak kita nanti. Kamu bisa meniti karir di luar atau mau kuliah lagi, aku akan mendukung apapun yang ingin kamu lakukan. Asal itu positif." Ari berusaha meyakinkan.
Sandi diam mencerna perkataan Ari. Secara logika memang bisa mengikuti jejak keluarga seniornya. Ari adalah pemilik kamar kos belasan pintu, yang sebulan bisa menghasilkan puluhan juta. Juga warung kopi dan usaha binatu. Belum lagi sewa apartemen yang baru Sandi ketahui kemarin sewaktu mereka berbincang di kereta menuju bandara.
"Pokoknya kalau kamu sama aku, aku jamin kamu nggak akan kekurangan secara finansial. Lalu soal perhatian, kamu bisa tanya ke Mia. Bagaimana aku memperlakukan teman-teman dekatku. Itu baru teman ya, bagaimana dengan istri aku sendiri." Ari bagai staf marketing yang sedang memperkenalkan produknya. "Aku pernah gagal dalam mempertahankan dia, dan setelah itu aku banyak merenung. Aku intropeksi diri, apa yang kurang dalam diriku. Sehingga dia berpaling semudah itu dari ku."
Sedikit banyak Sandi tau tentang kisah masa lalu Ari dari Mia. "Jadi tolong pertimbangkan aku, untuk menjadi pasangan kamu seumur hidup. Jujur aku sudah benar-benar merasa cocok dengan kamu, walau kita baru sebentar bertemu." Lagi Ari meyakinkan kekasihnya.
Ari meraih tangan gadisnya, dan mengecupnya. "Aku kasih kamu waktu untuk berpikir hingga nanti sore, jadi pertimbangkan baik-baik. Kalau kamu mau lanjut, aku akan langsung izin pada bapak kamu dan bilang pada ibuku untuk segera bersiap datang ke rumah kamu. Tapi kalau misal kamu menolak atau mengulur waktu, jangan salahkan aku kalau mungkin saja aku bisa tiba-tiba khilaf."
Sandi jadi teringat kejadian semalam. "Sekali lagi aku ingatkan kamu, aku ini adalah lelaki dewasa yang sehat dan memiliki hasrat seksual. Mungkin untuk sekarang ini aku masih bisa tahan, tapi tidak menjamin nanti." Tutur Ari. "Apalagi kamu adalah perempuan yang aku cintai." Ari mengecup kembali tangan gadisnya, sembari menatap dalam. "Jujur aku bukan orang suci yang bisa tahan untuk tidak melakukan kontak fisik. Jadi pikirkan baik-baik." Terakhir, Ari mengecup lembut kening Sandi.
Perjalanan memakan waktu lebih dari satu jam, lalu lintas cukup lancar sehingga tiba lebih cepat di kampung halaman Sandi.
Dari hotel tempat mereka menginap, keduanya sudah mengenakan pakaian ala kondangan. Awalnya Ari meminta memakai pakaian couple, dia bahkan sempat menunjukkan beberapa gambar dari butik. Tapi Sandi menolak, sebagai staf keuangan dia harus menghemat untuk sesuatu yang dipakai hanya hitungan jam saja.
Alhasil Ari hanya memakai kemeja batik lengan panjang, sedangkan Sandi hanya memakai kebaya modern dan celana formal hitam. Urusan riasan wajah, Sandi hanya memulasnya tipis dan rambut dia menggerai serta menghiasinya dengan jepitan rambut hadiah dari Ari.
Akad dan resepsi diadakan di rumah orang tua Sandi, sehingga menurutnya tak masalah berpakaian seadanya. Toh memang sebenarnya, dia tidak ingin hadir. Karena Ari memaksa saja, sehingga mau tak mau Sandi datang.
Rasanya masih ingat dalam ingatannya, bagaimana mantan pacarnya sekaligus calon adik iparnya melontarkan kata-kata merendahkannya. Ditambah lagi adik kandungnya sendiri, yang mengatakan Sandi tidak bisa menerima kenyataan dan selalu iri pada adiknya itu. Dan yang paling menyakitkan, ucapan ibunya yang memintanya untuk merelakan mantannya. Jangan lupakan soal uang yang harus Sandi berikan untuk melancarkan resepsi.
Ibaratnya, Sandi sudah jatuh tertimpa tangga plus diludahi. Sudah dikhianati pacar dan adiknya sendiri, dimaki-maki, lalu dimintai uang. Muak sekali rasanya.
"Kamu udah cantik sayang ..." Puji Ari, sedari tadi tak bosan-bosan lelaki itu memandang gadisnya.
Sandi memicingkan matanya, "besok Senin kamu mending Konsul ke dokter mata. Aku yakin mata kamu rabun."
Ari menggeleng tak setuju, "dua bulan lalu aku periksa mata masih minus seperempat kok. Jadi aman walau tidak pakai kaca mata."
"Udah nambah berarti."
"Nggak mungkin secepat itu."
"Buktinya, kamu lihat wajah monyet dibilang cantik. Berarti kamu rabun, kan?"
Ari sedikit mengerti maksud gadisnya. "Yang ngatain itu monyet sebenarnya. Bisa-bisanya manusia disamakan dengan hewan." Dengusnya kesal. "Kamu itu cantik." Ari meraih kedua sisi wajah kekasihnya. "Alis kamu rapih, sehingga kamu tidak perlu mengerok atau pakai sulam. Bulu mata kamu panjang, mata bulat. Tatapan mata ini yang buat aku gemas. Hidung kamu biar nggak mancung banget, tapi pas banget proporsinya untuk wajah kamu." Ari menyentuh lembut bibir itu. "Apalagi ini, rasanya pengen aku ciumi setiap saat. Kangen terus sama ini, kalau lagi ditinggal kerja." Ari memejamkan matanya dan mengeram, andai tak ingat kesepakatan dan tempat mereka berada saat ini. Mungkin dia sudah menyerang gadisnya. "Pokoknya bagi aku, kamu paling cantik sedunia. Jadi jangan pedulikan cibiran orang."
Jangan tanyakan bagaimana kondisi Sandi, pastinya ada rona merah di pipi dan bibir menahan senyum. Serta debaran di dada, laksana genderang di Medan perang.
Cup ... "Apa ayang aku udah siap? Sebentar lagi kita sampai." Ari melepaskan tangan yang bertengger di kedua sisi wajah gadisnya, lalu matanya melihat ke jalanan yang dilaluinya.
Sandi mengatur napas sejenak, "tolong kuatin aku dan jangan jauh-jauh dari aku." Pintanya penuh harap.
Ari mengangguk sambil tersenyum, "Andalkan aku sayang!!! Calon suamimu ini akan selalu ada untuk kamu."
"Boleh peluk bentar, nggak?"
"Tentu saja." Ari membuka tangannya dan Sandi menyambutnya. Keduanya berpelukan, sebagai simbol saling menguatkan.