Sundirah, adalah anak seorang pekerja upah harian, sebagai pemetik kelapa. Perjalanan cinta Sundirah dengan Mahendra, putra semata wayang juragan kopra adalah sebuah ujian yang tidak mudah ia lalui.
kehilangan kedua orang tua sekaligus bukan fakta yang mudah di terima.
Atmosiman, yang semula sebagai sosok penyayang, melindungi dan penuh kewibawaan. Hanya karena tergiur oleh sebuah kehormatan, Dia lupa akan tujuan utama didalam kehidupannya.
Lurah Djaelani, bersama kamituwo. Sebagai pamong yang seharusnya menjadi teladan pada masyarakat.
Lupa kewajiban sebagai kepala desa, dan lebih memburu harta, berjudi sabung ayam dan menjodohkan anak gadisnya, yang semata-mata untuk menguasai harta sang juragan.
Mampukah Sundirah menghadapi semua cobaan dalam kisah cinta dia, nyawa orang tua nya sebagai taruhan atas nama cinta.
Duri yang paling mematikan disini adalah sosok seorang kamituwo. akan kah ambisi mereka berhasil membawa keberkahan?
Ikuti sebagian dari kisah yang nyata seorang Sundirah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Delima Rhujiwati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku juga Ayahmu
"Sudah ndhuk....! kamu istirahat saja, jangan sampai kecapean. Nanti den Mahendra tau, malah marahin si mbok lagi." Surip menghalau Sundirah, yang mau ikut mengerjakan pekerjaan dapur.
Semburat mentari pagi baru saja menyapa alam semesta, suara riuh cicit burung liar itu, enggan berdiam dan pergi menjauh, mereka tenggelam dalam irama yang menyejukkan jiwa, siapapun yang mendengar nya.
"Ndak apa-apa mbok..! bukan nya banyak gerak dan melakukan aktifitas ringan, juga di anjurkan untuk wanita hamil." Dirah masih enggan beranjak menjauh.
"Duduklah bersama nyonya saja, sambil menata bunga-bunga anggrek di depan sana Dirah, atau jalan-jalan menghirup sehat nya udara pagi" Surip meraba gemas perut buncit Sundirah.
"Kan masih pagi juga mbok, Dirah mau bantu kupas singkong Mbok."
"Dirah...."
"Iya mas...!" Sundirah menoleh, dan sudah mendapati Mahendra di belakang nya.
"Tuh...kan....! sudah sana. Ojo ngeyel."
Surip segera pergi ke belakang, melanjutkan kesibukan di dapur. Sungguh.....! ini adalah kebahagian yang turut ia rasakan juga. Akhirnya bersatu antara Sundirah dan Mahendra anak juragannya.
"Jangan disini, ayo kita jalan-jalan ke depan. menghirup udara segar, dengan mencium aroma harum nya bunga melati." Mahendra membimbing pelan langkah Sundirah.
uhuk...uhuk...!
uhuk.....!
Tiba-tiba terdengar suara batuk Atmosiman, langkah Sundirah seketika berhenti. Tangan nya memegang erat lengan Hendra, rasa takut dan was-was masih lekat di pikiran Sundirah.
"Kenapa....?, itu suara ayah Dirah..., jangan takut. beliau juga sayang kamu, beliau ayah kita sayang." bisik Hendra dekat di telinga Dirah.
"Ayuk...."
"Ayah, kami akan jalan-jalan di pelataran depan."
"Hati-hati, diluar masih dingin Dirah, bawa kain ini. Kalung kan di lehermu, jangan terlalu capek."
" ng...nggih ndoro..."
"Loh... kok ndoro...? panggil nya juga ayah to ndhuk..."
"Piye to iki..."
"Ng..nggih.... A..ayah..." Susah payah terdengar suara Sundirah.
"Aku juga ayah mu ndhuk, Dirah... anggaplah sosok Suyud ada pada diriku." Atmosiman mengusap lembut kepala Sundirah. Sundirah mengangguk dan tersenyum, lalu menyapa Karmilah.
"Selamat pagi ibu.." senyum Sundirah manis menghiasi bibir tipisnya.
karmilah mengangguk sambil tersenyum ayu, dan lembut wajah yang belum terlihat tua itu. penuh dengan kasih sayang, dan kesabaran, siapapun yang berada di sampingnya.
"Dek...! ayo kita ikut jalan-jalan, biar seperti mereka, he...he ..he jangan kalah mesra nya donk dek..."
"Coba..., dari dulu begini mas....mas...! tentu akan lebih indah lagi."
"Iya iya..., ini kesalahan paling fatal dalam kehidupan ku dek."
"Sini, kita berpegangan. Jangan pernah lepaskan tangan ku dek, ternyata tanpa mu aku adalah laki-laki lemah."
"Kesabaran mu mampu mengubah keegoisan ku, dari dulu hingga sekarang sedikitpun, tidak pernah berubah. Aku mencintaimu Karmilah...! walaupun kamu anak seorang janda miskin, yang hanya sebagai buruh cuci baju. Seumur hidupku aku akan tetap bersamamu."
Atmosiman memeluk Karmilah, mereka melupakan dimana melakukan adegan peluk memeluk itu, untung saja masih pagi belum banyak orang lewat.
Mahendra berjalan lebih depan dengan bergandengan tangan, sesekali mereka saling menoleh dan melemparkan senyum. serasa desa jatilengger milik mereka berdua.
Dibelakang Atmosiman, bersama karmilah berjalan pelan. bergandengan tangan dan bercerita mengenang masa muda mereka, yang berangkat sama-sama dari bawah, dan menggapai kesuksesan bersama hingga kini, mereka menikmatinya bersama.
"Dek.... aku sangat menyesal atas kejadian yang menimpa Sundirah. sungguh semua di luar dugaan."
"Pembunuhan itu, bukan rencana ku."
"Sudahlah mas...! jangan di sesali, yang penting sekarang. kita bisa berkumpul dan saling membagi kebahagiaan."
"Aku yakin Suyud dan Yatemi, juga ikut merasakan kebahagiaan ini."
"Kita duduk di sana yuk mas, biarkan Hendra dan Dirah menikmati pagi mereka."
Lalu kedua orang tua itu, duduk di antara lempengan batu besar.
"Kemana Djaelani pergi ya mas, seandainya dia kembali. apa yang akan mas lakukan?"
"Apakah mas, juga akan melampiaskan dendam. atau bahkan akan membenci Djaelani?" Karmilah pelan berbicara sambil membetulkan letak duduk nya, supaya menghadap langsung kepada sang suami.
"Tidak Dek... biarkan dendam dan amarah itu pudar, lebur bersama waktu yang terbawa angin."
"Aku juga tidak akan membencinya, akan tetapi dia harus menanggung, dan ber tanggung jawab atas semua perbuatannya."
"Kita, menanti kelahiran cucu kita saja, usaha kopra biar Hendra yang meneruskan. Kita nikmati masa tua kita, dengan bercanda bersama cucu cucu kita dek."
Atmosiman memegang tangan lembut Karmilah, sambil tersenyum. seakan meyakinkan kejadian serupa tidak akan pernah terulang.
Para pekerja mulai terlihat melakukan pekerjaan. ketika mereka berpapasan dengan Atmosiman, mereka menyapa, mengangguk kan kepala dan tersenyum ramah.
Dari jauh terlihat, sepeda melaju pelan mengarah di mana Atmosiman dan karmilah yang sedang duduk menikmati pagi.
"Selamat pagi ndoro, nyonya...."
"Ndoro! kebetulan sekali, saya sebenarnya ingin menemui ndoro. Ada sesuatu yang perlu saya bicarakan dengan Ndoro."
Naris sedikit ragu berbicara ketika melihat karmilah di samping Atmosiman.
"Ndoro...! apa sebaiknya saya tunggu saja di rumah panjenengan, saya juga ada perlu dengan pak dhe Slamet."
Atmosiman memahami maksud Naris, dan mengangguk kan kepala tanda menyetujui perkataan nya.
"Ada apa mas! tidak seperti biasanya? jangan bikin khawatir lho mas!" Karmilah merasa ada kejanggalan dengan sikap Naris tadi.
"Kita pulang dek! mungkin ada perihal pembicaraan mengenai lurah Djaelani."
"Mas jaga kesehatan mu, kita sudah bahagia dengan pencapaian ini. dan sebentar lagi kita akan meminang cucu mas." Karmilah mengingatkan kembali.
Mereka berjalan menuju ke kediaman. Pegangan tangan Atmosiman tidak pernah lepas menggenggam erat-erat.
Sundirah masih asyik menikmati indahnya pagi, sedangkan Mahendra melihat sepintas Nasir mengayuh sepeda menuju tempat tinggal nya, tidak lama ayah dan ibu nya menyusul berjalan menuju arah yang sama.
"Ada apa gerangan...? apakah masih ada sangkut pautnya dengan kejadian lurah Djaelani ataupun pak Suyud...?" bathin Mahendra semakin mencurigai, dengan keberadaan lurah Djaelani yang entah kemana.
"Dirah.... apa sebaiknya kita pulang saja,? Aku tidak mau kau kecapean" Dusta Mahendra untuk menutupi kekhawatiran nya.
"Aku ndak capek mas, aku senang dan bersyukur, masih bisa menikmati segarnya udara pagi. Jalan ini menuju rumah ku mas, jadi ingat bapak." Sundirah menunduk sedih, lalu mendongak kembali sambil tersenyum.
"Semoga bapak sama emak, juga bahagia di sana ya mas." Sundirah berdiri dari tempat duduk nya, dan berjalan mendahului Mahendra.
Mahendra menyusul, dan berjalan beriringan, bercerita dan tertawa kecil.
Dari jauh di perempatan terdapat bangunan gardu yang lama tidak terpakai. Sepasang mata mengawasi dari balik gerumbulan tanaman perdu, senyum sinis itu menghiasi wajah sanggar nya.
"Tidak sia-sia perjalanan ku jauh-jauh ke kesini, semoga membuahkan hasil yang besar."
"haa...ha....ha.. dapat tangkapan ikan hiu rasa-rasanya ini." laki-laki itu tertawa lepas sambil mengelus elus kumis tebalnya.
"Aku harus segera kembali, dan melakukan tindakan setelah mendapatkan mandat dari tuan bos."
"Wanita hamil itu, masih bisa aku jadikan gundik simpanan setelah melahirkan nanti"
"haaa....haaa..haaa, tunggu saja"
kreetek.....kreetek.. bruukk... tung bloom...
ahhgh....
"Asem kecut...! ini lincak sudah bobrok, duh! kentongan lukchnut... kenapa masih di sini...! menyebalkan." Laki-laki berkulit gelap dan berkumis lebat tidak beraturan itu, ber sungut kesal dan geram oleh perbuatan nya sendiri. Sambil tangannya mengelus pantatnya, dan kepala yang kejatuhan kentongan. Sudah jatuh terjengkang, masih juga kejatuhan kentongan sebesar bayi dan tepat mengenai kepalanya. Lincak tua itu tidak mampu menahan beban tubuhnya, Ambyar berantakan.
Sepasang tokek di sudut atas gardu itu, andaikan bisa bersuara lantang mereka akan menertawakan kekonyolan, manusia beringas namun bodoh itu.
******
#kopiiii mana kopi 😂😂😂
pas gandengan tangan antara Ndoro dan Nyonya tuh, aku nulisnya baper tingkat dewa🤧. Ku ingin hari tua ku sama seperti mereka ☺️
"Netizen....! tetap semangat yuk.. Kehidupan banyak cerita untuk kita arungi, akan tetapi jangan lupa , kasih sayang, ikhlas, sabar dan nrimo ing pandum ternyata yang lebih utama."
Salam Bahagia Selalu 😘😘
by, Rhu 🤗