NovelToon NovelToon
Jodohku Ternyata Kamu

Jodohku Ternyata Kamu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Romansa / Office Romance
Popularitas:354
Nilai: 5
Nama Author: Yoon Aera

Rizal mati-matian menghindar dari perjodohan yang di lakukan orang tuanya, begitupun dengan Yuna. Mereka berdua tidak ingin menikah dengan orang yang tidak mereka cintai. Karena sudah ada satu nama yang selalu melekat di dalam hatinya sampai saat ini.
Rizal bahkan menawarkan agar Yuna bersedia menikah dengannya, agar sang ibu berhenti mencarikannya jodoh.
Bukan tanpa alasan, Rizal meminta Yuna menikah dengannya. Laki-laki itu memang sudah menyukai Yuna sejak dirinya menjadi guru di sekolah Yuna. Hubungan yang tak mungkin berhasil, Rizal dan Yuna mengubur perasaannya masing-masing.
Tapi ternyata, jodoh yang di pilihkan orang tuanya adalah orang yang selama ini ada di dalam hati mereka.
Langkah menuju pernikahan mereka tidak semulus itu, berbagai rintangan mereka hadapi.
Akankah mereka benar-benar berjodoh?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yoon Aera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Demam

Di luar, pesta tetap berlangsung meriah, tapi di dalam diri Yuna, ucapan oma tadi seperti meninggalkan bekas samar… dan ia tahu, komentar itu hanya pembuka.

Ruang tamu besar itu dipenuhi tamu undangan yang bertegur sapa, gelak tawa bercampur dengan dentingan sendok dan piring. Aroma bunga melati yang menghiasi meja besar semakin menambah nuansa acara yang terlihat sempurna di mata orang luar.

Yuna berdiri di dekat meja hidangan, sesekali tersenyum ketika ada tamu yang mengucapkan selamat. Namun telinganya menangkap suara yang sudah sangat familiar, suara Oma Ratna, yang berbicara kepada sekelompok tamu wanita yang duduk di sofa panjang.

“Oh, iya… ini Nadine.” Suara oma terdengar lembut, namun sarat nada bangga.

“Cucu yang selalu tahu cara membawa diri di depan orang banyak. Elegan… sopan… persis seperti yang saya harapkan dari keluarga kami.”

Nadine yang duduk manis di sebelahnya, hanya tersenyum malu-malu, menerima sanjungan itu seolah tak terbiasa, padahal Yuna tahu betul, Nadine sangat pandai memainkan peran ini.

Tawa kecil terdengar dari salah satu tamu, entah karena canggung atau memang menangkap maksud tersembunyi. Nadine menunduk, pura-pura sibuk membenarkan lipstiknya di cermin kecil.

Yuna mencoba mempertahankan senyumnya, tapi dadanya terasa sesak. Ucapan oma tadi seolah mengingatkan kembali jarak yang memang tak pernah berkurang sejak ia kecil. Pandangannya bertemu dengan tatapan beberapa tamu yang penuh rasa ingin tahu.

Rizal, yang sejak tadi berbincang dengan kerabat ayahnya, kebetulan melihat ekspresi Yuna. Ia menghentikan obrolannya, lalu melangkah mendekat.

“Kalau soal membawa diri, justru Yuna lebih baik. Kalau tidak, Yuna tidak akan masih ada disini.” Kedua tangannya memeluk bahu Yuna, seakan memberikan dukungan.

Oma Ratna paham maksud Rizal.

Sejenak ruangan menjadi hening. Oma Ratna hanya tersenyum kaku, sementara Nadine melirik sekilas dengan tatapan tajam yang segera disamarkannya dengan senyum manis.

Yuna menunduk pelan, berusaha menutupi rasa terkejutnya, tapi di dalam hati, ia merasakan sedikit kehangatan dari pembelaan itu, meski tak menghapus sepenuhnya rasa perih yang ditinggalkan kata-kata oma.

Tiga hari setelah acara pertunangan, rumah keluarga Danantara tengah ramai, bukan oleh tamu, melainkan oleh tumpukan katalog undangan, contoh dekorasi dan kain-kain gaun pengantin yang memenuhi meja ruang tengah. Wika bergerak cepat seperti komandan di medan perang, memastikan setiap detail berjalan sempurna untuk pernikahan putra semata wayangnya yang akan dilaksanakan tiga bulan lagi.

Sania, yang sesekali hadir di tengah proses persiapan, lebih sering sibuk dengan ponselnya, entah membalas pesan atau memotret untuk diunggah ke media sosialnya. Kalau pun diminta pendapat, ia hanya mengangguk atau mengangkat alis, lalu kembali ke dunianya sendiri.

“Sania, coba lihat kain ini, cocok nggak untuk seragam?” Tanya Wika suatu kali.

Sania hanya melirik sekilas sebelum menjawab.

“Ya… bagus kok.” Sambil tetap menatap layar ponsel.

Wika menggerutu dalam hatinya, kalau bukan istrinya Indra. Dia tidak ingin melibatkan perempuan sombong itu.

*****

Di sisi lain, Yuna nyaris tak punya waktu untuk terlibat langsung. Posisinya sebagai asisten manajer keuangan membuat jadwal kerjanya semakin padat. Audit akhir tahun yang datang lebih cepat dari perkiraan membuatnya sering pulang larut malam. Kadang, saat sampai di rumah, ia hanya punya tenaga untuk membersihkan diri lalu langsung tertidur.

Dengan Rizal pun, pertemuan menjadi barang langka. Mereka lebih sering saling mengirim pesan singkat di sela-sela kesibukan. Telepon singkat di malam hari pun tak selalu terjadi, terkadang Rizal pulang dalam keadaan terlalu lelah untuk berbicara lama, sementara Yuna masih menutup laptop di kantor.

Namun, di tengah jarak yang mulai terasa, selalu ada momen-momen kecil yang membuat Yuna tersenyum, seperti pesan singkat dari Rizal saat rapat,

Jangan lupa makan, calon istriku yang cantik.

Atau kiriman foto, kopi favoritnya yang diam-diam Rizal titipkan lewat resepsionis kantor.

Meski demikian, Yuna tak bisa menepis rasa khawatir yang perlahan merayap. Pernikahan semakin dekat, tapi interaksi mereka justru terasa semakin sedikit. Ia bertanya-tanya, apakah begini memang awalnya?

Sebulan berlalu, jadwal Rizal semakin padat. Bolak-balik keluar kota untuk urusan bisnis membuat tubuhnya kian kelelahan. Pesan Yuna untuk menjaga kesehatan seakan hanya lewat di telinga. Hingga pada suatu siang, di tengah rapat bersama bagian keuangan, tubuh Rizal benar-benar tak mampu lagi menahan beban.

Yuna, yang duduk dua kursi darinya, memperhatikan raut wajah calon suaminya yang pucat. Awalnya ia mengira Rizal hanya lelah, tapi saat pria itu mencoba berdiri, tubuhnya goyah, nyaris terjatuh jika Kevin tidak segera menopangnya.

“Mas!” Seru Yuna refleks memanggil Rizal dengan sebutan mas.

Padahal biasanya dia tetap memanggil ‘pak’ kalau saat bekerja.

Dia tanpa sadar terburu-buru menghampiri.

Dengan bantuan Kevin, mereka memapah Rizal keluar ruang rapat menuju ruangan CEO. Kevin membaringkannya di tempat tidur yang ada di kamar. Kamar yang ada di dalam ruangan CEO itu tidak terlalu besar, hanya tempat istirahat sejenak jika Rizal tengah lelah. Setelah Rizal berbaring dengan nyaman, Yuna berjongkok di sisinya, menatap khawatir.

Tanpa ragu, Yuna menyentuh kening Rizal. Kulitnya panas, demam tinggi.

“Mas… ini nggak bisa dibiarkan. Kita ke rumah sakit, ya?” Suaranya lembut tapi tegas.

Rizal membuka mata setengah, napasnya berat.

“Nggak usah, Yuna… aku cuma kecapekan. Istirahat sebentar juga nanti baikan.” Senyum tipisnya jelas dipaksakan.

“Mas, ini panasnya tinggi banget. Aku takut...”

“Aku nggak apa-apa.” Potong Rizal pelan, tapi nada suaranya mengandung penolakan keras.

“Banyak kerjaan yang belum selesai. Kalau ke rumah sakit sekarang, semuanya bakal ketunda.”

“Kerjaan bisa nyusul, Mas. Tapi kesehatan… kalau sampai drop, apa nggak lebih repot?” Yuna menatapnya tak percaya.

Kevin, yang berdiri di belakang, ikut menimpali.

“Pak, mending ikutin saran bu Bos. Kelihatan banget Bapak nggak fit.”

“Cukup di sini aja. Biar aku tidur sebentar. Kalian jangan khawatir.” Rizal menggeleng lemah.

Yuna menggigit bibirnya, merasa kesal sekaligus iba. Ia ingin memaksa, tapi tahu Rizal bukan tipe yang mudah ditundukkan kalau sudah memutuskan sesuatu.

Akhirnya ia hanya menarik selimut tipis, menutup tubuh Rizal, lalu duduk di sofa dekat tempat tidur.

“Kalau gitu, aku temenin. Nggak usah nyuruh aku pulang.” Ucapnya pelan, menatap wajah pucat itu dengan perasaan campur aduk.

Yuna meminta Kevin untuk membelikan obat demam dan juga mengambilkan alat-alat untuk mengompres. Kevin menurut tanpa banyak tanya apalagi protes. Perintah Yuna sama dengan perintah Rizal.

Tak lama Kevin kembali membawa semuanya, termasuk bubur kesukaan Rizal yang sempat Yuna minta melalui pesan saat Kevin masih di luar.

“Mas... Makan dulu, setelah itu minum obat. Baru boleh tidur.”

“Nanti aja, Yun.” Lirihnya, matanya senantiasa terpejam.

“A-aku suapin...” Tawarnya dengan gugup.

Mau tak mau, Rizal kini bersandar pada headboard tempat tidur. Suap demi suap dia telan. Meski tak seenak biasanya, dia ingin menghargai Yuna.

“Kalau setelah minum obat belum membaik, kita ke rumah sakit, ya?” Pinta Yuna.

“Hmmm... Pasti baikan, karna disuapin makan sama calon istri.” Goda Rizal.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!